Oleh: Friedrich Z. Fazi, Demisioner LPM Forma
Editor: Habib Muzaki
Hidup di belantara budaya patriarkisme membawa pengalaman yang sering kali memunculkan kesan subordinasi bagi perempuan. Bagaimana tidak, lingkungan tempat dirinya hidup terkonstruk dengan formasi superioritas lelaki. Bersamaan dengan itu, kebebasan wanita tidak jarang terkesampingkan. Derajat, harkat dan martabatnya kerap termarjinalisasi. Eksistensinya tidak lebih sebagai objek yang selalu menjadi sasaran dan pelengkap bagi subjek.
Pada konteks masyarakat Indonesia, serta belahan negara lain yang mayoritasnya beragama Islam, patriarkisme turut menjadi komponen yang memanipulasi diskursus hukum Islam. Salah satu produk dari diskursus tersebut dapat dilihat dari anggapan hukum Islam yang meregulasi legalitas poligami, bahwa Islam secara de facto memperbolehkan, bahkan membuka kran cukup lebar terkait praktik poligami.
Ditambah dengan adanya dalil yang secara jelas melegislasi praktik poligami, yakni Q.S. Al-Nisa’ ayat 3, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Ditambah lagi dengan perilaku Rasulullah saw yang menikah lebih dari seorang wanita membuat lelaki semakin bersikeras terkait legalitas dari pada poligami. Adanya kenyataan ini meniscayakan eksistensi patriarkisme semakin dominan. Pada akhirnya, dominasi budaya patriarki memiliki pijakan dan momentum yang tepat agar patriarkisme terus eksis mendominasi realitas suatu kebudayaan di masyarakat.
Berbicara dampak dari ketercemaran budaya yang banyak dimanipulasi oleh elemen-elemen patriarkisme sangatlah banyak. Di antaranya ialah diskriminasi terhadap wanita, pereduksian terhadap harga diri, harkat dan martabat wanita, marjinalisasi terhadap hak dan perasaan wanita, inferioritas terhadap eksistensi seorang wanita, serta berpotensi menempatkan wanita sebagai objek, sementara lelaki sebagai subjek.
Padahal, Islam sejatinya menempatkan posisi lelaki maupun wanita secara setara. Keduanya tidak ditempatkan pada posisi atas maupun bawah. Keduanya sama-sama terikat oleh tanggung jawab yang sama, serta saling melengkapi satu sama lain.
Menanggapi persoalan terkait Islam yang melegalkan poligami seperti sudah dibicarakan di atas, kiranya terdapat suatu kekeliruan pemahaman yang lebih banyak disebabkan oleh kesalahan metodologis dalam memahami perangkat ayat maupun hadits, sehingga terjadi suatu salah kaprah dalam mempersepsikan poligami. Pembacaan terhadap dalil agama seputar poligami sangat bernuansakan tekstualis. Di mana pembacaan dengan model demikian berdampak pada pemahaman secara leterlek yang acap kali terjauhkan dari makna substansial suatu teks.
Padahal, seperti diungkapkan oleh Syekh Ali al-Jumah, memutuskan suatu perkara secara tekstual tanpa disertai dengan kerangka metodologis yang jelas berpotensi menjerumuskan manusia pada jurang kesesatan. Di sinilah peran dan rekonstruksi metodologi pembacaan penting untuk dilakukan.
Pembacaan menggunakan model tekstualis selain mengeliminasi makna substansial suatu teks, model pemahaman demikian juga berpotensi penangguhan terhadap selubung ideologi tertentu. Artinya, pembacaan model demikian menciptakan suatu politik teks atau tiran pemaknaan. Dengan penjelasan lebih detail, diskursus ini mengantar pemaknaan pada dua hal. Pertama, mengelimasi makna substansial suatu teks. Kedua, penangguhan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu atau ideologi-ideologi terselubung.
Berdasarkan permasalahan di atas, perlu kiranya menghadirkan pendekatan metodologis, di mana dalam rangka pembacaan terhadap dalil poligami menyingkirkan selubung manipulasi ideologis, politik teks maupun tiran pemaknaan, sehingga makna dalil poligami di sini terbebaskan dari bias-bias pemaknaan yang mulai banyak dicemari oleh paradigma patriasrkisme.
Salah satu pendekatan metodologis yang bisa dipakai dalam upaya emansipasi teks ialah asbab al-nuzul dengan model dekonstruktif. Perlu digaris bawahi, instrumentasi asbab al-nuzul dengan model dekonstruktif di sini tidak hanya berupaya untuk mencari makna substansial suatu teks, tetapi berusaha menemukan pola-pola kontradiktif antara pemahaman dengan makna teks berdasarkan konteks yang terjadi pada masa lalu. Dengan demikian, suatu politik teks atau tiran pemaknaan, melalui kontradiksi-kontradiksi internal secara otomatis akan terdestruksi dengan sendirinya.
Dalil agama yang seakan-akan melegalkan praktik poligami didasarkan pada Q.S. Al-Nisa’: 3, beserta perbuatan Nabi yang memperlihatkan praktik poligami. Padahal, bila ditelusuri pada setting sosial di mana ayat ini diturunkan (konteks/asbab al-nuzul), ayat ini turun setelah umat Islam mengalami kekalahan telak pada Perang Uhud. Selain kekalahan, peperangan ini juga membawa kerugian besar terhadap umat Islam.
Sekembalinya Nabi dari medan pertempuran, Beliau mendengar banyak para wanita yang meratapi kematian suaminya. Pilu campur deru teraduk menjadi satu. Kepiluan tersebut semakin bertambah dengan keberadaan kondisi realitas sosial kebudayaan masyarakat Arab yang memposisikan wanita layaknya harta warisan (Armstrong, 2007: 164). Seorang suami yang meninggalkan istrinya secara otomatis akan diwariskan kepada ahli warisnya.
Di tengah jeritan para janda yang ditinggal syahid suaminya, lalu turunlah ayat yang secara tegas membolehkan lelaki menikah lebih dari empat istri. Ayat ini adalah Q.S. Al-Nisa’: 3. Penurunan Q.S. Al-Nisa’ pada dasarnya bukanlah suatu lisensi terhadap legalitas nafsu seksual lelaki. Lebih tepatnya, hal ini merupakan emansipasi terhadap ketimpangan dan ketidak adilan para janda kala itu yang berpotensi mereduksi derajat, harkat dan martabatnya.
Dari keterangan di atas, nilai-nilai prinsipil yang terkandung pada Q. S. Al-Nisa’: 3 pada dasarnya adalah emansipasi terhadap seorang wanita. Bisa juga dikatakan, di balik legalitas praktik poligami, Islam sebenarnya sedang berusaha untuk mengemansipasi wanita dari belenggu kebudayaan yang jahiliah. Oleh sebab itulah, akan tampak bias jika Islam serta merta melegalkan poligami tanpa alasan tertentu. Justifikasi seseorang yang mengatakan bahwa Islam membolehkan atau menganjurkan praktik poligami adalah sesuatu yang salah apapun alasannya.
Lebih jauh, lebih tepat dikatakan bila Islam sedang berusaha membuat legislasi sosial yang bertujuan untuk mengemansipasi wanita dari kebobrokan budaya pada masa itu. Langkahnya ialah institusi poligami.