Oleh: Farah Salma Nuraida
Hidup di tengah maraknya dunia maya seperti saat ini memang terkadang cukup meresahkan. Berbagai hujatan, komentar, dan argumen yang berawal dari candaan atau sekedar kegabutan bisa membawa kita dalam sebuah persidangan. Tak jarang juga suatu pendapat terus terpendam, sebab beberapa hal yang menyulitkan seseorang untuk menyuarakan. Jalan pintas yang dapat diandalkan sebagai jalan keluar dari sebuah permasalahan tersebut adalah sosial media, ketika semua sudah terpendam dan ingin diungkapkan.
Terlalu lucu memang. Ketika seseorang memainkan beberapa jenis media sosial seperti TikTok, Instagram, Twitter, dan lainnya. Banyak hujatan yang mencuat dari beberapa oknum yang mengatakan bahwa hal tersebut alay, norak, Pansos, dan masih banyak lagi cemoohan yang terkadang dapat membuat mental seseorang down hingga merasa tak percaya diri atau bahasa gaulnya sering disebut dengan kata insecure. Lebih naasnya lagi, tanpa mereka sadari sesorang yang berkomentar juga menggunakan media sosial tersebut dan tak lama kemudian mereka membuat konten yang serupa dengan konten yang pernah mereka komentari sebelumnya. Satu hal yang tak pernah mereka ketahui bahwa mereka juga meghujat dirinya sendiri dalam melakukan sesuatu. Semua hanya tinggal menunggu waktu dalam penggunaannya. Karena, mau tak mau ada keadaan yang menuntut kita untuk mengoperasikannya.
Lalu dimana letak yang sering dikatakan sebagai sumber dosa pada media sosial?
Tak cukup tentang perihal saling menghujat yang dituliskan dalam fitur komentar yang tersedia pada media sosial tersebut. Sebagaian dari mereka yang selalu berkomentar buruk dari jenis aplikasi juga menganggap bahwa media sosial membawa dampak negatif bagi generasi muda. Contoh kecil yang sering kita temui adalah mereka yang sebagian besar menganggap TikTok sebagai aplikasi yang menimbulkan fitnah dan sumber dari kemaksiatan. Alasannya, hanya karena TikTok merupakan sebuah aplikasi penghilang penat, sehingga digunakan untuk joget-joget oleh para penggunanya dan menjadikan seorang perempuan sebagai topik yang sering dibahas dari suatu argumen yang mengatakan bahwa hal tersebut dianggap mengumbar aurat, hingga menyebabkan ladang dari kemaksiatan.
Selain aplikasi TikTok, Instagram juga menjadi sorotan yang dianggap sebagai tempat untuk ajang pamer. Berawal dari unggahan makan di restoran mewah atau sekedar pinik bisa menuai berbagai kontroversi. Kadang dari mereka berpendapat, ‘Sukanya mengunggah makanan. Nggak kasian apa dengan mereka yang sulit untuk makan malah melihat uanggahan seperti ini’ atau ‘Kasihan yang tidak bisa jalan-jalan dikarenakan masalah biaya dan dengan senang hati mereka mengunggah seperti ini’ hingga tak jarang dari mereka menganggap pamer dan riya. Tak hanya tempat sebagai ajang untuk pamer. Mereka juga ada yang menganggap bahwa Instagram sebagai tempat mengumbar aurat dengan unggahan foto yang tak sesuai dengan syariat.
Sesunguhnya untuk apa media sosial ada?
Kurangnya pemahaman dari penggunaan media sosial dari sebagian masyarakat memang dapat merugikan bagi beberapa oknum yang mengoperasikannya. Karena, pada dasarnya media sosial itu tergantung dari penggunanya. TikTok yang pada awalnya adalah suatu aplikasi hanya untuk joget-joget tak jelas, kini banyak sekali informasi-informasi yang kita dapat dari sana. Berbagai konten pendidikan dan pengetahuan kecil yang seringkali kita remehkan ada di sana. Bahkan berbgaai tutorial yang awalnya hanya tersedia di YouTube kini sudah ada di aplikasi tik tok tersebut.
Tak jauh berbeda juga dengan apa yang tersedia pada Instagram yang awalnya sebagai sebuah media sosial yang digunakan sebagai post foto dan membagikan momen-momen berkesan, kini banyak unggahan bermanfaat yang ada di dalamnya. Informasi dari berbagai dunia yang tak diliput oleh televisi ataupun media cetak lainnya juga terdapat di sana. Mulai dari informasi akademik sampai informasi dunia infotainment pun tersedia di dalamanya. Tak jarang juga para penulis, motivator, dan konten kreator lainnya menyalurkan bakat yang mereka punya melalui media sosial tersebut. Sehingga, mereka banyak dikenal oleh masyarakat dan karnyanya lebih mudah dijangkau dan dinikmati oleh berbagai pihak.
Bahkan di zaman yang semua serba digital ini media sosial dapat digunakan sebagai ladang bisnis. Bagi mereka yang mempunyai jiwa pebisnis namun malas untuk beranjak dari rumah. Media sosial menjadi solusi yang tepat. Mereka hanya tinggal mengunggah barang dagangannya, maka produk tersebut akan dijagkau oleh masyarakat luas tanpa bersusah payah menunggu toko. Para konsumen pun juga tak perlu susah payah keluar rumah hanya untuk membeli produk tersebut.
Ditambah lagi dengan adanya fitur filter yang ada pada Instastory menunai berbagai pro-kontra. Mereka juga sering menyebut bahwa filter sebagai penipu dan tak jarang dari mereka yang kecewa setelah bertemu di dunia nyata. Jika dipahami lagi, bukan permasalahan dari penggunanya. Namun, dari mereka yang menilai. Masih banyak dari mereka yang selalu berkomentar, ‘Cantiknya karena filter’ komentar tersebut memang dari oknum yang tak memahami dari kegunaan filter dalam suatu fitur itu sendiri. Yang menjadi pertanyaannya adalah ‘Lalu apa gunanya diadakannnya fitur filter jika bukan untuk mempercantik?’. Banyak yang masih belum mengetahui bahwa filter adalah salah satu dari bentuk suatu karya seseorang. Mereka berada dalam skill editor. Jika kita meng-judge hasil filter tersebut berarti sama saja kita meng-judge karya seseorang.
Semua kita kembalikan pada tujuan awal dan sesuatu apa yang kita cari pada pada media sosial tersebut. Tidak semua hal yang tampak buruk juga membawa dampak negatif di dalamnya. Sama halnya saat kita menilai seseorang yang tampak oleh penglihatan kita. Karena, sesungguhnya kita tak pernah tahu apa suatu kebaikan yang telah dilakukannya. Jika semua orang pasti mepunyai sisi terbaik dalam dirinya. Mengapa tidak dari media sosial?. Mengubah konsep dari ‘Kok suka pamer ya?’ atau ‘Apa nggak malu ya suka mengumbar dan dilihat oleh banyak orang?’ menjadi ‘Wahh, skill-nya bagus juga’ atau ‘View–nya bagus ya. Kapan-kapan kita kesini ya’ memanglah tidak mudah. Sebab, sebagian besar umat manusia lebih suka menilai dengan hal yang tampak.
Lalu bagaimana cara menyikapi penggunaan media sosial itu sendiri?
Kebijakan yang dapat kita ambil dari pengunaan media sosial adalah berhenti berkomentar tentang apa yang diunggah oleh seseorang. Kita tak pernah tahu kadar kebahagiaan mereka. Mungkin dengan curhat di story dapat membuat mereka tenang, atau mungkin dengan mengunggah dia yang sedang berjoget dapat membuatnya melupakan semua masalah yang tak penah kita ketahui masalah apa yang sedang mereka hadapi. Berkomentar memang tak salah. Karena, salah satu tujuan dari media sosial sendiri adalah mengungkapkan suatu argumen. Namun, lebih baiknya kita berkomentar tanpa menjatuhkan karakter seseorang.
Kemudian, untuk menanggapi suatu konten yang menurut kita buruk ataupun tak pantas dipertontonkan oleh publik itu bukan suatu kesalahan dari pembuat konten. Selama hal tersebut tidak mengandung unsur pornografi atau melanggar hukum tidak perlu dipermasalahkan lagi. Karena, sesungguhnya apa yang muncul di beranda atau biasa disebut dengan FYP (For Your Page) adalah sesuatu yang biasa kita cari. Lalu, untuk apa masih menyalahkan si pembuat konten tersebut? Itu hak mereka mau mengunggah apapun dan kita lebih baik diam daripada berkomentar yang menjadikan kita sebagai bumerang atas tuduhan pelecehan nama baik itu sendiri.
Semua yang mereka tunjukkan pada dunia adalah skill. Apa yang mereka lakukan juga belum tentu kita dapat melakukannya. Jika kita tak suka ataupun tak tertarik terhadap apa yang mereka unggah, media sosial juga tak kekurangan fitur tidak tertarik dengan konten ini dan blokir pengguna ini. Maka dengan kita menggunakan fitur tesebut, maka unggahan mereka tak akan lagi masuk dalam beranda kita. Jadi, bukan lagi suatu alasan ketika akan berkomentar yang menyebutkan bahwa konten ini meresahkan dan tak pantas untuk ditonton. Perlu kita ingat lagi bahwa apa yang tak pantas untuk kita belum tentu tak pantas juga untuk orang lain.