Oleh: Habib Muzaki Babak Terakhir Berdiri Berjalan Berlari, jatuh Lantas perlahan Puisi kembali mengambil peran Memunguti kepingan memori Mengikuti kewarasan nurani Sampai realita paling merah Menghampiri dengan marah Menagih janji tentang sepi Yang dirawat bersama secangkir kopi Katakanlah, manusia mana yang sanggup menjadi bunga Untuk mereka yang konsisten sebagai luka Manusia mana yang sanggup menjadi tawa Untuk neraka yang berisikan narasi duka Dua Neraka Perihal dekat Ia membentuk sekat Perihal jauh Ia menjadi rapuh Sereceh itu romansa Dan, kita menegaknya tanpa sisa Mentah-mentah sampai muntah Dan, kita menatapnya penuh asa Lekat-lekat sampai sesat Dengan cacat pengetahuan Sapiens menjadi mahluk sok tau Yang melawan "sendiri" dengan agitasi Bertransformasi menjadi persepsi Membatu sebagai dogma Lalu mati menjadi angka Fana, dan itulah dua neraka Sepekan Kelabu Memasuki senin, tanah bersabda Dengan apalagi hujan ini reda Selasa sebagai harapan dan asa Menjadi kubangan dan lumpur, ia terbiasa Rabu penuh sendu di setiap tidur Mengais ucapan bijak sebagai pelipur Tibalah kamis dan ia mulai mengemis Mengemis senyum, mengemis kesempatan, mengemis terang Jum'at terlelap, awan-awan mendung berlarian Hanya terlihat gelap, ia mulai gelisah "Mungkin saja masih malam," ujarnya Sampai datanglah sabtu, semesta menari Dan, gelap menggandeng elegi Puisi-puisi tak lagi seksi Tak ditemukan minggu Begitupun matahari, yang telah pulang sebagai rusuk Memaknai Abu-Abu Banyak mimpi Menjadi utopis Banyak janji Menjadi puitis Seonggok tanah menyebutnya candu Yang diproduksi berkedok rindu, berkedok putih, berkedok esensi Padahal semua itu hanya imajinasi hanya simulacra, hanya berhala Lalu harus apa? Harus diapakan gelap? Padahal dengannya kita terlelap Harus diapakan pahit? Padahal dengannya kita bangkit Aku dalam Absurditas Di separo absurditas Aku menemukan aku Yang berhenti tuk sesekali menunggu Kadang Kembali tuk menikmati rindu Sampai pergi tuk mengimani belenggu Aku menemukan aku Yang berisik kala sunyi Sesekali berbisik dalam ramai Mencoret kisah, sesekali kesah Pada rumah kecil yang semakin terkucil Aku menemukan aku Yang mentadaburi waktu Kamu bertanya apa itu waktu? Kujawab waktu itu relatif Yang terasa cepat kala bersamamu Dan melambat kala tanpamu