Sumber Google

Tembang Ilir-ilir karangan Raden Said atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga, ternyata dapat memberikan kontribusi yang besar dalam progesivitas Pendidikan karakter anak. Melalui bait-bait tembangnya, Raden Said yang memiliki gelar lengkap Sira Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan Kalijaga Waliyullah Tanah Jawa Langgeng ing Banawa ini, menyiratkan nilai-nilai kehidupan yang dapat dijadikan sebagai pijakan. Khususnya pada pembentukan jiwa awal atau karakter seorang anak.

Konsep Pendidikan karakter yang dimunculkan salah satunya melalui bait “Cah angon-cah angon, penekno blimbing kuwi”. Dalam bait tersebut, kata “cah angon” dimaknai sebagai seseorang yang dituntut untuk mengendalikan nafsu. Di mana konsep nafsu dalam banyak hadith, memiliki dampak yang buruk jika tidak dapat mengendalikannya. Oleh karena itu, esensi dari hal tersebut penting sekali untuk kita ajarkan kepada anak sebagai pondasi kehidupannya.

Setelah dipahami lebih lanjut, korelasi antara nafsu seseorang dengan pembentukan karakter memiliki keterikatan yang besar. Ketika seseorang dapat mengendalikan nafsunya, ketenangan jiwa akan didapatkan. Dengan begitu, akan berdampak pada kesehatan mental, yang dapat mendorong peningkatan kecerdasan emosional atau emotional quotient (EQ).

Kecerdasan EQ sendiri, merupakan salah satu praktek dalam Pendidikan karakter. Raden Said juga memiliki falsafah yang inti sarinya berhubungan dengan EQ ini loh. Falsafah tersebut berbunyi Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti”. Esensi dari falsafah tersebut adalah penggambaran bahwa segala sesuatu yang buruk dapat dileburkan dengan kebaikan, kelemah lembutan dan kesabaran. Dan ketiga hal itu, dapat diramu ke dalam rana emotional quotient.

Falsafah Raden Said tersebut, ternyata juga dapat dihubungankan dengan bait lain dari tembang ilir-ilir yang berbunyi “Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar” Dari situ dapat ditemukan inti sari bahwa seseorang akan mendapat hal yang bermanfaat, setelah melakukan kebaikan. Dan kebaikan tersebut akan berbuah baik dikemudian hari. Hal ini juga memberikan keterangan tentang keberadaan Allah sebagai Tuhan semesta alam.

Berbicara mengenai ke-Tuhan-nan serta segala macam kebaikan, maka ruang lingkupnya sudah memasuki aspek Spiritual quotient (SQ). Aspek ini memberikan kontribusi Pendidikan karakter dengan berfokus pada pemecahan persoalan tentang makna dan nilai-nilai baik dari segi agama maupun kearifan lokal (local wisdom). Melalui tembang ilir-ilir selain dari EQ, SQ pun dapat di tarik esensinya. Hal tersebut dapat digunakan untuk mendidik karakter anak, menuju karakter yang berbudi perkerti luhur.

Setelah kita ketahui bersama mengenai esensi SQ yang ada dalam bait tak ijo royo-royo. Selanjutnya masih ada lagi bait yang mengekpresikan citranya dalam konteks spiritual question. Bait tersebut berbunyi “Lir ilir, lir ilir, tandure wes sumilir”. Bait pertama dalam tembang tersebut ternyata menyimpan nilai kecerdasan spiritulitas. Kata yang memiliki arti bangkitlah-bangkitlah, pohon sudah bersemi itu, dapat disibak tabirnya dengan mengungkapkan makna spiritualitas bahwa manusia harus sadar akan nilai-nilai hidupnya.

Kesadaran akan nilai-nilai kehidupan terwujud dalam kepribadian seseorang. Dengan landasan tersebut Pendidikan karakter seorang anak dapat diwujudkan melalui pemahaman anak terhadap velue of life. Pemahaman itu tentunya tidak dilakukan secara individual, melainkan diajarkan oleh orang yang lebih dewasa dan memahaminya.

Untuk memahaminya, tembang ilir-ilir yang dikarang Raden Said ini, memberikan konstruk pengkarakteran seorang anak yang mudah ditangkap, namun sulit untuk dipraktekkan pada masa kini. Hal tersebut dapat terjadi ketika berhubungan dengan realitas sosial zaman now, yang lebih menekankan pada aspek keilmuan eksaknya. Orang tua zaman now lebih bangga ketika anaknya mendapat prestasi akademis yang baik, dari pada mendidik watak anak itu menjadi pribadi yang baik. Hal tersebut jelas akan menimbulkan kurangnya pondasi anak dalam berbudi pekerti.

Melalui pemahaman kembali akan berbagai nilai turath, seperti esensi dalam tembang ilir-ilir tadi, dapat membuka pandangan bahwa hal-hal yang berbau tradisional atau masa lalu bukanlah hal yang tidak berguna, melainkan sebaliknya. Apalagi hal itu merupakan warisan budaya yang seharusnya dapat kita lestarikan bersama-sama. Dengan begitu ada manfaat yang dapat kita ambil selain hanya nyayian yang memang merupakan cover dari esensi tersebut. Manfaat itu pun juga ditentukan oleh penangkapan dan pemahaman tafsir dari balik tirai satirnya.

Esensi estetik juga budi luhur dari nilai seperti tembang dolanan ini. Tidak semua orang mengetahuinya. Oleh karena itu, perlu ada yang menjadi pengangkat masalah ini ke publik. Kalaupun nanti ternyata hanya dijadikan sebagai nyanyian tanpa menguak tabir penafsirannya. Setidaknya sudah dilakukan pelestarian agar tidak lenyap dari permukaan budaya

Memperkenalkan anaknya pada tembang ilir-ilir. Mengambil inti sari dan menerapkannya. Memberikan suntikan besar dalam Pendidikan karakter anak. Dengan begitu, keeksistensiannya akan terasa meskipun hanya pada kalangan mereka yang memahaminya. Hingga tercipta generasi yang bukan hanya pandai dalam ilmu umumnya, tetapi juga mulia dengan budi pekerti luhurnya.

Riza R.