“Jika dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya, sistem pendidikan di Indonesia butuh 128 tahun untuk bisa menyamai pencapaian yang diperoleh negara-negara maju saat ini” cetus seorang profesor dari Harvard.

Ungkapan seorang profesor tersebut langsung di respon oleh pimpinan RI, ia mengatakan problem keterbelakangan pendidikan di Indonesia disebabkan geografis Indonesia yang terdiri dari puluhan ribu pulau, ada sekitar 17.000 Pulau. Tentunya sangat tidak mudah menjangkau dari pusat ke daerah, terutama yang berkaitan dengan hal pendidikan.

Dengan sisa-sisa keberanian, penulis yang notabenya sebagai mahasiswa yang selalu di tuntut untuk berfikir kritis menolak dan mengecam keras pendapat presiden tersebut. Bagi penulis sendiri, seorang pemimpin di era globalisasi atau revolusi industri 4.0 yang mengkambing-hitamkan letak geografis adalah sebuah bentuk kebodohan yang terselubung. Sebab jika menilik lagi kepada sejarah Indonesia di masa lampau, inspeksi pendidikan yang dilakukan pemimpin terdahulu ke berbagai wilayah pedalaman dan pesisiran yang belum ditopang oleh kecanggihan alat dan media tekhnologi bisa berkembang dengan pesat hingga megalami era kejayaan, salah satu contohnya pada masa pemerintahan Majapahit.

Pada masa Majapahit, Indonesia tidak hanya mencapai kemajuan secara ekonomi dan politik, namun juga mencapai kemajuan budaya dan pendidikan, salah satu contoh kemajuan dalam aspek pendidikan pada masa Majapahit adalah terbitnya tiga kitab legendaris, yakni: kitab Negarakertagama karya mpu Prapanca, kitab Sutasoma karangan mpu Tantular, dan kitab Arjunawijaya juga karya mpu Tantular.

Dari kemunculan tiga kitab legendaris nan fenomenal tersebut membuktikan bila letak geografis bukanlah suatu faktor yang pantas dijadikan sebagai indikator penyebab ketertinggalan pendidikan di negara. Menurut analisa lingkungan-sosial yang penulis lakukan, faktor yang menghambat negara ini berkembang adalah dholim terhadap semboyan negara sendiri—banyak masyarakat yang sudah tahu dan faham arti dari semboyan Bhineka Tunggal Ika, namun di lain waktu atau hari, mereka gencar melakukan agresi intoleransi. Semua yang tak seideologi, seepistemologi, seaksiologi, seteologi, sewarkop kopi, setai tai tai adalah kafir! Sesat! Syirik! Bid’ah! Dll. Fikiran dengan nalar yang dangkal.

Penulis beranggapan, bermula dari keengganan seseorang untuk mempelajari hal-hal baru baik di ranah filsafat, sains dan prinsip kebebasan lainnya sehingga menyebabkan seseorang itu mudah dihasut. sementara faham radikalisme dan fundamentalisme dapat di hindari atau di minimalisir dengan cara memperkaya gagasan dan memperluas pengetahuan sekaligus sudut pandang terhadap suatu fenomena.

Pertanyaannya bagaimana memperluas sudut pandang? Jawabannya adalah sebuah pertanyaan juga, “bagaimana caranya berfikir filsafat?” Menurut Immanuel Kant, filsafat tak bisa dipelajari, namun bisa dilakukan—berfilsafat. Lantas bagimana melakukan filsafat jika filsafat sendiri tak bisa dipelajari? Menurut penulis ialah dengan cara berlatih untuk bersikap skeptisisme terhadap apapun. Meniru Carl Sagan yang memegang prinsip filosofis yang sangat kuat, ia mengatakan bahwa “aku tak ingin percaya, aku hanya ingin tahu.” dari prinsip tersebut kita bisa memaknai bahwa meragukan sesuatu demi menghasilkan pemahaman yang baru itu bernilai lebih baik daripada menetap pada satu keyakinan yang tak pasti ujung pangkalnya. Ketahuilah, semakin besar sudut pandangmu, maka akan terlihat semakin pintar-lah kamu. Semakin banyak sudut pandangmu, maka akan terlihat semakin jenius-lah kamu. Tapi hanya orang bijak, yang bisa dengan tepat menentukan dari sudut mana dia memandang.

Lalu setelah melakukan sangsi terhadap apapun apakah kita masih membiarkan segalanya diatur oleh pendapat dari negara? Jelas tidak, bukan?  Hendaklah kita terbuka dalam berpikir daripada besar ego karena mudah takut akan ancaman penjara. Perlu penulis katakan, menurut Scopenhauer, guru Nietzsche yang masih sezaman dengan Hegel, bahwasannya ide berlian harus melalui tiga fase, yang pertama dicemooh dahulu, lalu dipertentangkan dengan hebat, dan yang terakhir adalah diakui karena terbukti kebenarannya. Perlu diketahui juga, tiga fase tersebut juga di lalui oleh Gus Dur dan Kiai Sahal.

Kembali ke permasalahan awal, kegagalan interpretasi pendidikan di Indonesia lantaran letak geografis itu sangat klise. Namun menurut Penulis menyuarakan dua faktor yang menyebabkan kegagalan tersebut, yang pertama adalah keengganan seseorang untuk mempelajari hal-hal baru dan malas untuk berpikir. Dampak yang dihasilkan oleh kemalasan tersebut ialah menjadikan seseorang acuh terhadap yang namanya kebebasan berpikir, dan jika seseorang sudah acuh terhadap kebebasan, ia akan mudah marah hanya karena tersinggung terhadap sentimen apapun, akibatnya tidak ada yang namanya kebebasan itu sendiri.

Jadi, alangkah baiknya bilamana orang dengan gelar sekelas presiden tak serta-merta menyalahkan letak geografis, namun melakukan survei psikologis rakyatnya terlebih dahulu. Terlebih hal tersebut berkaitan dengan alam. Tidak bisa disalahkan, letak geografis itu sudah kodrat yang telah ditentukan oleh Tuhan, jika berani melakukan vonis salah letaknya, berarti secara tidak langsung juga melakukan vonis salah terhadap kuasa Tuhan.

DarahKopi, SAA