Hari ini adalah “Hari Pahlawan”.
Di tengah-tengah kota Surabaya berdiri kini satu tugu yang kuat dan perkasa, 45 meter tingginya menjulang langit dalam udara. Tugu itu bernama Tugu Pahlawan. Tugu yang diresmikan berdirinya pada 10 November 1952. Tugu itu akan terus bercerita kepada anak-anak kita, kepada semua angkatan yang masih akan lahir di bumi Indonesia.
Tiap-tiap orang yang lewat di depan tugu itu akan berhenti sejenak, dan merasa terharu dalam hatinya, merasa jantungnya berdenyut lebih cepat, dan darahnya mengalir lebih deras pada hari ini. Hari Pahlawan! Saat-saat bangkitnya semangat Para Pahlawan bangsa Indonesia secara massal, setelah berabad-abad lamanya terpendam, tersembunyi di dalam debunya sejarah.
“Merdeka atau Mati!”
Menjadi semboyan setiap PATRIOT. Dan mereka yang matimelepaskan nyawa dengan tersenyum, sebab hatinya yakin, bahwa pengorbanan mereka tidak akan hilang percuma. Sejenak kita renungkan, untuk apa mereka mati? Mereka mati untuk suatu “Ide”. Untuk satucita-cita, yang lebih besar dan lebih langgeng daripada mereka yang gugur itu. Dan apakah ide itu, yang demikian besar pesonanya, sehingga orang rela menerima maut, sehingga sang bapak rela meninggalkan anak, sang suami rela meninggalkan istri, sang anak relameninggalkan ibu dan sang pemuda rela meninggalkan sang pemudi.
Ide adalah satu dzat ghaib, yang tidak dapat dinyatakan dengan tegas, dengan kata-kata, tapi hanyalah dapat dirasakan dengan amat mesranya oleh jiwa dan hati yang mendapat wahyu daripadanya.
Segala pengorbanan, segala darah, segala air mata, segala penderitaan dan segala jiwa yang telah diberikan oleh pahlawan-pahlawan kita dalam revolusi, adalah jelas untuk membela ide Negara Nasional yang kita namai Republik Kesatuan yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka mati untuk ide Negara itu, untuk ide Negara itu, untuk ide Negara Nasional, Republik Proklamasi 17 Agustus 1945, dan bukan untuk ide Negara lain.Proklamasi itu adalah pangkal pelaksanaan bagi ide kebangsaan Indonesia yang bulat dan bersatu disusun dalam satu Negara yang berbentuk Republik.
Bung Karno berkata, “Negara kita berbentuk Republik. Saya minta supaya Saudara-saudara menyadari dengan sesungguhnya dan dengan semesra-mesranya apa arti Republik”.
Ada yang berkata Republik adalah Negara yang kepalanya bukan raja yang jabatannya atau kekuasaannya dapat diwariskan kepada keturunannya, tapi Republik adalah Negara yang kepalanya dipilih oleh rakyat, dan yang disebut Presiden. Itu hanya menunjukkan yang zahir saja, tapi sama sekali belum menentukan isinya.
Baiklah, mari kita perdalam mengenai kata Republik. Kata Republik asalnya ialah Res Publica, yang berarti kepentingan umum. Bukan kepentingan satu individu, bukan kepentingan satukelas.Dalam banyak di jaman-jaman lampau, menurut Sang Proklamator, Bung karno, Negara-negara Republik itu tidak berisi Res Publica, tidak berisi kepentingan umum yang berarti kepentingan bersama. Melainkan berisi kepentingan satu kelas atau golongan. Mereka yang berkuasa tidak konsekwen menarik logika dari makna Res Publica itu.
Merekahanya be-Res-Publicadi lapangan politik. Mereka membuat padang politik jadi kepentingan bersama, jadi milik bersama. Di lapangan politik semua warga Negara mempunyai hak yang sama dan kewajiban yang sama. Di lapangan politik semua warga negara di pandangsama. Tetapi mereka tidak menarik logika daripada makna Res Publika itu terus sampai kepada ekonomi.Begitu pula yang berada di lading ekonomi, mereka yang berkuasa tidak mau menjalankan hak dan kewajiban yang sama bagi semua orang di lapangan ekonomi. Mereka yang berada di lapangan social, tidak be-Res-Publicadi lapangan kebudayaan.
Ide mengenai Res Publica tidakmuncul secaratiba-tiba, pastinya melalui beberapa fase.
Fase pertama adalah fase kesukuan. Tiap-tiap suku merasa dirinya sebagai suatu kesatuan yang mutlak, dan masing-masing hanya mementingkan keselamatan dirinya sendiri saja.
Fase kedua adalah fase kepulauan. Tiap-tiap pulau merasa dirinya sebagai kesatuan yang mutlak dan masing-masing hanya mementingkan diri sendiri.
Fase ketiga adalah fase kerjasama antar suku dan antar pulau tetapi kerjasama itu hanya dilakukan atas dasar federasi, karena tidak ada satu suku ataupun pulau yang rela berkorban untuk suatu bangsa atau tanah air Indonesia.
Pada tanggal 28 Oktober 1928 Angkatan Pemuda mengikrarkan sumpahnya yang termasyhur:
“Kami setanah air, tanah air Indonesia,
“Kami sebangsa, bangsa Indonesia,
“Kami sebahasa, bahasa Indonesia”.
Dengan terbitnya matahari kebangsaan Indonesia yang bulat dan bersatu itu, hilanglah hak sejarah bagi ide provinsialisme, ide insularisme, dan ide federalisme. Maka barangsiapa sekarang ini membangkitkan ide kesukuan, ide kepulauan, atau ide federalism itu, ia adalah seperti orang yang menggali kubur dan mencoba menghidupkan kembali tulang orang yang dikubur 28 tahun yang lampau.
Memang, kita tetap berhak mencintai dan memadukan suku atau daerah kita masing-masing, tetapi kita harus mencintainya dan memajukannya dalam rangka kesatuan bangsa dan kesatuan tanah air Indonesia, yang tak bias dipisah-pisahkan.
Salah satu keinginan Sang Proklamator yaitu agar kepada rakyat Indonesia diberikan suatu Konstitusi Negara Kesatuan, yang berisikan Res Publica yang sebenar-benarnya, yang berarti kepentingan umum, kepentingan bersama, bukan kepentingan seseorang, bukan kepentingan segolongan orang. Suatu Konstitusi Res Publica yang bertujuan masyarakat adil dan makmur.
Bangsa yang demekian itulah hendaknyaBangsa Indonesia!
Maka, gelorakanlah Semangat Nasional-Mu!
Gelorakanlah rangsang kemauan Nasional-Mu!
Gelorakanlah rangsang perbuatan-perbuatan Nasional-Mu!
Dan, engkau, hai Bangsa Indonesia!
Res Publica !
(M.Fauzi ’16)