Dulu, jauh sebelum saya kuliah dan memilih jurusan Filsafat di UINSA, saya memiliki beberapa pertimbangan yang akhirnya memaksa saya menjatuhkan pilihan di jurusan ini.

Pertama, saya menyukai cerita-cerita aneh. Dari kecil saya akrab dengan cerita-cerita hantu, cerita tentang orang-orang sakti, cerita tentang sejarah tempat, sejarah pohon, dan cerita-cerita lain yang aneh dan sulit dipercaya. Saya suka cerita tentang kesaktian anak cucu Adam yang meski diberondong dengan peluru dia tidak mati, saya suka cerita tentang sejarah sungai yang berkelok-kelok yang katanya tercipta karena dulu sering dilewati naga, dan dari bekas naga itulah, tercipta sungai. Cerita itu sulit dipercaya dan aneh. Karena sulit dipercaya dan aneh itulah, maka menceritakannya selalu menyenangkan. Saya tidak tahu kenapa orang suka cerita aneh, biar orang-orang di departemen psikologi yang menjelaskannya.

Kedua, saya tidak suka pelajaran menghitung. Saya pembenci abadi Matematika, Ekonomi, dan kerabat lainnya yang terlalu berbelit-belit dengan angka. Saya trauma dengan Matematika karena guru MI saya yang galak dan suka marah-marah. Suka memarahi saya karena tidak pernah bisa mengerti. Sering sekali setiap ada soal, saya adalah murid pertama yang disuruh maju ke depan untuk menjawab soal itu, meski pun saya duduk paling belakang, tertutupi dengan teman saya yang badannya lebih besar, tetap saja saya yang ditunjuk untuk maju pertama. Di depan kelas, saya hanya berdiri sambil memegang kapur lalu mencoba menjawab. Tulis, hapus lagi, tulis, hapus lagi, begitu seterusnya, guru saya tidak sabar atas kebodohan saya dan marah-marah lagi. sejak saat itu saya benci Matematika dan benci guru yang galak.

Ketiga, saya tidak suka menghafal. Saya pengingat yang buruk, mungkin saat menciptakan saya, Tuhan lupa untuk memberikan daya ingat yang kuat, hingga akhirnya saya sulit mengingat.

Atas tiga pertimbangan itulah, saya menjatuhkan pilihan pada Filsafat. Teman-teman saya yang lain lebih suka memilih jurusan Ekonomi, Hukum, Pendidikan, dan lainnya. Tapi setelah istikharah selama tiga hari tiga malam lengkap dengan shalat hajat, saya meyakinkan diri memilih Filsafat. Bukan atas dasar pertimbangan jurusan ini keren, tempat orang-orang kritis, tapi karena di jurusan ini saya pikir saya tidak menemukan hafalan dan tidak menemukan matematika.

Saya juga mendengar cerita aneh kalau orang-orang di jurusan ini berbahaya. Saya tidak tahu apa makna dari “berbahaya” tersebut. Namun, yang saya ingat, saat saya mendaftar dan memilih jurusan ini, orang tua saya, paman, dan keluarga yang lain merayu saya untuk mengubah pilihan, bahkan ustaz yang di pesantren dihubungi untuk ditanyakan bagaimana pemahaman agama saya. Saat saya tanyakan pada ustadz tersebut, dia katakan kalau orang tua saya khawatir saya jadi ateis.

Kini, setelah tiga tahun bergelut di dalam dunia kefilsafatan, saya merasa ini pilihan yang tepat, saya tidak merasa salah jurusan. Saya justru kecewa dengan kurikulum perkuliahan yang disusun. Tanpa bermaksud menghina, saya pikir yang menyusun kurikulum kuliah Filsafat di kampus saya bukan orang yang mengerti Filsafat dengan baik. Bayangkan saja, di sana ada mata kuliah “Orientalisme” tapi tidak ada mata kuliah pembanding “Oksidentalisme.” Bahkan saat saya menjejaki semester ke tujuh, ada mata kuliah “Jurnalistik,” ada mata kuliah “Enterpreneur”. Juga yang membosankan adalah mata kuliah yang saya tidak lulus dan terpaksa mengulang “Fikih Ibadah”.

Saya tidak mengerti dan sampai sekarang tidak habis pikir kenapa saya yang jurusan Filsafat harus belajar Enterpreneur; kenapa saya harus belajar Jurnalistik; dan kenapa saya harus belajar Fikih Ibadah. (Tolong bantu jawab kalau diantara kalian ada yang mengerti)

Pernah saya tanyakan pada dosen yang mengampu mata kuliah tersebut, jawabannya sangat surgawi, “Anggap saja ini ilmu bonus untuk kamu.” Saya tidak terima, tapi nasi sudah jadi bubur, saya tetap harus mempelajarinya kalau ingin lulus, dan itu siksaan bagi saya. Mempelajari sesuatu yang tidak ingin diketahui itu adalah siksaan luar biasa. Asal kalian tahu.

Kemarin, saat mata kuliah Filsafat Pendidikan, saya sempat mengeluhkan ini. “Pendidikan kita di UINSA ini, atau di filsafat ini, seolah-olah yang mau belajar itu dosen, atau Kaprodi.” Selama saya disini, tidak pernah saya dengar kabar kalau kurikulum itu dalam penyusunannya melibatkan mahasiswa. Hasilnya apa? Ada mata kuliah yang saya anggap tidak jelas, ya seperti tadi itu: Jurnalistik, Enterpreneur, dan Fikih Ibadah. Saya katakan tidak jelas karena untuk apa kita belajar itu. Atau begini, saya masuk Filsafat bukan untuk belajar itu. Ok mata kuliah itu penting? Pertanyaan selanjutnya penting menurut siapa? Menurut Dosen kah? Menurut Kaprodi kah? Atau menurut Mahasiswa?. Bukan saya sok pintar, tapi ada yang salah dalam penyusunan kurikulum kita, bahkan mungkin dalam sistem pendidikan kita.

Lantas kamu maunya gimana?” Tanya seorang teman.

Harapan saya, semoga ini tidak terlalu tinggi. Pendidikan itu harusnya mengikuti keinginan mahasiswa, karena yang mau belajar adalah mereka, bukan si Dosen, bukan si Kaprodi, bukan pula si Dekan. Seharusnya biarkan mahasiswa yang menyusun kurikulum untuk dirinya sendiri, biarkan mahasiswa yang memilih dia mau belajar apa, biarkan mahasiswa yang memilih dia mau mendalami apa. Dekan, bahkan Rektor sekalipun hanya bertugas melayani apa maunya mahasiswa dalam hal pendidikan, atau kalau memang itu tidak bisa, carikan cara lain, karena itu merupakan masalah teknis. Intinya adalah, biarkan mahasiswa memilih sendiri apa yang mau dia pelajari.”

Lalu dijawab oleh dosen, “Itu ide yang baik, namun sistem kita tidak siap untuk menerapkannya.

Besoknya saya bertanya pada Pak Kunawi, Dekan saya sekarang terkait kurikulum. Tentang proses pembuatan kurikulum, tentang penyusunan mata kuliah. Katanya, kurikulum itu disusun melalui proses yang panjang. Pertama ada tim kecil yang terdiri dari prodi, (yang mungkin merumuskan mata kuliah itu), kemudian hasil dari tim kecil itu digodok lagi di semua dosen prodi, setelah itu dipanelkan pada semua dosen di fakultas. Kemudian sebelum dirumuskan oleh tim kecil tadi, ada pembekalan materi dari pakar keilmuan sesuai dengan prodi dan juga mendatangkan pengguna (Saya gagal paham di kalimat pengguna ini).

Itu proses panjang sekali, dan melelahkan tentu saja. Kemudian saat saya tanya apakah mahasiswa dilibatkan dalam proses pembuatan kurikulum itu, Pak Dekan menjawab, “Mahasiswa tidak dilibatkan karena mahasiswa sebagai konsumen. Yang lebih tahu materi dan silabi kurikulum adalah pengguna, dan pakar keilmuan terkait dengan ilmu di prodi.”

Saya terhenyak mendengar jawaban itu. Saya sebagai mahasiswa adalah konsumen, dan semua dosen di fakultas adalah produsen. Menariknya, saya sebagai mahasiswa adalah konsumen yang aneh, jika konsumen bebas memilih barang apa yang mau dia beli atau tidak, bebas memilih barang apa yang dia sukai atau tidak, tapi disini hal itu tidak terjadi. Saya bahkan tidak bisa memilih saya mau belajar apa, saya hanya disediakan Mata Kuliah yang sudah disiapkan oleh dosen tadi, yang mau tidak mau harus saya pelajari itu, (kalau saya mau lulus), walaupun saya tidak tertarik mempelajarinya. Itu aneh, aneh sekali.

 

Ditulis oleh mahasiswa Akidah dan Filsafat Islam