Sumber gambar: google

“Sains jelas paham seorang akan mati kekurangn oksigen jika lehernya diikat kuat-kuat, tetapi sains tak akan mengerti kenapa seorang tidak boleh melakukan itu terhadap orang yang lain. Di situlah agama berperan.”

Ada sebuah pernyataan dari seorang pemuka agama yang menggelikan akal sehat. Pernyataan tersebut memuat kedangkalan dan kecerobohan mentakwil ayat suci agama, tentunya hal tersebut dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk menentramkan umat beragama (yang seideologi agama dengannya) yang pada saat ini tengah berjuang untuk survive dari kepungan ancaman bahaya virus Corona. Namun, alih-alih memberikan ‘ketentraman’ yang subtil, pernyataannya justru akan menimbulkan mis-presepsi antara Tuhan dan manusia. Karena dia, si pemuka agama tersebut, mengatakan bahwa Corona adalah tentara Allah. Lantas apakah pernyataannya tersebut tepat?

Jika konstruksi logika atas pernyataan bahwa Corona adalah tentara Allah ditelisik lebih jauh, kita akan menemukan sosok mufasir dan pemikir bernama Muhammad Abduh (Mesir, 1849-1905M). Tokoh tersebut mengartikan burung Ababil (tayran ababil) dalam surah al-Fiil secara metaforis sebagai penyakit cacar yang menular. Muhammad Abduh berpendapat, “Maka tak ada salahnya bila mempercayai burung (Ababil) tersebut dari jenis nyamuk lalat yang membawa benih penyakit tertentu. . . apabila menyentuh (mengenai) tubuh seseorang. . . akan menimbulkan bisul-bisul yang pada akhirnya menyebabkan rusaknya tubuh serta berjatuhannya daging dari tubuh itu.”

Perihal corak pada penafsiran surat al-Fiil ini, Muhammad Abduh terlihat memadukan Alquran dan teori ilmiah. Maksudnya adalah terminologi tayran ababil yang dipadukan dengan sains sehingga ditafsirkan dengan penyakit cacar. Dan mengenai corak ini juga, bisa diidentifikasi bahwa Muhammad Abduh dalam menafsirkan terkait terminologi tayran ababil juga bertujuan memecahkan problematika umat islam disekitarnya dan menolak argument yang bertujuan untuk melemahkan Alquran.

Seorang akademisi asal Mesir, Sayyid Quthb (Mesir, 1906-1966) memberi komentar terhadap penafsiran Muhammad Abduh. Ia berkomentar bila Muhammad Abduh sedang berada di lingkungan Madrasah Aqliyah tempatnya bertugas, yang mana Madrasah Aqliyah cenderung mengedepankan rasio dan berusaha untuk menghilangkan khufarat-khufarat dan dongeng-dongeng dalam agama. Hal ini disebabkan ilmu-ilmu pengetahuan yang baru ditemukan yang sehingga membuat keraguan terhadap agama. Jadi, dalam konteks di sini bisa dilihat bahwa masyarakat di sekitar Muhammad Abduh sedang dilanda masalah yang menyebabkan munculnya keraguan terhadap Alquran yang dianggap tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan. Berdasarkan fenomena itulah yang menyebabkan Muhammad Abduh berusaha menghilangkan keraguan itu.

Dari paparan singkat di atas dapat ditemukan benang merahnya, si pemuka agama menggunakan epistemologinya Muhammad Abduh dengan cara mengaitkannya kepada pandemi Covid-19 alias Corona. Sebuah analogi yang sama sekali tidaklah tepat dan sangat serampangan. Menginterpretasikan virus Corona sebagai azab dari Tuhan adalah tindakan yang gegabah, mengingat penularannya dalam skala global tidak pandang bulu; entah berkulit hitam atau putih, tetap kena. Entah orang Ateis atau umat beragama Yahudi-Kristen-Islam-Hindu-Buddha-Kong Hu Chu-dll juga sama, tetap berpotensi diserang virus tersebut. Entah seorang K-Pop, Punk, Reggae, Rock n Roll, dll juga terancam kena virus. Pokoknya semua manusia yang bernyawa terancam kena virus.

Oleh karenanya, menafsirkan virus sebagai azab Tuhan tidak lebih dari ketidakmampuan umat beragama dalam mengatasi fenomena alam secara logika yang jernih, rasional, kritis, holistik, dan membebaskan. Pandangan bahwa virus adalah azab juga seolah-olah menggambarkan Tuhan sebagai dzat yang pemarah dan mudah tersinggung. Di lain sisi juga menyimbolkan bahwa teologi agama sangat lemah, pesimis, dan penuh ancaman serta ketakutan-ketakutan.

Memanglah perspektif tentang virus sebagai azab Tuhan bukanlah hal yang baru terjadi. Kita bisa kembali menyimak fenomena tradisi intelektual Kristen di Semenanjung Ibera di era pra-modern atau sejak Uskup Isidore di Sevilla abad ke-7 hingga era Vicente Ferrer dari Ordo Dominician pada abad ke-15 tentang bagaimana penyakit sebagai metafora bagi hal yang menyimpang, heretik, dan dosa banyak digunakan.

Tetapi bagi kalangan terpelajar muslim zaman dahulu, virus dikonotasikan sebagai wabah, yang leksikal aslinya dari bahasa Arab, yakni waba’, adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari hanya karena manusia memeluk agama tertentu. Bahkan, Lisan al-Din ibnu al-Khatib dan Ibnu Khatima berusaha memahami wabah secara kreatif dan progresif, seperti Black Death (suatu wabah yang mewabah di Eropa pada abad ke-14. Membunuh 50 juta orang. Dengan kata lain, mengurangi 60 persen populasi Eropa), Lepra, dan lainnya melalui keseimbangan antara kausalitas Tuhan, argumen legal-teologis, dan warisan tradisi medis ala zaman Yunani old.

Dari upaya yang diargumentasikan oleh Lisan al-Din ibnu al-Khatib dan Ibnu Khatima membuktikan sekali lagi bagaimana sains adalah satu-satunya pencapaian manusia yang dapat dipercaya sampai saat ini, meski tidak sepenuhnya objektif. Selain meruntuhkan kembali bayangan-bayangan kita tentang sistem ekonomi-politik yang ideal, wabah Covid-19 juga memaksa kita untuk kembali memikirkan ulang premis-premis dasar kita dalam berkeyakinan; apakah agama secara prinsip bertentangan dengan sains. Pertanyaan tersebut pada akhirnya juga mengantarkan kita pada pertanyaan yang lebih mendasar tentang modus eksistensi kita; apakah kita benar-benar memiliki kehendak bebas?

Covid-19, tentu saja, bukanlah kasus pertama yang mempertemukan agama dan sains di persimpangan jalan. Sejarah konflik antara agama dan sains sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu; bumi datar vs bumi bulat, geosentris vs helio sentris, kreasionisme vs evolusionisme, dan masih banyak kasus lainnya yang tak kalah pelik. Namun, dari semua konflik tersebut, pandemi adalah kasus paling krusial sebab ia gayut dengan eksistensi dan keselamatan manusia. Dalam hal inilah kita hanya butuh merumuskan satu pertanyaan; apakah agama dan sains dalam prinsipnya bertentangan? Pertanyaan tersebut pada akhirnya akan mengantarkan kita pada sebuah keputusan epistemik; mana yang lebih adekuat di antara keduanya.

Russell, dalam bukunya Bertuhan Tanpa Agama (2013), mengatakan bahwa agama dan sains dalam prinsipnya memiliki kontradiksi fundamental. Menurut Russell, keduanya mendasarkan prinsip kebenarannya kepada asumsi epistemologis yang sama sekali berbeda; agama selalu berangkat dari klaim-klaim universal berdasarkan wahyu ataupun doktrin-doktrin metafisis lainnya yang kebenarannya bersifat absolut, sementara sains bertolak dari klaim-klaim partikular yang dibuktikan melalui eksperimen yang kebenarannya tentatif. Dari perbedaan prinsip itulah kita kemudian dapat mengatakan bahwa jika keduanya bertemu pada persoalan dengan objek material yang sama, maka keduanya tidak akan mungkin terhindar dari konflik.

Dalam kerangka pemahaman tersebut, kita kemudian sampai pada persoalan apakah agama dan sains memiliki objek persoalan yang sama sehingga memungkinkan untuk saling tumpang-tindih? Jay Gould, dalam bukunya The Rocks of Ages: Science and Religion in the Fullness of Life (1999), mencoba menjawab persoalan tersebut dengan mengajukan Non Overlapping Magisteria Argumentation (NOMA). Gould dengan tegas menyatakan bahwa agama dan sains berada pada ranah yang berbeda sehingga tidak mungkin untuk diintegrasikan apalagi dipertentangkan. Argumen ini didasarkan pada premis bahwa agama tidak pernah berbicara tentang dunia material yang menjadi ranah sains; agama hanya berurusan dengan makna, nilai, dan tujuan dari eksistensi manusia.

Dalam pembagian tipologi relasi agama dan sains yang diberikan oleh Barbour dalam bukunya Religion in The Age of Science (1990), NOMA mengandaikan dua pendekatan yang berbeda; independensi dan dialog. Pendekatan yang pertama mengandaikan keberpisahan penuh, sementara yang kedua memberikan ruang dialog untuk saling memahami satu sama lain. Dalam tulisan-tulisan populer, kita dapat menemukan bentuk-bentuk argumentasi ini dalam bukunya Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan (2013), yang ditujukan untuk membantah argumen-argumen ateisme ilmiah yang diusung oleh Dawkins dan beberapa ilmuan lain.

Tentu saja, NOMA bukanlah argumentasi yang cukup memadahi, jika bukan malah sesat pikir. Dawkins dalam tulisannya berjudul When Religion Steps on Science’s Turf (1998) membuktikan secara argumentatif bahwa agama dalam dirinya selalu mengandaikan klaim tentang dunia material ketika ia meyakini adanya kekuatan supranatural yang berkuasa penuh atas alam semesta dan seisinya. Klaim semacam itu, menurut Dawkins, secara tidak langsung menegasikan klaim sains yang hanya mengakui hukum alam sebagai modus kerja satu-satunya di alam semesta. Artinya kemudian, agama dan sains tidak pernah berada dalam ranah yang benar-benar terpisah sehingga pendekatan independensi itu tidak mungkin; yang mungkin hanyalah konflik atau integratif.

Wabah Covid-19 setidaknya menunjukkan pada kita wajah manusia Indonesia yang sebenarnya; penuh paradoks. Di satu sisi, kita dituntut oleh sebuah sistem masyarakat yang mengharuskan kita menjadi seorang yang religius, namun di sisi yang lain kita juga ingin mengejar ketertinggalan kita dalam perkembangan sains dan teknologi.

Hal tersebut, tentu saja, tampak tidak bertentangan sebab kita meyakini bahwa agama dan sains dapat berjalan berdampingan—entah karena struktur sosial kita yang cenderung menghindari konflik atau kita tidak benar-benar memahami prinsip mendasar antara keduanya. Bahkan, pemikir-pemikir kita—khususnya dari kalangan muslim—semuanya berlomba-lomba untuk mengajukan argumentasi paling rasional untuk menjustifikasi bahwa agama (Islam) tidak pernah bertentangan dengan sains modern. Kenyataan tersebut secara apik terdokumentasikan dalam penelitian Zainul Bahri (2018) yang memperlihatkan adanya sebuah kecenderungan ekspresif dari kalangan pemikir muslim untuk menunjukkan kembali identitas keagamaan mereka secara politis di tengah-tengah ancaman westernisasi. Tak ayal kemudian jika kajian tentang relasi agama dan sains di Indonesia seluruhnya didominasi oleh pendekatan integratif yang pada akhirnya tampak seperti fenomena pseudo-intelektual; seluruh penemuan sains sebisa mungkin selalu dicarikan legitimasi ayat, doktrin, norma, dan lain sebagainya.

Fenomena semacam itu, menurut penulis, tidak lebih merupakan sebuah sindrom personalitas yang terbelah (split personality); perkembangan sains dan teknologi memaksa kita untuk sebisa mungkin merasionalkan ajaran-ajaran agama yang kita pegang teguh. Permasalahannya jelas terletak pada ketidakmampuan kita untuk memahami premis-premis dasar yang kita gunakan dalam merespons sebuah persoalan: bahwa agama itu kebenaran mutlak, sementara sains sifatnya tentatif.

Hal semacam inilah yang akhir-akhir ini kita temukan banyak bertebaran di media sosial terkait wabah Covid-19. Begitu banyak sekali klaim-klaim religius kontraproduktif yang dilemparkan oleh para pemeluk agama—bahkan juga para pemimpin agama—untuk melegitimasi kebenaran ajaran mereka dan betapa mulianya agama mereka. Mereka tidak memahami bahwa kerangka berpikir semacam itu, yakni upaya untuk mengintegrasikan agama dan sains, suatu saat akan bermasalah sebab kebenaran sains sangatlah tentatif; tidak ada kebenaran akhir, yang ada hanyalah kebenaran terakhir. Boleh jadi saat ini sebuah ayat terbukti benar secara saintifik, namun bagaimana jika suatu saat ada penemuan sains yang mengatakan itu salah, jangkar kebenaran mana yang harus dipakai; ayat atau temuan sains?

Pada akhirnya, jika kita melihat kembali pada kasus Covid-19, hal paling masuk akal yang dilakukan menurut paradigma integratif adalah dengan menuruti kaidah sains terlebih dahulu kemudian baru berpasrah diri kepada Tuhan. Tampak tidak bermasalah? Secara prinsip, jelas tetap bermasalah. Kerangka berpikir yang demikian secara tidak langsung menempatkan Tuhan hanya pada sisa-sisa ketidakmampuan kita menyelesaikan persoalan (God of the gap). Hal tersebut semakin bermasalah ketika kita benar-benar mampu menentukan nasib kita sendiri melalui temuan sains dan bantuan teknologi; di mana kita kemudian menempatkan Tuhan?

Problem semacam itu hanya mungkin diselesaikan melalui argumentasi deisme yang meyakini bahwa Tuhan adalah seorang pembuat jam (the watchmaker). Deisme percaya bahwa ada Tuhan yang menciptakan alam semesta dan seisinya dengan sebuah ketetapan hukum—dan tugas sains adalah untuk memecahkan enigma tersebut. Namun, setelah penciptaan itu selesai, Tuhan tidak lagi ikut campur dalam seluruh proses kehidupan. Persoalannya, agama menjadi tidak lagi relevan dalam pemahaman semacam ini. Sebanyak apapun kita berdoa, bersujud, dan bersembahyang, Tuhan tidak akan pernah menjawab atau bahkan mendengarnya.

Namun, dari itu semua, yang lebih parah adalah kecenderungan untuk menyangkal temuan-temuan saintifik hanya untuk melegitimasi kebenaran eskatologis; bahwa kematian itu kuasa Tuhan. Pandangan semacam ini jelas sangat bermasalah. Pertama, penyangkalan atas kehendak bebas mengandaikan bahwa moralitas hanyalah omong kosong karena manusia tidak dapat dituntut pertanggungjawaban atas tindakannya—karena semua adalah kehendak Tuhan. Kedua, keyakinan deterministik semacam itu sangat berbahaya di tengah-tengah pandemi seperti saat ini; keyakinan individu dalam menyangkal bahaya virus korona bisa berakibat fatal untuk orang lain yang tidak mengerti apa-apa.

Penulis tidak hendak menyangkal bahwa agama juga memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh sains; dorongan psikologis yang membantu manusia mampu memaknai kehidupan, dalam kasus tertentu agama juga dapat menjadi modus komunikasi yang lebih efisien daripada sains. Namun, bukannya hal yang demikian itu menegaskan kembali bahwa kebodohan masih menjadi permasalahan penting? Juga, jika kita mengakui kekuatan psikologis yang dimiliki agama, bukannya hal tersebut menegaskan sekali lagi bahwa tuduhan Freud bahwa agama hanyalah problem neural itu benar; bahwa kita memiliki problem kesehatan mental yang akut, sehingga kita membutuhkan anti-depressan bernama agama?

Demikianlah kemudian, kita tidak seharusnya menggantungkan masa depan umat manusia kepada agama. Bahkan di tengah-tengah pandemi, kita tidak memiliki pilihan lain selain hanya percaya kepada otoritas sains; sekalipun ia tidak pernah dapat objektif dan bebas akan kepentingan, tapi itulah satu-satunya kebenaran yang manusia miliki sampai saat ini. Sebagaimana Imperium Utsmani hingga masa awal modern, sekitar abad ke-17, maju dan berkembang dengan ragam pengalaman akan berbagai bencana dan wabah yang mewabah, penyakit yang menjangkit tidak jatuh terpuruk hanya karena pasrah akan azab yang datang silih berganti tanpa permisi.

Hematnya, kita harus sekuat niat dan semangat berusaha untuk mencegah penularan dengan baik sebaik-baiknya dan benar sebenar-benarnya, tak pandang bulu apakah kita beriman atau tidak. Kita juga tidak dibenarkan apabila terlalu khawatir, juga tidak dibenarkan pula apabila kita cenderung bersikap meremehkannya. []

Fauzi SAA

 

Rujukan

  1. Sayyid Quthb, 2001, Fi Zhilal al-Qur’an, jilid 12, terj. As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insai Press.
  2. Karen Amstrong, 2013, Masa Depan Tuhan, edisi terbaru, terj. Yuliani Liputo, Jakarta: Mizan Pustaka.
  3. Russell, Bertrand. 2013, Bertuhan Tanpa Agama, terj. Imam Baehaqi, Yogyakarta: Resist Book.
  4. Zainul Bahri, “Expressing Political and Religious Identity
    Religion-Science Relations in Indonesian Muslim Thinkers 1970-2014” in Al Jami’ah: Journal of Islamic Studies. Vol. 56, no. 1 (2018).
  5. Ian G Barbour, 1990, Religion in An Age of Science: The Gifford Lectures 1989-1991 Vol. 1, California: HarperCollins.
  6. Gould, Stephen Jay. 1999, Rocks of Ages: Science and Religion in the Fullness of Life, New York: Ballantine Books.
  7. Maimun Asnawi, 2020, https://waspada.id/aceh/tengku-misran-fuadi-covid-19-itu-tentara-allah-swt/ (Jumat, 20 Maret 2020)