Oleh : Zaki, Prodi SAA
Barat dan Timur sudah lama bersinggungan sebagai dikotomi yang saling mendominasi satu sama lain. Meskipun, akhir-akhir ini agaknya batas teritorial dan formal keduanya sudah agak kabur, namun menarik melihat keterpengaruhan Timur atas Barat. Pasalnya dominasi Barat yang dibawa dengan cara kolonisasi atas dunia Timur membawa dampak yang tidak sedikit. Bahkan, sampai sekarang Barat masih amat superior di berbagai banyak bidang. Mau tidak mau kita sebagai orang Timur sering mengekor Barat dalam beberapa aspek kehidupan.
Bahasa Inggris yang menjadi bahasa internasional adalah salah satu buktinya. Semua warga dunia yang berbeda bahasa berkomunikasi dengan bahasa itu. Abu Dhabi, Dubai, Mesir, Malaysia, dan lain-lain menjadikannya sebagai bahasa kedua di negaranya. Karena, ini jugalah tidak mengherankan jika Amerika yang menggunakan bahasa Inggris bisa mendominasi dunia dalam aspek budaya.
Dalam segi budaya, akan kita temukan banyak contohnya, pakaian misalnya. Abad ke-17, terjadi alkulturasi budaya berpakaian orang Belanda ke masyarakat Indonesia, terutama kalangan atas.[1] Para wanita mulai menggunakan dress ala Belanda sebagai pakaian sehari-hari. Orang-orang pulau jawa juga semakin mengenal renda, sepatu, kerudung kepala, pakaian pesta, pakaian tidur yang pada awal abad ke-17 tidak mereka pakai. Para laki-laki terbiasa memakai jas pada acara-acara resmi, yang bahkan sampai sekarang tiap perguruan tinggi maupun pekerja kantoran memakainya.
Keterpengaruhan budaya Barat ini juga dapat dilacak dari dunia permusikan. Siapa sangka Rhoma Irama, penyanyi yang memiliki gelar raja dangdut ini dipengaruhi oleh Elvis Presley.[2] Gaya busana berendra, berkancing besar keemasan, bercelana cut bra ternyata berkiblat pada tren Amerika saat itu. Sampai sekarang pun industri hiburan kita, baik film, animasi, musik, dan sebagainya juga tak lepas dari dominasi budaya asing, khususnya Amerika.
Adopsi budaya Barat pada gilirannya juga menghasilkan beberapa hal negatif. Pada abad ke-19, kerajaan Turki Utsmani dan Mesir sering mengirimkan pelajar-pelajarnya ke Eropa dan banyak yang kehilangan pijakan akidah Islamiah sepulangnya. Jamaluddin Afghani sempat mengkritik adopsi budaya yang hanya berorientasi kepada peniruan model arsitektur, model pakaian, dan makanan asing maupun mengadopsi konsep-konsep ideologi Barat tanpa tahu tujuan akhir mempelajari itu semua. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat elit jawa yang menikmati pergaulannya dengan bangsa Belanda sebatas meniru gaya berpakaian dan mabuk dalam pesta. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa kolonialisme, kita dapat melihat sedikit demi sedikit umat Islam larut pada budaya yang dibawa penjajah.
Bukan hanya budaya yang oleh bangsa Barat perkenalkan pada masyarakat Timur. Namun, juga agama. Hal ini sempat menimbulkan ketegangan seperti yang terjadi di India. Konflik India dengan Inggris pada masa kolonialisasi Inggris juga ditengarai oleh perbedaan agama yang dimiliki dua bangsa tersebut. Rakyat menganggap Inggris datang untuk mengkristenkan India. Terlebih, Inggris juga berusaha menghapus pendidikan agama dari perguruan tinggi dan mendirikan sekolah Kristen.[3] Hal ini yang pada kemudian hari diredam oleh Ahmad Khan.
Kedatangan Portugis ke Indonesia malahan sukses melakukan Kristenisasi di Maluku. Hal ini terlihat dari gereja yang pertama kali didirikan di sana pada tahun 1522. Toto Tohari dengan mengutip Syamsu Dhuha pada buku Penyebaran dan Perkembangan Islam-Katolik-Protestan di Indonesia, mengatakan bahwa misi kristenisasi yang dibawa Portugis ini memang untuk melemahkan umat Islam. Umat Islam tentunya tidak diam akan hal ini. Muhammadiyah contohnya yang pada era kepemimpinan Ahmad Dahlan terus bersemangat mendirikan lembaga pendidikan untuk masyarakat. Pendidikan yang diberikan menggabungkan pendidikan agama dan umum. Hal ini dilakukan untuk membendung kristenisasi melalui dunia pendidikan.
Salah satu upaya lainnya untuk menghalau kristenisasi adalah didirikannya ilmu perbandingan agama sudah pada tahun 1930. Ilmu ini dipelajari pada sekolah-sekolah swasta, seperti pada kursus Normal Puri, Sekolah Tsanawiyah di Bukitinggi dan Islamic College di Padang. Materi ini diajarkan oleh Muchtar Luthfi dan Ilyas Ya’kub yang menjadi pengajar di sana, di mana keduanya pernah belajar di Kairo, Mesir.[4] Ilmu ini juga dijadikan sebagai bidang studi, seperti yang dipraktikkan di Al-Jami’ah Al-Islamiyah di Batu Sangkar dan Training College di Paya Kumbuh. Prof. Dr. Mahmud Yunus menjadi pengajar utama dengan buku karangannya ‘Al-Adyan‘, yang artinya ‘agama-agama/agama (jamak)’.
Referensi
[1] Anna Kharisma Fehmita Mubin, Dampak Kedatangan Belanda Terhadap Gaya Berpakaian Masyarakat Pulau Jawa Pada Abad Ke-18–19, Makalah Non Seminar, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 2013, Hal. 13.
[2] Al Makin, Antara Barat Dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi Dan Globalisasi (Jakarta: Serambi, 2015, Hal. 39.
[3] Ismail Fahmi Arrauf, Pemikiran Modern di Dunia Islam (Banda Aceh: PeNa, 2013) Hal. 71.
[4] Arifatus Sholikha, Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Diakses dari https://saa.unida.gontor.ac.id/perkembangan-ilmu-perbandingan-agama-di-indonesia/, Pada tanggal Pada tanggal 23 Desember 2020, Pukul 02.16.