Penulis: Abdullah Dzaky

Editor: Habib Muzaki

 

“Ya nda tau kok tanya saya?” atau biasa disebut YNTKTS ini berasal dari seseorang yang melegenda, yang bernama Mukidi. Perkataan YNTKTS bermula saat Mukidi sedang menuju ke gorong-gorong untuk mencari batu akik. Namun, pencarian tersebut ternyata nihil. Ketika dalam perjalanan pulang dengan tangan kosong, rekannya bernama Ngoheg bertanya “Mana batu akiknya Di?” Sontak dengan sedikit kesal Mukidi menjawab, “Yo nda tau, kok tanya saya, mmm”.

Walaupun batu akik yang dicari Mukidi tidak ditemukan, ternyata gorong-gorong yang dimasuki Mukidi mengantarkan dia menjadi Lurah di Desa Uvuvwevwevwe Onyetenyevwe Ugwemuhwem Osis (UOUO).

Masyarakat desa tersebut percaya bahwa dengan masuk seseorang yang masuk gorong-gorong adalah seseorang yang merakyat, sederhana dan keren. Sangat membagongkan tapi itu kenyataan di dalam tulisan ini.

Kepemimpinan Mukidi di desanya meraup beberapa prestasi yang mengantarkannya naik ke jabatan yang lebih tinggi, salah satunya yaitu Mobil Esempe. Mobil yang dibuat oleh anak-anak Desa UOUO ini sangat membanggakan masyarakat desa termasuk Mukidi.

Anak-anak yang biasa main Timtod dan Ep-Ep sangat berbeda dengan yang ada di Desa UOUO dan hal ini yang mengantarkan Mukidi menjadi anggota dewan di negaranya. Bertahun-tahun Mukidi mengarungi dunia perpoltikan di negaranya, akhirnya dia bisa menjadi presiden dengan wakilnya teman lamanya Ngoheg.

Mukidi yang menjadi orang nomor satu di Negara Republik Dageland tentu membuat para pendukungnya senang. Bagaimana tidak, jurus ngibul no jutsu yang dimilikinya mampu membuat rakyat memilihnya.

Tapi tulisan kali ini tidak akan membahas lebih dalam tentang sang Legenda Mukidi. Namun, tulisan ini akan membahas mengenai kebijakan pemerintah Indonesia dalam menangani pandemi Covid-19. Gagapnya pemerintah dalam penanganan pandemi ini membuat Indonesia dalam ekonomi serta Covid-19 yang sulit dikontrol.

Lonjakan angka positif Covid-19 yang yang sampai sekarang terus naik dan akan menyusul subscriber Atta Halilintar ini membuat kebijakan pemerintah sia-sia. Hal itu tentu saja merugikan APBN yang begitu besar.

Kesalahan fatal mengapa Covid-19 ini bisa melonjak salah satunya karena pemerintah Indonesia yang meremehkan Covid-19 di awal pandemi tahun 2020 lalu. Contohnya mantan Menteri Kesehatan Letnan Jenderal TNI (Purn.) Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad(K) yang mengatakan, “Tidak perlu menggunakan masker, yang menggunakan masker hanya untuk orang yang sakit”. Jelas perkataan ini mengundang perhatian dari masyarakat. Seolah-olah pemerintah tidak mengetahui bahwa Covid-19 bisa menulari dari seluruh tempat bahkan dari udara.

Sama halnya dengan Menteri Perhubungan Ir. Budi Karya Sumadi yang mengatakan bahwa imun masyarakat Indonesia kuat karena suka makan nasi kucing. Aksi remeh temeh yang dilakukan pemerintah ini berakibat fatal bagi Indonesia. Akibatnya, pemerintah panik serta bingung dalam menangani Covid-19 yang sudah masuk ke Indonesia.

Anehnya, pemerintah pada saat awal Covid-19 masuk ke Indonesia, tidak juga tanggap dalam penanganan. Pemerintah tidak menerapkan Pasal 1 ayat 10, Pasal 54 dan 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan karena kondisi psikologis dan perekonomian masyarakat.

Saya lebih berpendapat bahwa pemerintah tidak berani menerapkan UU Karantina Kesehatan karena tidak mampunya pemerintah dalam menjamin kebutuhan hidup masyarakat maupun hewan ternak.

Untuk menghindari kebijakan Karantina Wilayah, pemerintah membuat kebijakan Pembatasan Kegiatan Berskala Besar (PSBB).

PSBB ini berlaku dari April hingga Juli 2020. Karena Sudah merasa Covid-19 mengalami penurunan, pemerintah membuat kebijakan PSBB Transisi. Pemerintah bermaksud untuk berdamai dengan Covid-19. Namun hal tersebut justru membuat Covid-19 makin meroket yang pada akhirnya pemerintah panik kembali dengan membuat kebijakan PSBB Ketat dari September hingga Oktober 2020.

Karena merasa Covid-19 menurun karena PSBB Ketat, pemerintah dengan bandel dan seakan-akan lupa akan kejadian beberapa bulan yang lalu merubah kebijakan menjadi PSBB Transisi Jilid dua. Sampai masuk pada awal 2021, pemerintah mengubah kebijakannya menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan berubah lagi pada bulan Februari menjadi PPKM Mikro.

Kesalahan fatal terjadi pada saat Covid-19 varian Delta mulai menyebar di India. Namun pemerintah dengan percaya diri tetap membuka turis India untuk masuk ke Indonesia. Akibatnya, angka Covid-19 varian Delta meroket dan angka kematian melambung tinggi. Pemerintah yang bagaikan anak kecil yang kehilangan mainannya, panic dan bingung. Pada akhirnya pemerintah memutuskan mengubah kembali kebijakannya menjadi PPKM Darurat.

Terjadi penutupan dan penyekatan jalan di mana-mana untuk mengurangi mobilitas masyarakat. Namun hal itu justru membuat ekonomi khususnya UMKM dan masyarakat menengah ke bawah merosot. Mereka kesusahan dengan adanya kebijakan PPKM Darurat karena semuanya terbatasi dan Covid-19 varian Delta tetap tidak mengalami penurunan yang signifikan.

Kebijakan konyol dengan menutup jalan besar namun jalan tikus tetap dibuka hanya sedikit memperlambat namun kerugian ekonomi dari kebijakan tersebut lebih besar dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh masyarakat. Penanganan Covid-19 yang carut marut ini seakan-akan pemerintah baru menghadapi Covid-19. Padahal, Covid-19 sendiri sudah tinggal di Indonesia sejak setahun lebih yang lalu. Harusnya ada antisipasi dan lebih tanggap dalam penanganan pandemi ini. Namun, fakta yang terjadi hanyalah penanganan yang konyol semata.