Pancasila, Idiologi Indonesia dan neo-Piagam Madinah

*Alfa Uchiha, Mahasiswa Prodi Aqidah dan Filsafat Islam

 

Gambar diambil di Goagle: http Pancasila Islami

Siapa sangka manusia sebagai makhluk Tuhan yang dikatakan paling mulyanya makhluk, sering kali menjadi paling hinanya makhluk. Hal itu disebabkan ketidakmampuan manusia menahan sifat ketamakannya dalam menulis skenario hidupnya sendiri. Bermula dari sifat ketamakan inilah manusia menjadi, meminjam bahasa Thomas Hobbes, homo- homoni lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). 

Dari diktum Hobbes di atas, perlulah kiranya manusia menciptakan negara guna meminimalisir sifat keserigalaan bagi sesamanya. Dengan negara beserta undang-undang dan idiologinya, diharapkan manusia dapat terhindar dari sifat keserigalaan bagi sesamanya. Suatu negara akan mengarah ke ambang  kehancuran apabila ia tidak bisa memberikan kesejahteraan dan keamanan bagi setiap invidu rakyat negaranya.

Berbicara negara sangat tidak bisa dipisahkan dari idiologi. Negara dan idiologi ibaratkan dua mata koin dalam satu koin namun keduanya terpisah. Keduanya saling melengkapi satu sama lain. Dengan idiologi ini, negara diharapkan dapat mewujudkan cita-cita sucinya. Negara tanpa idiologi ibaratkan manusia tak bertujuan. Idiologi tanpa negara ibaratkan cita-cita tak bertuan.

Peran idiologi bagi negara ialah berfungsi untuk mengatur, mengarahkan dan mewujudkan cita-cita suci suatu negara. Tentunya idiologi di setiap negara memiliki perbedaan, keunikan dan keragaman yang tidak dimiliki oleh negara lainnya. Hal inilah yang menjadi khazanah tipilogi suatu negara. Bahkan, lebih jauh dapat dikatakan, karakater suatu bangsa dapat dilihat hanya dengan meliaht idiologinya saja. Pasalnya, idiologi negara satu belum tentu bisa diterapkan di negara lain. Karena latar belakang suatu negara, baik ditinjau dari segi kondisi geografis dan sosial masyarakat sangatlah mempengaruhi proses kelahiran dan pemakaian suatu idiologi negara.

Sebut saja Indonesia. Idiologi Negara Indonesia tidak sama dengan idiologi Negara Rusia, Amerika, China dan juga Arab. Karena ditinjau dari latar belakang Indonesia, rakyat Indonesia terkenal akan karakternya yang tinggi dalam bertoleransi. Hal itu dikarenakan universalnya Negara ini dalam hal agama maupun budaya. Toleransi dalam universalitas itu sebenarnya sudah dipraktekkan oleh leluhur mereka sejak dahulu kala. Maka, tidak heran jika dalam idiologi Negara ini memiliki semboyan bhinneka tunggal ika (berbeda tetap satu juga). Di mana pancasila sebagai idiologinya. Idiologi di tengah negara yang universal akan ras, suku, agama dan budaya.

Ditinjau dari karakteristiknya saja, dapat diambil sebuah kesimpulan, bahwa idiologi komunis, sosialis, liberalis, maupun islamis sangat tidak cocok untuk negara ini. Namun, dewasa ini sering muncul beberapa oknum untuk merubah idiologi Negara Indonesia menjadi idiologi islamis. Di mana wacana tegakkan khilafah islamiyah sebagai semboyan sekaligus sistem pemerintahannya. Mereka beranggapan bahwa satu-satunya idiologi yang dapat menuntun manusia ke arah kesejahteraan dan keselamatan ialah idiologi islamis. Adapun alasan yang menjadi dasar demikian adalah bahwa Nabi Muhammad saw mempraktikkan itu. Mereka pun juga berkeyakinan bahwa idiologi islamis merupakan syariat islam dan satu-satunya idiologi terbaik dan harus diterapkan di semua negara di segala penjuru dunia.

Idiologi Islamis

Dalam world view mereka, mereka berkeyakinan bahwa idiologi islamis, di mana Madinah sebagai tempat penerapannya adalah satu-satunya idiologi islam yang dapat mengantarkan manusia ke arah kesejahteraan dan keselamatan. Mereka juga bisa dikatakan sebagai kelompok yang sangat massif beromantisme dengan sejarah. Hal itu dapat dilihat dari usaha mereka me- rekonstruksi masa khulafa’ al-rasyidin dan masa kejayaan daulah islamiah sebagai penerusnya untuk diterapkan pada masa kini. Dalam pandangan mereka, sebagai generasi penerus idiologi islamis ajaran Nabi Muhammad, telah terbukti pada masa kejayaan daulah Islamiah dapat menuntun manusia pada khususnya dan suatu bangsa pada umumnya ke arah kesejahteraan dan keselamatan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan cita-cita negara menurut Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan. Tidak terkecualikan untuk Indonesia.

Di tengah hiruk-pikuk kesejahteraan dan kemakmuran negara yang mulai chaos, mereka yakin Idiologi islamis merupakan solusi dan juga cocok diterapkan di Indonesia. Sudah menjadi barang tentu jika oknum beridiologikan islamis ini yang selalu menggemakan konsep khilafah islamiah, akan dapat menghancurkan keutuhan NKRI. Hal itu dikarenakan mereka akan menggantikan pancasila dengan idiologi islamisnya. Tidak bisa dibayangkan dan tidak akan terlintas di benak pikiran, apa jadinya jika Indonesia akan menjadi negara islam.

Pada hal, berdasarkan fakta dan  realita, Indonesia bukanlah negara berkriteria dar al-islam atau negara islam. Dalam artian Indonesia tidak hanya terdiri dari satu agama, melainkan terdiri dari universalitas agama dan budaya. Meskipun kita tidak bisa disangsikan bahwa Indonesia secara mayoritas adalah orang Islam. Lantas, kenapa juga Indonesia harus menerapkan syariat Islam? Di sisi lain Indonesia berkategorikan sebagai dar al-salam?

Pancasila, Islami Tapi Tidak Islamis

Pembahasan idiologi islamis, di mana khilafah sebagai penerapannya mempunyai daya tarik tersendiri di kalangan cendekiawan Indonesia teruma bagi cendekiawan muslim Indonesia sendiri. Perbedaan pendapat dalam menyikapai idiologi islamis pun terlontar dari mereka, baik itu pendapat pro naupun kontra. Namun, mayoritas dan hampir keseluruhan dari mereka memilih kontra terhadap idiologi islamis ini.

Hal itu dikarenakan,  idiologi islamis sangatlah tidak cocok diterapkan di Indonesia mengingat Indonesia merupakan kategori negara yang plural dalam hal ras, suku, agama dan budaya. Mereka pun akhirnya berkesimpulan, bahwa satu-satunya idiologi yang pantas diterapkan di Indonesia hanyalah pancasila. Karena idiologi ini sangatlah cocok bagi negara yang berdiri di tengah pluralitas suku, ras, agama dan budaya.

Tentunya jika idiologi islamis ini dijadikan sebagai idiologi Indonesia, hal itu akan menciptakan serigala baru bagi sesamanya. Kenapa?  Sudah menjadi hal pasti, jika idiologi silamis ditegakkan, hanya akan mensuperioritaskan ummat islam saja dan akan merugikan ummat  lainnya. Pertikaian akan datang jika idiologi islamis ini ditegakkan.  Karena mereka yang di luar islam, sebagai kelompok minoritas akan merasa terdiskriminasi dengan diterapkannya idiologi islamis ini. Bukankah ini juga bisa dikatakan sebagai serigala baru bagi sesamanya?

Konsep idiologi islamis, di mana Rasulullah kali pertama yang menjadi penggagasnya, jika ditelisik dari beberapa situs sejarah maupun tafsir dari beberapa ulama’ klasik sampai  kontemporer, akan tampak paradoksal. Beberapa  pendistorsianpun akan bermunculan dari wacana idiologi islamis sebagai satu-satunya idiologi Islam yang diajarkan Rasulullah, sahabat serta tabi’in dan tabi’it tabi’in. Lebih lanjut, mereka juga mengatakan, bahwa idiologi islamis ini dapat mengantar ke arah kesejahteraan dan keselamatan. Perlulah kiranya bagi mereka dan para pengikutnya yang selalu menyuarakan khilafah dan tegakkan syari’at Islam, melakukan rekonstruksi pemahaman. Karena Nabi Muhammad saw sendiri tidak pernah mengajarkan tentang idiologi islamis di mana khilafah isalamiah sebagai sistem pemerintahannya.

Penting untuk dikaji, ketika menjadi kepala pemerintahan di Madinah, beliau hanya menerapkan al-shahifah, bukan idiologi islamis ataupun khilafah. Para sejarawan maupun beberapa mufassir bersepakat bahwa sistem yang diterapkan Nabi Muhammad adalah al-shahifah. Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi “piagam madinah”. Al-shahifah atau piagam madinah ini berisi tentang nilai pluralitas, universalitas, keadilan, kebebasan, persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama di mata hukum (Said Aqil Siradj, Tasawwuf Sebagai Kritik Sosial).

Uniknya, sistem yang diterapkan Nabi Muhammad ini tidak ada sedikit pun kata yang menunjukkan superrioritas simbol-simbol islam atau perlakuan khusus kepada ummat islam. Adalah kota Yatsrib tempat Nabi Muhammad memimpin, ketika beliau memimpin pun beralih nama menjadi Madinah. Menurut Said Aqil Siradj, kata “madinah” berasal dari kata “tamaddun” yang berarti “peradaban”. Maksudnya adalah kota atau negara yang mencita-citakan semangat peradaban dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Adapun cara mewujudkannya, beliau menerapkan konsep “ukhuwah madaniah“. Yakni komitmen hidup bersama dalam negeri yang beperadaban. Tidak memandang itu berasal dari suku apa, ras apa, maupun agamanya apa. Semua tersublimasi ke dalam satu komitmen membangun negara berperadaban. Dengan menjunjung tinggi semangat humanisme dan toleran dalam pluralisme.

Nabi Muhammad memanglah tokoh yang pantas dijadikan contoh. Karena beliau dianggap berhasil dan sukses dalam memimpin negeri di tengah keuniversalan ras, suku maupun agama seperti konsep negara yang dicita-citakan oleh para negarawan termasuk Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan. Jika ada pertanyaan konsep idiologi manakah yang hampir sama dengan konsep piagam madinah, sebuah idiologi bernafaskan islami persis seperti apa yang dicetuskan oleh Rasulullah? Maka, pancasilalah jawabannya.

Mungkin akan tampak rasis. Namun, jika kita telisik dan analisis secara mendalam, ternyata terdapat banyak kesamaan antara pancasila dan piagam madinah. Di antaranya adalah  sama-sama lahir dari pluralitas ras, suku dan agama. Dahulu, Madinah terdiri dari agama Yahudi, Nashrani, Majusi, dan yang lebih penting Islam. Bahkan masih ada masyarakat yang menganut paham paganisme sisa dari isme-isme masa lalu. Namun, Rasulullah tidak pernah memaksakan kehendak mereka untuk masuk maupun mengamalkan syari’at islam.

Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila pun banyak memiliki kesamaan. Di antarnya adalah kesamaan derajat, hak dan kewajiban dan tidak memandang berasal apa dan dari mana latar belakangnya. Tidak ada satupun yang diprioritaskan, entah dari kalangan suku, ras maupun agama. Sangat islami, tapi tidak islamis. Pantaslah jika pancasila disebut sebagai neo-al-shahifah atau neo-piagammadinah. Mengutip perkataan Harun Nasution, jika negara Filipina menegakkan hukum, demokrasi dan hak-hak asasi manusia secara baik, meskipun pemimpin dan rakyatnya Katolik itu sudah dapat dianggap menegakkan nilai-nilai Islam.

Terakhir, tidaklah heran jika mereka, para pembela dan penegak idiologi islamis mengatakan idiologi islamis sebagai satu-satunya idiologi terbaik. Sama halnya ketika seseorang bertanya tentang idiologi terbaik kepada kaum marxis-leninis fundamental. Pastilah kaum marxis-leninis akan mengatakan idiologi komunis adalah idiologi terbaik.