Doc: Google

Oleh: M. Irsyadul Ibad

 Banyak terjadi kasus pembunuhan akhir-akhir ini. Semua kasusnya terjadi di dalam satu kota. Salah seorang siswa tahun terakhir di SMA, Hamid, tidak terlalu memedulikan kejadian di sekitar rumahnya. Justru dia menikmati setiap kasus yang terjadi.

Hamid hanya menganggap kotanya lebih ramai dari biasanya. Kini dia hanya fokus untuk lulus dengan nilai yang baik dan memenuhi harapan orang tuanya untuk lanjut ke universitas ternama.

***

Hari ini Hamid pergi jalan-jalan untuk menyegarkan pikirannya. Dia pergi bareng temannya, Adi. Hamid dan Adi adalah teman dekat sejak SMP. Mereka main ke alun-alun kota. Menikmati pemandangan dan udara segar, di tengah suasana yang mengkhawatirkan. Alun-alun tampak sepi, banyak orang takut untuk ke luar rumah.

“Wah, sepi, ya.” kata Adi.

“Ya, ya gitulah.”

“Jadi kuliah di mana, Mid?” tanya Adi.

“Ya, kayak yang gue bilang kemarin.” jawab Hamid.

“Oh, yakin? Gak ketinggian itu?” tanya Adi, memastikan.

“Yakin. Manut pilihan orang tua aja gue,” jawab Hamid.

“Wah, wah, anak papa mama ini,” kata Adi, meledek.

“Serah gualah, lah lu mau kuliah di mana?” tanya Hamid.

“Ke luar negerilah!” jawab Adi, setengah serius.

“Alah, tugas lu aja banyak yang numpuk, pakek sok-sokan kuliah di luar negeri.” kata Hamid.

“Lah, mending gue udah banyak yang beres. Lah lu tiap hari ditagih melulu,” jawab Adi, tertawa.

Eleh, lu itu tiap tugas lu selesai, pasti ada aja kasus baru.” kata Hamid.

Hamid dan Adi terus berdebat tentang tugas mereka yang menumpuk.

“Eh, Di, tugas kita ‘kan banyak yang numpuk, kok lu kayak kelihatan santai, sih?” tanya Hamid.

“Yah, karena gue gak jadiin itu sebagai beban.” jawab Adi.

“Ya masa cuma itu doang. Gue udah garap banyak tugas, tapi kok kerasa masih banyak gitu. Terus lagi gue dituntut buat masuk kampus itu.” kata Hamid, mengeluh.

“Ya, mungkin karena lu jadiin tugas sebagai beban dan lu gak enjoy dengan itu. Belum lagi soal lu yang pengen masuk kampus itu.”

“Ya terus gue harus gimana? Tugas sebanyak itu mana bisa gue enjoy?!” tanya Hamid, bingung.

“Ya coba deh lu kasih hadiah ke diri sendiri atau self reward tiap selesai ngerjain tugas.”

“Maksudnya?”

“Ya gini deh, tiap lo berhasil selesaiin tugas atau seluruh tugas yang numpuk, lo kasih hadiah ke diri lo sendiri,” jawab Adi, “atau jika lo berhasil masuk ke kampus itu, lo hargai kerja keras lo dengan cara self reward. Simpelnya ya kayak lo selebrasi sesuai keinginan setelah nyetak gol.”

“Oh gitu. Terus hadiahnya apa?” tanya Hamid.

“Terserah lu, gak perlu yang mahal-mahal. Kayak pengen jalan-jalan kalo tugas ini selasai, atau lainnya gitu. Pokoknya muasin diri dan menghilangkan beban selama kerja keras lu.” jawab Adi.

“Oalah gitu. Hm, menarik juga. Gua jadi pengin nerapin konsep itu.”

“Mantap!” kata Adi.

“Oke sip, gue berniat nyelesaiin semua tugas yang numpuk,” kata Hamid, semangat. “Di, tolong seminggu ke depan lo jauh-jauh dari gue.”

“OKE, SIP!” jawab Adi, mengacungkan jempol.

Hamid dan Adi melanjutkan jalan-jalan mereka hingga sore hari.

***

Seminggu berlalu, Adi menepati janjinya untuk tidak menggangu Hamid. Selama seminggu pula tidak terjadi kasus pembunuhan lagi. Namun, tepat di hari kedelapan, terjadi sebuah peristiwa di rumah Hamid, yaitu pembunuhan. Adi yang mendengar berita tersebut langsung bergegas ke rumah Hamid.

Sesampainya di rumah Hamid, ada banyak mobil polisi di TKP. Adi terkejut melihat Hamid yang digiring oleh polisi. Adi mengampiri Hamid dan bertanya, “Ada apa ini? Kok kamu ditangkap, Mid?”

“Dia ditangkap karena kami dapat laporan bahwa dia telah membunuh kedua orang tuanya,” jawab salah satu polisi. “Untuk saat ini, dia tidak melakukan perlawanan. Mohon menjauh dari TKP.”

“Hah?! Mid, Hamid! Kenapa?” tanya Adi, kaget.

“Heh, kau lupa pembicaaan kita seminggu yang lalu? Aku hanya melakukan self reward dan menghilangkan beban pikiran!” jawab Hamid, tersenyum.

“Hah?!” kata Adi.

Polisi lanjut menggiring Hamid ke mobil polisi.

Adi bertekuk lutut mendengar jawaban Hamid. Dia tak percaya bahwa Hamid akan bertindak sejauh itu.

“Hah. Hah. Haha… haha,” gumam Adi, menyeringai. “Yah, itu masih jauh lebih baik daripada aku selama ini.”