Doc: Google

Oleh : Zaki, Prodi SAA

Selain kristenisasi, dampak lain dalam bidang keagamaan adalah adanya adopsi di bidang pemikiran keagamaan. Kita melihat banyak sekali tokoh pemikir modern Islam yang menggunakan beberapa paradigma ilmiah Barat untuk diaplikasikan pada agama Islam. Misalnya adalah metode hermeneutika dalam memproduksi tafsir Alquran. Hermeneutika sendiri digunakan di Barat dalam membaca kitab-kitab suci agama Yahudi dan Kisten. Metode pada akhirnya juga digunakan oleh para pemikir Islam seperti Nasr Hamid Abu Zayd dan Amina Wadud. Banyak lagi pemikir Islam yang banyak mengadopsi paradigma Barat seperti Arkoun, Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Khaled Abu Fadhl, Amin Abdullah, Harun Nasution, dan lain-lain.

M. Rasjdidi adalah salah satu dari intelektual Indonesia yang dengan keras menolaknya. Terlebih pada pemikiran Harun Nasution yang dianggapnya terlalu liberal dan melenceng dari Islam yang sebenarnya. Rasjidi dalam bukunya, Koreksi terhadap Harun Nasution tentang lslam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, menceritakan suratnya kepada Kementerian Agama. Surat tersebut berisi kritik terhadap buku Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, yang oleh Kementerian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di seluruh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia.[1] Pemikiran Harun Nasution jelas terpengaruh oleh Barat.

Selain pada pemikiran keagamaan. Ada juga pemikiran yang menginspirasi gerakan sosial dan pembebasan di berbagai wilayah Timur. Memang cukup menarik terkait fakta bahwa Barat, selain memberikan dampak ekonomi, politik, dan sosial yang menindas bangsa Timur. Namun, dari Barat juga ada pemikiran segar yang mampu dipadukan dengan konsep Islam dan mendapatkan tempat di hati masyarakat. Komunisme-Marxisme adalah salah satunya, seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berasal dari bibit Sarekat Islam. Semaun sebagai ketuanya sudah memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Sebelumnya, ia mampu membuat SI Semarang memiliki 20.000 anggota menjadi berhaluan kiri dengan menentang keras kapitalisme.[2] Timur Tengah pun tak lepas dari ideologi komunisme, yang pada akhirnya timbul gerakan sosialisme sebagai alternatif. Dengan tokoh-tokohnya seperti Shibli Sumayyil, Rashid Rida, Antun Sadan, ideologi dengan jargon keadilan sosial ini sangat populer pada abad ke-20.

Tidak heran bahwa gerakan sosial amat menjamur. Hal ini dikarenakan kolonialisasi yang terjadi di dunia Timur dan Islam khusunya menciptakan kesenjangan sosial. Adanya kelas sosial baru yang bercirikan penggunaan budaya Eropa oleh pribumi elit menciptakan jembatan terhadap rakyat kelas bawah maupun menengah. Pada giliran selanjutnya, orientasi pribumi elit bukan lagi pada masyarkat, namun pada kepentingan kolonialisme. Kesenjangan antar kelas sosial ini juga memiliki kaitan erat dengan sistem ekonomi yang dipakai. Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) sempat memainkan pernanan penting dalam memonopoli harga pasar. Monopoli inilah yang semakin menciptakan jarak ekonomi masyarakat biasa seperti petani dan nelayan yang terus diperas serta dengan masyarakat kelas pedagang.

Kapitalisme, yang merupakan konsep ekonomi dari Barat juga turut serta mewarnai Indonesia dan dunia Islam lainnya. Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang melimpah sangat memungkinkan kapitalisme untuk tumbuh sangat subur. Hal ini tentunya semakin menguntungkan penjajah dan para pedagang serta pribumi elit yang menjadi aktornya Pasca- masa kolonialisme, sampai saat ini pun kapitalisme masih menguasai perekonomian.

Indonesia sendiri mau tidak mau harus turut serta mengikuti alur kapitalisme yang lebih menguntungkan pemilik modal. Undang-Undang Cipta Kerja adalah salah satu bukti, bahwa pemerintah seakan dipaksa keadaan untuk menuruti keinginan pemilik modal dan investor asing, daripada menuruti keinginan dan kebutuhan buruh. Kapitalisme pada gilirannya juga menciptakan etika konsumensarisme, yang mana memacu daya beli masyarakat semaksimal mungkin. Hal ini yang oleh Baudrillard dikatakan bahwa manusia modern hidup dalam simulacra. Artinya bahwa masyarakat membeli barang bukan untuk kebutuhan tapi sebagai bagian dari identitas sosial. Pada ujungnya, sistem ekonomi akan memngaruhi dimensi sosial.

Ekonomi memang kata kunci dalam kedatangan bangsa Barat ke Timur. Motif Gold dan Glory cukup merepresentasikan hal ini. Timur memang tanah yang subur dan kaya. Bahkan sampai sekarang, ketika zaman pasca- kolonialisme pun, Timur masih menjadi kawasan yang penting untuk mencari keuntungan bagi bangsa Barat. Jika dahulu Timur dikuasi sebagai teritorial, sekarang Timur dikuasai sebagai pasar. Menguasai Timur sebagai pasar inilah yang cukup logis dilakukan oleh Barat. Tidak bisa disangsikan bahwa Barat memiliki kepentingan di Timur dalam hal ekonomi. Menelik kepentingan ini maka tidak akan lepas dari motif politik yang dimiliki.

Amerika Serikat adalah salah satu negara Barat yang memiliki kepentingan di dunia Timur, khususnya kawasan Arab atau Timur Tengah. Banyaknya revolusi di Timur Tengah sangat mengkhawatirkan Amerika. Pasalnya kepentingan ekonomi Amerika akan terganggu apabila kawasan Timur Tengah dikuasai oleh revolusioner yang tidak memiliki norma-norma konstitusional, liberal, dan kapitalis ala Amerika Serikat. Indonesia pun tak lepas darinya. Ketika perang dingin dengan Uni Soviet yang berideologikan komunisme pasca- Perang Dunia II, Amerika gencar mengirim peneliti mereka ke Indonesia yang notabenya adalah untuk memantau perkembangan komunisme yang memiliki potensi ancaman yang nyata.

Namun, sekarang masyarakat internasional nampaknya lebih plural. Interaksi masyarakat Barat dan Timur sudah melebur dan mengaburkan batas-batas kultural yang dimiliki keduanya. Dunia agaknya masih bersaing satu sama lain seperti Iran dan Amerika. Namun, hal yang tak dapat dipungkiri adalah adanya keinginan integrasi yang dimiliki keduanya. Di masa depan, Timur dan Barat diharapkan bukan lagi sebagai dikotomi yang saling mendominasi. Namun memiliki semangat yang sama untuk membangun masyarakat global yang terjaga dengan nilai-nilai pluralisme, toleransi, keadilan, kesetaraan, integrasi ilmu, persamaan, kebebasan, dan sebagainya.

 

Referensi

[1] H.M. Rasiidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang lslam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) Hal. 73.

[2] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2001) Hal. 359.