FORMA-Rabu, 17 Oktober 2018. Secara yuridis, pemerintah memang tidak pernah mengatur kedudukan Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (ORMEK) dalam keputusan kementrian pendidikan, hal ini dikarenakan ORMEK bukan merupakan kelengkapan stuktural organisasi di suatu perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ORMEK sendiri memiliki peranan yang cukup penting bagi dunia kemahasiswaan Indonesia. Bahkan pada masa lampau, ORMEK juga berkontribusi dalam melawan dan membrantas PKI (Partai Komunis Indonesia).
Meskipun berstatus sebagai Organisasi Ekstra, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak anggota ORMEK yang bisa “bermain” dalam jajaran Organisasi Intra yang vital. Seperti Dewan Eksekutif Mahasiswa yang berlatar belakang PMII, HMI, IMM, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan mereka memunyai kemampuan dan kapabilitasnya yang mumpuni.
Di UINSA sendiri, ORMEK dapat berdiri dan melakukan pengkaderan tanpa adanya tekanan dari pihak universitas. Sehingga tidak jarang jika mahasiswa menemukan beberapa stand kecil dari beberapa Organisasi Ekstra seperti IMM, HMI, GMNI, dan PMII yang tidak jarang terlihat berkibar di tiap-tiap fakultas, namun bebeda terkait jumlah.
Berasas memiliki kedudukan yang sama, beberapa pertanyaan pun muncul mengenai keberadaan stand ORMEK yang terlihat kurang seimbang bagi para mahasiswa UINSA. Lebih tepatnya pertanyaan itu rata-rata dilontarkan oleh MABA (Mahasiswa Baru) dan mahasiswa netral (Non ORMEK).
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kami mencoba melakukan wawancara pada beberapa pihak seperti perwakilan ORMEK selaku sasaran dari regulasi yang dikeluarkan Dema dan Sema, dan wawancara kepada Dema, Sema, maupun Dekan terkait Regulasi Perizinan Pendirian stand bagi ORMEK.
“Regulasi terkait perizinan dari Dema dan Sema sudah sangat transparan sekali. Soalnya di KBMF ini sudah dijelaskan semua. Ada ADRT-nya sudah jelas dan disana yang diundang nggak hanya beberapa orang, melainkan dari semua perwakilan”, ungkap Mansyur selaku ketua PMII rayon Ushuluddin dan Filsafat.
“Kalau ditanya terkait sistem regulasi itu sementara ini, utuk ORMEK memang bisa dikatakan minoritas menurut saya mendapat sedikit diskriminasi. Entah regulasi yang dibuat Sema maupun Dema seperti memiliki kecenderungan pada satu pihak. Saya mengatakan demikian karena fakta lapangan seperti itu. Mungkin kedepannya kalau dari saya mengharapkan adanya transparansi terkait regulasi yang ada di kampus. Supaya kedepannya tidak ada yang merasa dirugikan. Karena di sini kita sebagai mahasiswa memiliki hak yang sama. Seharusnya kan seperti itu, maka kami memohon dan meminta aturan itu ditegakkan sebagaimana semestinya sesuai ADRT yang ada. Terkait perizinan memang dirasa kurang ada sosialisasi dan untuk tenggang waktu juga dari profesionalitas Sema dan Dema perlu benar-benar diperhatikan. Ini memang kalau saya mengatakan seperti itu dianggap subjektif, tapi itu juga tidak bisa disangkal karena itu dari sudut pandang kami sebagai pemohon. Hal seperti itu harusnya disosialisasikan dengan baik lah”, ungkap Rokib selaku ketua HMI fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
“Yang saya rasakan, terkait dengan sistem regulasi di sini sangatlah memiliki substansi yang begitu tendensius (menyulitkan), kalau masalah perizinannya itu sendiri tidak terlalu sulit bagi saya. Walaupun, sejatinya penguasa itu seolah-olah ingin benar tapi manusia tidak bisa hidup dengan individualis. Kita hidup di Negara yang multikultural, dibingkai dengan kebhinekaan, berbeda itu sudah hal yang wajar di NKRI. Terutama berbeda kelompok, pesan saya jangan sampai ada konflik antar kelompok karena bapak-bapak pendahulu kita memperjuangkan kebebasan seperti itu tidaklah mudah. Saya mengutip kata favorit saya ‘Jika objek tidak memiliki kesadaran, maka ia tidak memiliki cahaya sebagaimana sebelumnya (Basudewa Khrisna)”, ujar Humam selaku ketua IMM.
Oleh karena itu tidak jarang banyak para mahasiswa yang bertanya-tanya seperti, “Saya dari awal kuliah tuh penasaran. ‘Kan waktu intensif dulu semester 1 dapat sosialisasi dari IMM, HMI, dan PMII. Tapi kok cuma ada stand PMII aja?” ujar Mahasiswa SAA semester 3 yang tidak ingin disebutkan namanya. “Keberadaan ORMEK sangat positif, namun yang disayangkan adanya situasi yang tidak kondusif. Sudah menjadi rahasia umum organisasi intra pun dikuasai oleh anggota yang berlatar belakang ORMEK tertentu. Hal itu yang menjadikan tidak natural dan tidak objektif dalam mengeluarkan beberapa aturan. Coba kalau mereka bisa rukun dan guyup, saling menghormati, saling toleransi. Jika dengan masyarakat berbeda agama saja kita menyerukan untuk tidak sara dan menghormati, kenapa dengan umat seagama kita harus baku hantam? Masalah stand juga janggal, harusnya ada edaran resmi dari pembuat aturan terkait itu. Jika dari sudut pandang kita yang tidak mengikuti organisasi, aturannya mungkin ada tapi tidak sama. Nah itu yang memicu konflik. Harapan saya setelah ini, semoga tidak ada konflik, aturan pun harus berimbang dan adil. Ayolah tumbuh bersama memajukan fakultas dengan organisasi masing-masing. Aturan juga harus dibuat bukan untuk kepentingan pribadi dan golongan tapi demi kepentingan bersama”, ungkap Rofiqoh mahasiswa IAT semester 3.
Pernyataan serupa juga diungkap oleh Rafi salah satu mahasiswa SAA semester 3, “Menurut saya organisasi ekstra di FUF yang terlihat cuma PMII. Saya tidak melihat HMI dan lainnya atau mungkin saya yang kurang peka. Soalnya yang saya rasa PMII ini yang paling banyak promosi dan mendominasi. Tapi kemarin saya sempat lihat stand IMM itu pun karena mereka membuat stand di Gazebo b2 yang strategis jadi cukup terlihat. Kalau yang lainnya masak kurang promosi ya?”, ungkapnya.
Salah satu mahasiswa IAT semester 3 berinisial LA juga mengungkap keganjalannya mengenai hal ini, “ORMEK menurut saya itu bagus kok Mbak. Cuma mungkin terkadang ada bentrok antar organisasi itu yang membuat image–nya kurang baik. Saya emang gak terlalu paham kegiatan mereka apa saja. Cuma kalau dari cerita teman saya yang ikut, ya cukup bermanfaat seperti kajian rutinan, misalnya. Menurut saya yang ganjal itu dari stand. Menurut saya juga kurang adil, setahu saya dulu HMI mendirikan stand di jamur, dan saya kurang paham kenapa ada bentrok, entah bentrok atau apa juga ya. Padahal jika menurut pandangan saya, tidak salah HMI mendirikan stand di situ. Kita kan juga tahu bahwa lahan fakultas terbatas. Tapi saya juga tidak tahu detailnya, mungkin saja sebelumnya ada masalah”, pungkasnya.
Untuk berusaha menjawab tanggapan dan keluhan dari beberapa pihak mengenai keberadaan stand ORMEK yang dirasa tidak seimbang, kami pun berusaha mewawancarai Dema Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang “melempar” untuk kami langsung melakukan wawancara pada Sema. Terkait Regulasi dan Perizinan, Irul ketua DEMA Fakultas Ushuluddin dan Filsafat mengatakan, “Untuk perizinan sendiri itu wewenang atau tugas SEMA, DEMA hanya selaku eksekutor yang menjalankan di lapangan”.
“Kalau perizinan buka stand, pertama harus melengkapi persayaratan, lalu mengajukan kepada SEMA. Setelah disepakati oleh SEMA, itu langsung dalam tahapan lapangan. Di mana itu nanti langsung minta izin kepada DEMA selaku Eksekutor. Kalau dari DEMA itu nanti diizinin, boleh buka stand itu nanti. Terkait sosialisasi itu dalam bentuk pengumuman yang ditempel di mading. Kalau untuk mengumpulkan semua elemen itu enggak. Ya tugas mereka saja untuk membaca di mading, kalau sosialisasi sendiri kami tidak mengadakan. Terkait jangka waktu itu dari organisasi yang meminta, jadi setelah organisasi meminta itu dengan fasilitas. Setelah dirasa cukup dan tidak menganggu baru diperbolehkan stand itu dibuka. SEMA tidak memberikan peraturan terkait jangka waktu, tergantung permintaan pemohon dan itu nanti dipertimbangkan oleh SEMA. Keterangan itu mencakup fasilitas, jangka waktu, dan tempat. Terkait dengan kesulitan menghubungi saya itu memang benar, karena jarang di kampus. Tapi kalau masalah perizinan stand itu sudah ada DEMA, atau teman-teman Sema sendiri sudah berusaha menjembatani ke saya terkait pembukaan stand. Terkait regulasi memang dari SEMA, lapangannya kepada DEMA. Dekan itu mengetahui terkait pembukaan stand tapi tetap menjadi kebijakan SEMA dan DEMA. Terkait perbedaan jangka waktu pembukaan stand itu karena keterlambatan pendafataran, akhirnya saya bawa ke Dekan untuk audiensi. Dari Dekan sendiri bilang kalau gak papa ditambah harinya tapi harus ada sanksi berupa pemotongan hari.Mengenai sanksi bagi keterlambatan pendafataran secara tertulis memang belum ada dan baru tahun ini menjadi kesepakatan Sema”, tutur Purnomo selaku Sema Ushuluddin.
Terkait hal ini, Kunawi Basyir selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat juga memberikan tanggapan, “Masalah perizinan ORMEK atau ORMADA itu sebenarnya urusannya Dema ya. Tapi di DEMA, kita (Dekan) itu perannya hanya sebagai pengawas. Karena sebagai pengawas, seluruh kegiatan itu kita harus mengetahui. Karena jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan itu pasti Dekan nanti yang kena, bukan mahasiswa. Nah ini kalau Dekan itu gak tahu itu beresiko. Walaupun toh sebenarnya itu adalah pekerjaan DEMA tapi nanti kalau ada apa-apa larinya pasti ke Fakultas. Terkait peraturan yang dikeluarkan DEMA, Dekan tidak memberikan perintah karena DEMA kan punya struktur sendiri. Jadi Dekan hanya harus tahu dan tidak bersifat mengintervensi. Tidak harus tiap ada masalah ke Dekan itu enggak. Tentang masalah pendirian stand itu juga program Dema dan kami hanya harus tahu”, pungkasnya.
(Riza/Sefri/MB Ridho)