
doc.google
Sepuluh tahun lalu semua terasa menyenangkan, tidak ada beban dan aku tidak mau tahu persoalan yang di luar kendaliku. Mungkin karena aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, jadi aku merasa tidak memiliki tanggung jawab atas apapun kecuali diriku sendiri. Setiap hari aku menemukan banyak orang baru yang akan mengisi cerita-ceritaku selanjutnya, berbagai jenis karakter berbeda yang mengharuskanku memahami bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihannya.
Sore itu, 2 Februari 2009 menjadi awal dari segala cerita rumit yang sulit untuk kupecahkan. Semua bermula saat dia terus saja menggagu, aku juga tidak tahu apa penyebabnya. “Hei jangan lewat situ itu jalanku” katanya. Oke, aku berpikir apa ini jalan milik nenek moyangnya sehingga se-enak jidat ia berkata demikian tapi, aku sadar meladeni bocah sepertinya akan merusak ketentraman hidupku jadi kuabaikan saja. “Kamu tuli, apa bisu? Tidak dengarkah ucapanku tadi ha bocah kecil” ucapnya sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
Tentu saja aku geram memang siapa dia ha? Anak presiden? “Aku tidak bisu ataupun tuli tuan kecil sok berkuasa, dan apa jalan ini buatanmu atau keluargamu sehingga aku tidak boleh lewat sini?”. Entah karena apa dia mendorongku hingga jatuh ke tengah jalan lalu meninggalkanku begitu saja. Sialnya, tanpa aku sadari ada truk melaju sangat kencang ke arahku, sang supir terlambat mengerem hingga tubuhku tertabrak dan kakiku terlindas ban mobilnya hingga berbunyi seperti tulang kakiku patah. Namun, aku masih dapat melihat anak yang tadi mendorongku berlari kearahku entah untuk menolong atau malah hanya ingin menertawakan nasib sialku dan setelah itu aku tidak ingat karena semua mendadak menghitam.
“Aku dimana? Kenapa ini seperti bukan kamarku?” gumamku. Kulihat hanya ada Ibu yang duduk sendiri di sofa. Karena tersadar aku sudah membuka mata, Ibu menghampiriku dengan mata berkaca-kaca “Alhamdulillah ya Allah, kamu sudah sadar dek.” Tentu saja aku bingung memangnya ada apa sampai ibu seperti itu hingga aku mencoba mengingat kembali dan ya aku ingat. Aku ingat didorong oleh anak sombong dan berakhir tertabrak truk dan kakiku terlindas ban mobilnya, pantas saja setelah bangun tubuhku rasanya sakit semua.
Rasa sakit masih terasa, namun entah kenapa aku tidak dapat merasakan sakit di kakiku. Ku coba menggerakannya namun nihil, kenapa kakiku tidak dapat bergeser sedikitpun? Jelas aku binggung lalu aku menatap Ibu dengan tatapan bertanya. Dengan air matanya yang mengalir, Ibu berkata “Tidak apa dek, ini ujianmu, ujian Ibu juga. Kakimu memang tidak dapat lagi berjalan, namun Ibu siap menjadi kakimu sampai akhir hayat Ibu.” Perkataan Ibu tentu saja seperti melemparku ke dasar jurang, jadi aku lumpuh sekarang? Aku cacat? Aku hanya akan merepotkan ibu dan tidak akan pernah menjadi perempuan mandiri seperti impianku?
Setelah kakiku lumpuh, setiap orang jadi memandangku dengan tatapan kasihan dan sungguh aku tidak butuh belas kasih dari mereka. Tatapan-tatapan seperti itu malah sangat menyakiti hatiku, seberapapun aku berusaha tegar namun kenyataannya sangat pahit. Aku mencoba kembali manjalani hidupku senormal mungkin meskipun aku cacat. Sekolah dengan kursi roda hingga setiap penjuru sekolah membicarakan tentang keadaanku yang menurut mereka menyedihkan ini.
Kemana pun aku memakai kursi roda hingga suatu ketika kursi rodaku ditendang dari samping oleh seseorang yang sebenarnya saja aku tidak kenal. Dengan sangat mengenaskan aku terjatuh dan tertimpa kursi rodaku sendiri, “Hahaha.. mampus kamu cacat, orang cacat kok sekolah” ucap si hitam kriting yang kemudian disahuti tawa renyah oleh teman-temannya. Aku berusaha tuli saat mereka berbicara tanpa berpikir, sunguh sangat menyakitkan perkataannya. Namun tidak setetespun air mataku keluar, karena aku sadar kehidupan keras akan menantiku setelah ini.
Dua tahun kemudian aku masuk SMA, keadaanya memang tidak jauh berbeda. Aku masih dengan kursi rodaku dan masih banyak pula cacian ataupun hinaan yang tentunya ditujukan untukku, Si Cacat ini. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak aku menerima perkataan yang menyakitkan. Memangnya mereka mau berada sama persis seperti keadaanku ini? Jelas tidak ada yang mau. Mereka yang se-enaknya menghina itu pasti tidak dapat merasakan sakitnya, jadi aku berdoa saja semoga mereka tidak merasakan sakit hati yang sama di kemudian hari.
Aku masih ingat sekali pagi itu turun hujan deras, semua orang berlari untuk berteduh. tentu saja aku kesulitan untuk menepi hingga aku merasakan ada seseorang yang membantu mendorong kursi rodaku hingga sampai ke suatu ruko. “Terima kasih telah membantuku” ucapku berusaha melihat wajahnya. Dia pun menjawap sambil menatapku balik “Sama-sama Tari, masih ingatkah denganku?” Dan bagaimana bisa semesta kembali mempertemukan aku dengan orang yang membuat hidupku rumit. Yaa, dia si anak sombong yang mendorongku dan berakhir aku cacat karena tertabrak.
Pagi itu menjadi pagi yang panjang bagiku, amarah yang berusaha kupendam kini muncul ke permukaan. Berulang kali mulutnya berucap maaf bahkan sampai bersimpuh di hadapanku. Egoiskah aku jika tidak memberinya maaf? Setelah pagi yang kembali mempertemukan kita, hingga bertahun-tahun kemudian dia terus saja menemuiku. Hingga saat ini dia menjadi seorang pilot dan jika selesai bertugas dia pasti menemuiku.
Dan aku sekarang hanya menjadi penulis novel. Yaa, setidaknya dengan menjadi seorang penulis aku tidak membutuhkan banyak ruang gerak yang menyulitkanku. Hei! tapi aku sekarang bukan gadis lemah yang hanya dapat meratapi nasib, aku bahkan mampu untuk hidup dengan hasil kerja keras ku sendiri dan tentunya aku sudah dapat berdamai dengan masa lalu. Aku selalu berusaha menulis tulisan untuk tidak merendahkan siapapun karena pada dasarnya manusia itu sama, sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Hari ini setelah aku selesai mengisi seminar kepenulisan, dia menemuiku masih lengkap dengan seragam bertugasnya. Sebuah kotak hitam masih terbungkus rapi diberikan padaku namun dia berpesan untuk dibuka di rumah saja. Kadang aku sendiri bingung, tidak malukah dia dekat-dekat dengan orang cacat sepertiku? Atau dia hanya merasa bersalah karena kesalahannya dimasa lalu sehingga berusaha menebusnya dengan terus ada disampingku? Yaa mungkin saja, karena aku juga tidak tahu isi hati seseorang. Malam harinya di kamar aku membuka kotaknya, di dalamnya terdapat sebuah surat dan kotak merah kecil. Aku memutuskan untuk membaca suratnya dulu.
“Tari, jangan dengarkan mereka, kamu selalu sempurna sungguh. kamu seorang perempuan sempurna walau bagaimanapun keadaanmu saat ini. Setelah bertahun tahun aku menjalani hari bersama mu, aku menemukan seorang wanita hebat dan mampu membuatku nyaman saat bersamanya, yaa itu dirimu. Hari ini… hari ini aku ingin melamar mu, bukalah kotak kecil itu dan pakailah jika kamu menerimaku. Hahahaa maafkan aku yang terlalu pengecut ini, aku tidak punya nyali untuk mengutarakan langsung di hadapannmu sehingga aku hanya mampu menulis surat ini. Tari, terima kasih telah ada di sampingku selama ini. Tertanda Raka Dian.”
Setelah membacanya, kubuka kotak merah kecilnya dan isinya sebuah cincin. Aku tidak dapat menjelaskan perasaanku saat ini sungguh aku sendiri bingung. Harus apa aku setelah ini? pantaskah aku dengan semua kekuranganku ini bersanding dengannya? Seorang lelaki sempurna yang mempu mencari perempuan sempurna pula untuk mendampinginya. Bukannya aku merasa rendah diri. Tidak, tidak sama sekali. Jadi kubiarkan saja waktu yang menjawab semua kebingunganku dan pertanyaannya. Biarkan semesta yang bekerja untuk kita.
*Necyn