Oleh: Habib Muzaki


Senyuman Seekor Ular

Lagi-lagi kelabu berkunjung
Butiran air bercumbu dengan daun
Gelegar tak henti menyambar
Serta dapur tak henti mengepul

Tiba-tiba sesosok ular keluar
Menyengat siapapun yang diam
Mencari-cari santapan malam
Semua memilih berlari

Sedang aku terpaku membisu
Kulihat lagi lekat-lekat
Bahwa itu disebut senyum
Sepotong senyuman sinis
Yang kuterjemahkan sebagai manis

Tafsiran dan Problematika

Sepertiga gelap mulai pergi
Inginku terlelap sampai pagi
Tapi aku masih sibuk dengan secangkir kopi
Juga nafas tembakau yang tak mau berhenti

Besama entitas yang tak terdefinisi
Aku sibuk menyodorkan diskusi
Soal tafsiran atas senyum semalam
Harus kusebut apa dengan kata?
Sementara lidah membisu mengeja

Candu-Candu dan Akal

Pada halaman rumah kayu
Pembebasan datang mengetuk pintu
Namun perasaan memilih jatuh dalam kubangan
Menjadi bagian orang-orang terbuang
Yang khusyuk merayakan alineasi
Dalam sendu bermandikan candu

Jadi, ditutup rapat jendela dan pintu
Akal pun sempat  mencela tak setuju
Bermandikan sisa-sisa kesadaran
Ia melakukan inisiasi pemberontakan
Meski akan sia-sia terpinggirkan

Altruisme Telah Mati

Rumah suci altruisme dibanjiri
Oleh para pengandai yang resah dalam sendiri
Sampai-sampai pencerahan datang menghampiri
Membagi-bagi lembaran akademisi
Yang dipenuhi dengan ayat-ayat evolusi       

Katanya, Sapiens memang unik
Bertahan hidup melawan deterministik
Pada realitas yang seolah terbatas
Dengan konstruksi fiksi-fiksi
Lantas memproduksi narasi-narasi
Tentang harapan yang dirawat dalam sepi

Tapi altruisme adalah topeng halusinasi
Maka, Feuerbach datang dengan Proyeksi
Membawakan sebilah belati
Altruisme yang suci dihabisi
Ditelanjangi di depan akal budi
Sampai-sampai ia berteriak,
“Doa-doa itu hanyalah candu”


Lamongan, 14 Maret 2021