Penulis: Chintya Octavia SH

Editor: Sabitha Ayu Nuryani

Sumber: Dok. pribadi

Telingaku berdenging, memainkan nada sumbang di kepala yang membuatku pusing. Barangkali ini akibat suara deruman kuda besi yang saling tumpang tindih. Saling melesak menjejali rongga telinga. Belum lagi aroma solar dari bus yang lalu lalang membuatku mual.

Aku menutup mataku sebentar. Berusaha untuk mengendalikan diriku juga pikiranku. Tak mungkin aku mengeluarkan isi perutku di tengah trotoar. Membayangkan bagaimana roti yang kusiapkan untuk mengisi perutku tadi pagi kembali keluar membuatku merinding. Bagaimana aku tidak merinding kalau roti itu adalah makanan terakhir, kini aku harus memutar otak untuk mengisi perut lagi esok.

Aku membuka mataku perlahan seiring kesadaranku mulai kembali. Bukan hanya bau solar dan bising kendaraan yang membuatku mual, sinar matahari juga. Sinarnya menelisik menembus bulu mata panjangku, berebutan untuk masuk. Semakin pusing saja aku dibuatnya.

Akhirnya kuputuskan untuk duduk di depan sebuah toko yang sudah tutup dari tiga bulan lalu. Aku sering berbincang dengan pemilik toko tersebut. Terakhir kali aku berdialog dengannya, ia mengeluh kalau sudah tidak sanggup untuk meneruskan usaha. Sewa toko menjadi sangat mahal dan jam buka dibatasi oleh pemerintah. Ingatanku kembali pada saat-saat ia bercerita dengan semangatnya–lebih tepatnya penuh emosi–hingga kumisnya yang tebal bergoyang-goyang gemulai.

“Kau tahu, Keceng? Nyonya Gembrot itu menaikkan harga sewanya lagi! Katanya ia butuh uang untuk beli popok buat anaknya. Aku balas saja dengan bilang kalau istriku juga butuh popok setiap bulannya. Padahal aku tahu anaknya sudah umur enam tahun dan aku lihat dia pipis di selokan sebelah tadi pagi, dengan kaki satu pula. Mungkin lebih baik aku berjualan cilok saja.” omelnya saat itu yang masih kuingat sampai sekarang.

Ingatan tentang omelan-omelan pemilik toko membuatku sedikit lupa dengan rasa mualku. Tanpa sadar aku tertawa, membuat orang-orang yang lewat di depanku bingung, bahkan anjing saja lari terbirit-birit.

Setelah kurasa perasaanku membaik, aku berjalan lagi. Menyusuri trotoar panjang yang serasa tidak ada habisnya. Kadang aku melompat ke bangku-bangku trotoar sambil membayangkan kalau aku adalah seorang ninja. Kadang juga menendang batu dan memunguti sampah plastik yang tergeletak tak berdaya di trotoar. Hingga akhirnya aku sudah sampai di pertigaan jalan. Aku belum bisa menyeberang sebab lampu masih hijau.

Saat lampu hijau itulah aku melihat seseorang di seberang sana. Mataku menyipit mencoba memfokuskan pandangan kepada sosok tersebut. Setelah beradu dengan lalu lalang kendaraan, aku bisa mengenali siapa di seberang sana. Dialah Yogi yang mencuri pandanganku, teman satu kelas di sekolah menengah atas. Lantas aku menunduk.

Aku malas menatapnya, di lain sisi nyaliku juga menjadi ciut. Semangat ninja yang kubawa saat menyisiri trotoar hilang. Mungkin ia telah melompat mencari jiwa lain untuk diajak bertingkah di trotoar tanpa malu sepertiku tadi. Dengan kepala yang menunduk begitu dalam, aku melihat bungkus nasi tepat di bawah sandalku. Aku jadi teringat saat-saat di bangku sekolah dulu.

Aku dan Yogi adalah teman yang… emm.. boleh dikata baik. Kami sering jalan berdua. Maksudku, kami dekat sehingga kemana pun aku berada, bisa dipastikan pula si Yogi ada. Kami kawan diskusi yang nyambung meski banyak cekcok. Game, politik, sosial, ekonomi, konspirasi elit global, dinosaurus, bahkan tokoh fiktif di animasi Jepang kami libas habis dalam diskusi di warung Mbok Atik.

Sebetulnya kami berdiskusi tidak hanya berdua, lagipula mana mau aku duduk berduaan mulu dengannya. Oleh karenanya baik aku maupun Yogi sering mengajak siapa pun yang ingin ikut serta berdiskusi. Sebelum diskusi dimulai, kami biasanya melakukan ritual dua bungkus. Masing-masing kami membeli dua bungkus nasi kucing andalan Mbok Atik. Siapa yang habis duluan, dialah yang harus memulai diskusi.

Berdiskusi dengan Yogi bagiku kadang adalah hal yang melelahkan karena tidak jarang malah menimbulkan perdebatan antara aku dengan Yogi. Contohnya saat itu ia berkoar-koar untuk menuntut sekolah kami karena baginya hak kami tidak tersalurkan dengan baik. Kami membayar SPP bulanan yang lebih mahal dari anjuran pemerintah daerah. Padahal perihal SPP sudah menjadi kesepakatan antara wali murid dengan sekolah saat rapat wali murid awal semester.

“Kita harus tanya, ke mana uang SPP kita selama ini?”

“Membayar listrik, guru honorer, dan acara organisasimu, tuh.” aku agak bosan, sudah sembilan kali ia mengungkit masalah itu saat diskusi.

“Tidak. Aku yakin uang SPP masih sisa banyak. Sekolah sering jam kosong, rugi banget! Lagipula pemerintah sudah menetapkan besaran SPP, kenapa sekolah menyuruh kita bayar lebih dari itu? Bahkan harus utuh walaupun tidak sebanding dengan fasilitas yang kita dapat!” Yogi bersikukuh dan aku diam saja. Aku sudah malas. Berkali-kali ia berteriak minta hak, tapi ia selalu bolos kelas intensif bahasa Inggris yang diadakan sekolah. Bagiku ia menyia-nyiakan hak yang ia teriaki.

Lagipula, menurutku uang orang tuanya tidak habis untuk bayar SPP, mungkin lebih banyak dihabiskan untuk Yogi nongkrong bareng kakak kelas. Sudahlah, aku lebih baik diam saja karena apa pun jawabanku akan dijawab dengan jawaban pemungkas, “Kondisi ekonomi orang beda-beda dan aku membela rakyat kecil!”

Jujur sulit sekali rasanya untuk melawan Yogi. Kadang aku sangat kesal dengan dia dan semakin kesal ketika kakak kelas sering nimbrung diskusi nasi kucing kami. Yogi seolah semakin dipanasi dengan narasi-narasi yang menurutku semakin ngelantur.

Aku berlainan sisi dengannya dalam hal aksi. Aku lebih banyak menggali minat dan bakatku demi kehidupan di masa depanku. Sejujurnya aku setuju dengan Yogi karena sekolah ini sering sekali memungut biaya kepada siswa entah untuk buku atau biaya kartu pelajar. Tapi, aku merasa ada hal yang lebih penting ketimbang bergabung bersama Yogi untuk melawan sekolah.

Mungkin karena perbedaan itulah kami sempat renggang selama satu tahun. Kelas dua belas semester satu, Yogi mendatangiku dan mengajakku untuk kuliah di Jakarta. Aku ingin, tapi tak sanggup. Biaya perjalanan dan hidup di sana tentu akan membebani keluargaku yang memiliki sepuluh perut untuk diisi setiap harinya. Aku terang-terangan menolaknya. Toh, di Surabaya tidak kalah jauh.

Seperti yang kubilang, adu mulut melawan Yogi adalah hal yang sulit untukku. Dia menawarkan hal yang sulit kutolak. Kata dia, aku bisa menjadi penyanyi seperti idolaku, Iwan Fals, kalau aku ke Jakarta. Dia bilang dia punya relasi. Aku akan menjadi penyanyi pembela rakyat dan Yogi akan menjadi pengusaha terkenal.

Begitulah rencananya, tapi lihatlah dia sekarang. Setelah ke Jakarta sepertinya rencananya tidak mulus. Kini, ia duduk seorang diri di pinggiran pot tanaman besar yang fungsinya untuk memperindah trotoar. Bajunya hanya kaus oblong agak kebesaran dan celana pensil favoritnya. Tiba-tiba mata kami bertemu. Ia mengernyitkan dahi dan berdiri menuju pinggir trotoar. Seiring lampu merah menyala, ia berlari kecil. Semakin ia mendekat, mataku semakin melebar. Hingga ia berdiri tepat tiga puluh senti di depanku.

“Hei, kemana aja, sih? Nih ukulelemu, ayo cepat nyanyi. Kebetulan lampu merah sudah menyala.” Yogi lantas memberiku gitar kecil dengan empat senar. Aku menyanyi dan ia berkeliling di sela-sela pengendara dengan tangan menyodorkan bungkus ciki saat lampu merah.