Oleh: VtaminC
Setelah sekian lama akhirnya aku diadopsi oleh sebuah keluarga. Sama seperti teman-temanku, tentunya saat-saat dipilih menjadi bagian dalam keluarga yang hangat adalah impian yang sangat kudambakan. Sebelumnya, aku pernah diasuh oleh sebuah keluarga. Namun, aku tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka. Kini adalah waktu untuk membuktikan, bahwa aku layak dipilih oleh calon keluargaku kelak.
***
Dua orang lelaki berusia 20-an mengangkatku dengan hati-hati. Sebenarnya aku malu. Sudah sebesar ini masih saja digendong, hihi. Selain itu, aku juga berat. Terlihat jelas dari gelagat dua lelaki itu. Alisnya menyatu, tampak fokus menggendongku. Tangannya yang kecokelatan menonjolkan urat-uratnya, seolah ingin keluar dari kulit kasar mereka. Aku hanya diam, dibawa ke mana saja aku manut, kok. Aku ingin menunjukkan kesan yang baik di awal, jadi aku tidak akan menuntut terlalu banyak. Takut dibilang rewel dan akhirnya dibuang.
Oleh kedua lelaki muda tadi, aku diletakkan di bagasi mobil dengan perlahan. Tampaklah wajah-wajah kepuasan karena berhasil meletakkanku dengan aman. Kuucapkan terima kasih karena sudah membawaku dengan hati-hati. Meskipun mereka tidak akan bisa mendengar suaraku, karena aku dipakaikan baju yang sangat tebal oleh pengurusku. Setelah memastikan kembali bahwa aku dalam keadaan yang nyaman, kedua lelaki tadi menutup pintu mobil. Tidak lama, seorang pria usia 30-an duduk di kursi kemudi. Itu ayahku!
Aku tak paham mobil apa yang kutumpangi, karena aku belum pernah naik mobil, hanya pernah naik truk. Yang jelas, ayah baruku ini sepertinya orang yang lemah lembut terhadap keluarganya. Terlihat dari caranya mengemudi yang cenderung pelan dan santai. Ada kucing di tengah jalan, ia turun, kemudian melemparkan kucing tersebut ke pinggir jalan. Terlihat jelas, bukan? Ia sangat penyayang, tidak ingin kucing itu terlindas ban mobilnya.
Tiga puluh menit kiranya aku di jalan, kini mobil merah ini mulai masuk sebuah komplek perumahan. Ternyata rumah baruku tidak jauh dari gerbang masuk, mungkin tujuh rumah dari pos satpam. Mobil berhenti di depan rumah yang minimalis. Ayah segera parkir, membuka pintu dan mengangkatku untuk turun dari mobil. Saat itulah ibu keluar dari rumah dengan senyuman manis kala melihatku. Penyambutan yang kudapatkan biasa saja. Tak apa, tak boleh menuntut terlalu banyak.
Setelah menurunkanku dari mobil, ayah menelepon seseorang. Dari pembicaraannya aku tahu, ia memanggil orang di seberang sana untuk membantunya mengangkatku. Duh! Lain kali aku akan diet supaya kurusan. Tak butuh waktu lama, seorang pria – yang sepertinya ditelepon ayah – datang. Mengangkatku bersama ayah menuju kamarku. Dilucutinya pakaian-pakaian tebalku oleh mereka berdua hingga aku bugil, membuat dingin menyerang tubuhku. Mereka memandangi tubuhku dengan bangga. Setelah semua dirasa beres, pria yang kuketahui bernama Pak Su’eb segera pulang begitu menerima upah.
Aku tak paham apa yang terjadi setelahnya, yang kuingat esoknya, pagi hari mulutku dibuka lebar-lebar oleh ibu. Dijejalinya mulutku dengan kain-kain lusuh nan bau. Perutku penuh dibuatnya, terlalu banyak aku disuapi ibu hingga aku ingin muntah. Kemudian ia menaburi kain-kain tadi dengan serbuk putih. Apa itu gula? Tapi baunya wangi sekali, aroma lavender yang menenangkan. Ibu menutup mulutku. Mengamatiku dengan seksama, kemudian memijit diriku. Tak butuh waktu lama aku merasakan perutku berputar. Mengaduk kain-kain yang dijejalkan ibuku. Perutku terus berputar selama kurang lebih satu jam, hingga akhirnya aku mengeluarkan air dari dalam perutku.
***
Ritual pengadukan perut terus berulang selama satu bulan. Ya, aku sudah tinggal di rumah ini selama satu bulan. Ritual mengaduk perut kulakukan setiap hari Jum’at. Selama satu bulan ini aku berusaha menyesuaikan diri dengan keluarga baruku. Ternyata aku punya satu kakak laki-laki usia anak SMA dan satu adik perempuan yang masih duduk di bangku SMP.
Sejujurnya aku terganggu dengan si kakak laki-laki. Terkadang ia memasukkan sendiri kain kecil ke dalam mulutku, terpisah dari rombongan kain lainnya. Memijit tubuhku yang lantas membuat perutku berputar. Hal yang menggangguku adalah kain milik si kakak laki-laki memiliki bau yang berbeda. Kain tersebut mengeluarkan bau kaporit yang memabukkan. Kalau bisa aku inginnya menolak saja, aku benar-benar tidak suka. Tapi tidak boleh, di keluarga baruku ini, aku ingin melakukan yang terbaik yang aku bisa.
Hal lain yang aku temukan di keluarga ini ialah keanehan ayah. Terkadang, tengah malam saat aku tidur ia membuka mulutku, menanggalkan kemeja kerjanya, kemudian menyisipkan kemeja tersebut di antara tumpukan kain dalam perutku. Saat ayah merasa meletakkan kemejanya di tempat yang pas, ia menutup mulutku perlahan. Setelah itu, sebelum pergi mengeloni ibu, ayah berbisik lirih. “Rahasia kita berdua, ya. Lakukan dengan benar, jangan sampai ketahuan ibu, oke?” Lalu ayah akan jalan dengan tergopoh-gopoh menuju kamarnya, memeluk ibu dengan penuh mesra. Kejadian itu terus terjadi berulang kali. Setidaknya seminggu bisa sampai tiga kali.
***
Dua bulan sesudahnya, aku mulai mengenal kebiasaan-kebiasaan keluarga ini, tapi sayangnya belum terbiasa. Selain kelakuan ayah dan kakak laki-lakiku, aku masih belum terbiasa dengan ibu. Ibu orangnya suka marah. Kadang ia melampiaskan kemarahannya dengan memukuli tubuhku. Tentu saja aku sedih, bukan berarti aku layak dipukuli hanya karena aku bukan anak kandung ibu. Lagipula, selama ini aku sudah membantunya.
Empat hari lalu ia marah dengan anak perempuannya. Sepertinya anak perempuan itu mengotori seragam putih hari Senin karena praktik kesenian. Noda cat berhamburan di seluruh penjuru seragam. Ibu sangat-sangat marah. Dibukanya mulutku dengan kasar, kemudian ibu melempar kain putih warna-warni ke dalam perutku. Setelah menuang tiga genggam bubuk putih, ia membanting mulutku. Sakit, aku tidak suka ibu yang begini.
Setelah ritual mengaduk perutku selesai pun ibu makin marah. Sepertinya karena noda catnya belum hilang. Ia menendangku dengan keras. Membuatku mengaduh kesakitan. Kurasakan sarafku ada yang putus. Ibu tidak peduli padaku dan terus meraung seperti Hulk. “Dasar bodoh! Gini saja tidak bisa! Kembalikan ke warna semula atau aku gigit kamu!” teriak ibu kesetanan sambil menendangku. Aku hanya bisa menangis dalam diam, menerima kemarahan ibu atas kelakuan anak perempuannya yang aku sendiri belum pernah melihatnya.
Meskipun kejadian itu empat hari lalu, aku masih merasakan sakit yang luar biasa pada tubuhku. Aku ingin dipijat untuk meluruskan saraf-saraf tubuh ini. Namun, yang ada hanyalah aku harus tetap menjalani rutinitas. Apalagi si kakak laki-laki semakin sering memasukkan kain kecil baunya itu. Sudah lelah, tidak enak badan, masih harus menghadapi benda memualkan itu.
Oh, iya. Aku lupa, hari ini hari Jum’at. Hari di mana aku melakukan ritual mengaduk perut. Tepat jam sembilan pagi, ibu masuk ke kamarku. Ia memasukkan kain-kain ke dalam perutku hingga lagi-lagi terasa sesak. Ditaburkannya bubuk lavender dan tak lupa memijit badanku. Setelah itu kurasakan perutku berputar. Ada yang aneh, putaran perutku terasa berat. Badanku semakin terasa sakit. Puncaknya di menit ke-45, kurasakan kejang di sarafku. Aku tidak mampu melanjutkan. Ibu yang menyadarinya menunjukkan wajah bingung dan kesal. Ia menendangku dengan umpatan menohok hati. Dengan terpaksa aku memutar perutku. Ayo, kurang 15 menit lagi! Aku terus menyemangati diriku dan… selesai! Aku berhasil melakukannya hingga akhir.
Kukira sudah berakhir, ternyata belum. Ketika ibu mulai mengeluarkan kain-kainnya satu per satu, ia berteriak saat menarik keluar kemeja ayah dari perutku.
“AYAH!” Jerit ibu, disusul dengan suara langkah yang tidak lain adalah langkah kaki ayah.
“Dalem, Ibu? Ada apa? Kenapa pagi-pagi teriak-teriak?” Ayah menghampiri dengan kalem.
“Selingkuh… Kau selingkuh?” Bola mata ibu sudah maju dua senti.
“Hah? Tidak, sayang. Kenapa?” Ayah mencoba mengelak. Percuma saja, ibu jelas paham kalau ayah berbohong. Sudah jadi ciri khas ayah kalau bohong jakunnya naik turun dengan cepat. Ibu dengan cepat mencangking kemeja kuning ayah, memperlihatkan noda lipstik di kemeja kuning itu. Mata ayah menyipit, wajahnya tegang, kemudian nyengir dengan wajah pasrah.
Ibu berteriak semakin menjadi. Dirobeknya kemeja kuning ayah dengan penuh nafsu. Kalau gini, sih, Hulk kalah. Ibu membanting semua barang di rumah. Suara barang-barang jatuh dan pecah saling tumpang tindih, saling berlomba siapa yang paling nyaring bunyinya. Paduan suara barang-barang itu selesai dengan satu dentuman dari pintu yang dibanting dengan keras. Ibu masuk kamar, entah apa yang dilakukannya di sana, mungkin mengemasi barang dan pulang ke pelukan nenek kakek sambil menangis mengadu.
Ayah tetap diam, wajahnya tak selembut biasanya. Tanpa ekpresi, menunduk, pokoknya sangat menyeramkan. Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, menatapku dengan tatapan dingin. Menendangku berkali-kali, persis seperti ibu, tapi lebih menyakitkan.
“Mesin cuci bodoh! Mahal-mahal aku membayarmu. Bukannya sudah kubilang untuk melakukan pekerjaan dengan benar?! Gara-gara kau rumah tanggaku berantakan!” Ayah terus mengumpat dan menendangku, kadang juga meninjuku.
Sakit, sungguh sakit sekali. Badanku peyok sana-sini. Tidak ingatkah mereka selama dua bulan ini aku yang membersihkan baju-bajunya? Membuat baju mereka wangi dan indah kembali dari yang sebelumnya penuh noda sana-sini. Percuma saja sepertinya seluruh usahaku selama ini. Apa manusia memang begini? Melupakan kebaikan hanya karena kesalahan yang tak seberapa. Bahkan kesalahan itu tidak sepenuhnya milikku. Kesalahan manusia-manusia itu berputar, membentuk siklus serupa karma kehidupan. Tidakkah harusnya manusia melakukan introspeksi atas masalah mereka dan bukannya menyalahkan yang lain? Aku tidak tahu. Aku tidak paham dunia manusia. Yang jelas, seluruh badanku kini sudah rusak. Aku kini hanyalah sampah. Aku tak berguna. Aku… sampah.