Penulis: M. Akbar Darojat Restu Putra

Editor: Adi Swandana E. P.

Sudah hampir dua tahun saya menjadi mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF). Tentu ada rasa senang tersendiri bisa menjadi mahasiswa dari fakultas tersebut. Hal ini nampak dari banyaknya mahasiswa yang ramah, solidaritas yang tinggi antar sesama kawan dan perkuliahan yang cukup fleksibel.

Namun, kesenangannya terasa kurang lengkap karena satu masalah yang cukup krusial: kekurangan (atau bahkan ketidakhadirannya) diskusi kelimuan di fakultas tersebut. Sejujurnya, selama menjadi mahasiswa di fakultas ini saya jarang menemukan diskusi keilmuan antara sesama mahasiswa. Kalaupun ada sesuatu yang berbau kajian keilmuan biasanya termanifestasi dalam bentuk seminar atau webinar yang diadakan oleh pihak jurusan atau fakultas kampus.

Jelas berbeda dengan apa yang disebut dengan seminar dan diskusi. Seminar biasanya mengundang tokoh atau pakar materi seminar. Di dalam seminar sendiri tidak semua orang bisa bertanya dan pertanyaan yang diajukan pun umumnya dibatasi. Hanya orang yang dipilih oleh moderator saja yang bisa bicara.

Sedangkan, di dalam diskusi semua orang bisa mengajukan pendapat ataupun pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan pun bisa disampaikan bila tak paham atau bahkan memberi bantahan atas materi yang sudah disampaikan. Dan seseorang yang mengisi materi tak lebih hanya menjadi pemantik dalam diskusi. Terlihat bagaimana diskusi bisa menjadi kajian kelimuan kolektif yang demokratis.

***

Mengapa saya mengatakan bahwa kurangnya diskusi keilmuan di FUF adalah suatu problem krusial? Jawabannya tak lain dan tak bukan adalah karena kita mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat. Saya sering mendengar dari banyak mahasiswa bahwa FUF adalah fakultas yang paling dekat dengan diskusi kelimuan.

Saking dekatnya dengan aktivitas itu, seorang kakak tingkat—saya pernah dengar—melambangkannya sebagai “Fakultas Biru”. Biru dalam hal ini merujuk pada warna langit dan samudra. Mela lui simbol ini, menurutnya, seorang mahasiswa FUF dituntut untuk memiliki ketinggian ilmu laksana langit dan kedalaman ilmu laiknya samudra.

Saya tak menampik penyimbolan itu. Saya bahkan menyetujuinya. Memang kalau ditelisik lebih dalam memang ushuluddin adalah ilmu agama yang bersifat fundamental. Ia adalah ilmu yang berbicara mengenai keyakinan beragama; hubungan Islam dengan agama lain; hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.

Tema-tema demikian tentu saja bersifat teoritis yang karenanya butuh untuk didiskusikan. Apalagi kalau berbicara mengenai filsafat. Tak bisa kita harus butuh untuk diskusi, tukar pikiran atau bahkan panjangnya.

Namun, antara apa yang dibicarakan dan dipraktekkan sungguh bertolak belakang. Banyak mahasiswa yang saya temui (dan bahkan kakak tingkat ketika PBAK) membangga-banggakan bahwa FUF sebagai ladang untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Padahal realitas di lapangan jauh dari implementasi itu.

Kalau saya boleh jujur, mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat yang saya kenal lebih banyak berbicara tentang kebiasaan sehari-hari atau bahkan lawan jenis. Jarang sekali mahasiswa yang mengajak berbicara mengenai pemikiran tokoh; realitas sosial yang sekarang sedang mengemuka; bagaimana kondisi Indonesia sekarang ini dan sebagainya.

Saya tak menyalahkan apabila mereka berbicara mengenai hal yang remeh-temeh itu. Pembicaraan mengenai hal tersebut tentu saja diperlukan untuk mengisi waktu luang atau menyegarkan pikiran sehabis mengerjakan tugas kuliah yang menumpuk. Bahkan terkadang sesuatu yang besar berangkat dari hal-hal demikian. Namun, patut untuk saya utarakan bahwa pembicaraan mengenai hal tersebut juga mesti dibarengi atau diseimbangkan dengan hal-hal yang bersifat keilmuan.

Hal lain yang juga kerap dibicarakan oleh mereka tak lain dan tak bukan adalah politik kampus. Pembicaraan mengenai hal ini sedikit-banyak memang memiliki manfaat. Selain mahasiswa bisa melek dengan realitas fakultas, mereka juga bisa belajar mengenai apa makna demokrasi.

Sayangnya, apa yang mereka bicarakan acapkali lebih bersifat pragmatif dan praktis, alih-alih konstruktif dan solutif. Dengan lain kata, mereka lebih suka berbicara mengenai siapa yang bakalan duduk di singgasana ormawa kampus ketimbang meneliti, mengkaji atau menganalisis bagaimana realitas politik kampus. Apabila dilakukan secara terus-menerus, pembicaraan ini tak banyak mengandung faedah dan hanya buang-buang waktu saja.

Sebenarnya, saya pernah melihat diskusi yang cukup rutin di FUF. Diskusi ini diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Prodi (HMP) Aqidah dan Filsafat (AFI) angkatan 2020. Namun, diskusi ini kemudian berhenti ketika masuk dalam pembahasan mengenai Sokrates.

Sungguh disayangkan. Padahal cukup banyak mahasiswa AFI yang berpartisipasi dan antusias mengikuti diskusi ini. Namun, entah mengapa diskusi ini kemudian berhenti.

Diskusi rutin di HMP lain setahu saya tidak ada. Umumnya diskusi yang diselenggarakan oleh mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat lebih bersifat momentum. Misalnya, ketika Isra Mikraj, untuk memperingatinya mereka menyelenggarakan diskusi mengenai sejarah dan hikmah peristiwa tersebut.

Diskusi juga diadakan hanya ketika ada peristiwa sosial-politik yang sedang mengemuka. Tetapi, diskusi tersebut seringkali bersifat tentatif. Misalnya, diskusi mengenai kenaikan harga BBM, revisi UU KPK, Omnibus Law dan lain-lain. Dengan demikian, belum pernah ada diskusi yang diselenggarakan secara rutin oleh mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat.

***

Pernah saya dengar dari banyak mahasiswa bahwa sebelum Covid-19 dan ditiadakannya jam malam di kampus, diskusi berlangsung semarak di fakultas. Tiap hari orang mengadakan diskusi hingga suntuk malam. Orang bahkan rela menginap di kampus untuk mengikuti diskusi.

Untuk cerita ini, saya perlu menanggapi bahwa Covid-19 memang membuat transformasi katastrofik bagi banyak aspek, tak terkecuali pendidikan. Walau Covid-19 mulai mereda, mahasiswa lebih suka kuliah daring ketimbang luring; mahasiswa lebih suka scroll TikTok ketimbang membaca buku dan sebagainya.

Namun, bukan berarti kita kemudian hanya meromantisasi semaraknnya diskusi di masa lalu. Hal ini tak ubahnya seperti orang Islam yang meromantisasi kejayaan Islam masa lalu tanpa melakukan tindakan konkret kiwari untuk membangkitkan kembali kejayaan Islam.

Terkait dengan persoalan jam malam, bukan wilayah tulisan ini untuk membahas masalah itu. Namun demikian, kita sebenarnya bisa menyelenggarakan diskusi di saat jam kuliah telah selesai atau di luar kampus bila ingin waktunya saat malam hari.

Apa yang kemudian mesti dilakukan untuk menumbuhkan minat diskusi keilmuan di FUF, pertama-tama adalah memberikan kesadaran akan pentingnya diskusi. Bahwa diskusi memiliki manfaat yang banyak bagi perkembangan intelektual mahasiswa. Diskusi dapat menambah wawasan keilmuan yang tak ternilai harganya.

Selanjutnya, selain bagaimana kita membuat suasana diskusi menyenangkan, kita juga mesti membuat format diskusi yang kreatif. Misalnya yang dikerjakan oleh kawan-kawan Lembaga Pers Mahasiswa Forma dengan membuat program mentoring bernama “Tadika Forma” untuk menarik mahasiswa agar berpatisipasi secara aktif dalam program tersebut. Artinya, kita mesti menyajikan dan mendesain diskusi agar mahasiswa lebih tertarik atau minat mengikutinya.

***

Lebih daripada menambah wawasan keilmuan, diskusi mengajarkan kita untuk bersikap egaliter. Tak ada yang namanya senioritas dalam diskusi. Tak ada pula yang boleh merasa lebih pintar dan lebih bodoh. Semua orang harus setara apabila memasuki gelanggang diskusi. Dengan lain kata, semua orang bisa saling bantah-membantah tanpa mengenal adanya pangkat, umur, keturunan dan lain-lain.

Melalui diskusi pula kita bisa mengerti sejauh mana kualitas dan kemampuan kita. Di sini orang bisa sadar mengenai hal yang perlu diperbaiki dan dievaluasi dari apa yang telah dipelajari. Orang juga bisa mengoreksi atau bahkan melakukan otokritik atas dirinya sendiri: suatu hal yang jarang ditemukan di luar diskusi.

Satu hal lain yang juga bisa diperoleh dalam diskusi ialah kedewasaan. Orang yang terbiasa melakukan diskusi umumnya akan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Mereka tak mudah naik pitam atau bahkan mengayunkan tangan. Masalah yang datang akan diselesaikan dengan solusi yang matang.

Dengan manfaat-manfaat di atas, oleh karena itu, kita patut mengutuk sikap yang anti terhadap aktivitas diskusi. Sikap ini bisa termanifestasikan dalam bentuk pelarangan, menolak perdebatan atau mengklaim dirinya benar secara ekslusif. Sikap demikian adalah hama yang mengganggu bagi tumbuh-kembangnya intelektualitas. Karena itu, kita mesti menjauhi, menghilangkan atau membasmi sikap tersebut bila mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat ingin membangun tradisi intelektual.