
Ketahanan pangan global kini terancam akibat perubahan iklim dan krisis ekonomi, yang menyebabkan penurunan produksi pertanian dan meningkatnya harga pangan. Namun, inovasi seperti Urban Farming di Kampung Oase Ondomohen, Surabaya, menawarkan solusi lokal. Dengan memanfaatkan lahan perkotaan yang sempit, warga berhasil menciptakan sumber pangan berkelanjutan di tengah krisis, sekaligus memberdayakan komunitas dan memperbaiki lingkungan sekitar. Inisiatif ini menjadi contoh penting dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan di masa kini.
Penulis: Diky Kurniawan Arief
Editor: Muhammad Chaidar
Di balik deretan bangunan pertokoan dan hotel yang ramai di Kelurahan Ketabang, Kampung Oase Ondomohen seperti sebuah oasis tersembunyi di tengah teriknya Kota Surabaya. Pepohonan rindang menjalar di atas, menciptakan kanopi hijau yang melindungi setiap rumah dan jalan setapak dari sengatan matahari. Sore itu, suasana terasa hangat dan hidup, anak-anak bermain ceria di teras rumah, tawa mereka menyatu dengan hembusan angin sore yang lembut.
Seorang perempuan paruh baya keluar diantara lorong rumah warga. Ia adalah Rusmiatin (44), warga kampung Ondomohen sekaligus kader lingkungan yang aktif di kegiatan Urban Farming. Ia kemudian duduk di tepian jalan yang rindang dinaungi pohon jambu. Sore itu, Rusmiatin bercerita tentang bagaimana warga kampungnya bersatu untuk menciptakan kampung yang mandiri pangan dan berkelanjutan.
“Dahulu tahun 2003 itu ibu masuk sini masih gersang dan panas, belum ada tanaman rimbun kayak gini, yang punya tanaman dulu itu cuma tiga rumah” ujar Rusmiatin pada 20 Oktober 2024.
Sebelum menetap di Surabaya, Rusmiatin pernah tinggal di pedesaan Kabupaten Blitar Jawa Timur. Sewaktu disana, ia sudah gemar berkebun di pekarangan rumah setiap hari. Hingga ketika pindah ke Kota Surabaya, Rusmiatin bertemu dengan mendiang Ayik Sumedi. Orang inilah yang kemudian mengenalkan dan mengajak seluruh warga Ondomohen termasuk Rusmiatin untuk sadar terhadap lingkungan kampungnya dengan cara mengajak warga untuk menanam bunga-bunga dan tanaman di kampung Ondomohen.
Awalnya, kampung ini hanya bertumbuhkan tanaman Zamia Kulkas dan Bunga Kamboja. kedua tanaman itu di-stek oleh warga sehingga menghasilkan pecahan baru dan ditanam menyebar di depan rumah-rumah warga. Sebab, dahulu kampung ini sempat ingin dijadikan sebagai “kampung berbunga” oleh para warga. Namun, lambat laun kesadaran akan pentingnya kemandirian pangan mulai tumbuh di antara mereka, Sehingga menjadi kampung Urban Farming seperti sekarang ini.
Pada awal perintisan, warga Kampung Ondomohen menghadapi kendala besar dalam mencari dana untuk membeli berbagai jenis tanaman. Ide untuk menghijaukan kampung harus tertunda sementara waktu karena keterbatasan biaya. Namun, dari diskusi bersama, muncul ide kreatif untuk membuat bank sampah sebagai solusi. Sampah-sampah plastik seperti botol dan kaleng dikumpulkan dan dijual kepada para pengepul sehingga bisa diakumulasikan dan dimasukan kas.
“Dulu kalau mau beli tanaman itu kita ngumpulin sampah plastik dulu, kita jual, kita belikan pot, tanah, dan tanaman” kenang Rusmiatin.

Ditengah obrolan, seorang pria berperawakan kurus datang menghampiri. Pria tersebut merupakan suami dari Rusmiatin. Ratno Yuwono (51) namanya, Ratno adalah wakil RT 08 yang juga kader lingkungan aktif di Ondomohen. Ratno menjelaskan, bahwa hingga sekarang para warga terus mengembangkan inovasi-inovasi baru. Meskipun hanya ada lahan yang terbatas di tengah perkotaan Surabaya, tak menjadikan alasan warga untuk berhenti menanam dan berkebun. Dengan hidroponik salah satunya.
Dari gapura hingga sepanjang arah masuk ke Kampung Ondomohen, berjejer pipa-pipa hidroponik yang ditumbuhi beragam sayur-sayuran di dalamnya. Daun-daun hijau bayam tumbuh segar berbaris rapi, menjadi pemandangan pertama yang menyambut setiap tamu yang datang. Hidroponik yang ada di Ondomohen ditata dengan dua posisi, yakni horizontal dengan bersandar pada tembok warga, dan vertikal yang diletakan di bahu jalan.
“Disini itu ada bayam brazil, kangkung, sama sawi. Kalau ada orang beli ya kita layani” tutur Ratno.
Ketika memasuki usia 2-3 minggu, tanaman-tanaman itu tadi akan dipanen oleh warga untuk dikonsumsi dan sisanya akan dijual kepada warga sekitar dan juga restoran yang membeli. Uang hasil penjualan akan dikumpulkan dan dimasukan ke kas untuk keperluan menanam nantinya.

Untuk penggunaan pupuk, warga Ondomohen pantang menggunakan pupuk anorganik yang menggunakan bahan kimia. Ada 2 cara kreatif yang dilakukan warga untuk membuat pupuk yang ramah lingkungan dan ekonomis.
Pertama yakni dengan loseda (lodong sesa dapur). Pada beberapa sudut sudut kampung, pipa berukuran 4 inci dimasukan kedalam tanah secara vertikal. Loseda khusus digunakan untuk membuang dan menguraikan limbah makanan busuk dari rumah tangga, seperti sisa udang, ikan, dan bahan organik basah lainnya. Nantinya, secara perlahan mikroorganisme di dalam tanah mengubah sampah tersebut menjadi pupuk alami yang baik bagi tanaman.
Cara yang kedua, yakni dengan media maggot. Maggot sendiri adalah jenis larva dari lalat yang bisa mengurai berbagai jenis makanan. Sisa makanan rumah tangga yang seharusnya dibuang akan ditaruh di rumah maggot. Makanan sisa yang telah dimakan oleh maggot tidak terbuang sia-sia, proses ini menghasilkan kotoran maggot yang kaya akan nutrisi, menciptakan pupuk organik yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman di Ondomohen.
“Kalau maggot itu dari tahun 2017” Tutur Ratno.
Maggot sebagai pengurai limbah organik yang efektif tidak berakhir hanya sebagai pengurai dan penghasil pupuk. Di Kampung Oase Ondomohen, siklus pemanfaatan sumber daya berlanjut dengan memanfaatkan maggot sebagai pakan alami untuk budidaya lele. Tapi, yang unik dari budidaya lele disini ialah kolamnya. Jika umumnya budidaya lele menggunakan media kolam terpal, beton, fiber, dan tambak. Para warga menggunakan selokan di depan rumah sebagai media kolam ikan.
Di dalam selokan tersebut, terdapat kolam ikan dan pipa saluran limbah rumah tangga berukuran sekitar 6 inci yang dirancang khusus untuk menampung aliran limbah rumah tangga. Pipa ini berfungsi sebagai pembatas antara limbah dan kolam ikan, sehingga air kolam tetap bersih dan tidak tercemar. Oleh sebab itu kolam ini dinamai “kolam gendong” oleh para warga kampung.
“Jadi, ikannya nggak cuma Lele saja disini, ada Ikan Patin, Ikan Nila, sama Ikan Gurami. Ini kalau ada yang beli juga kita layanin, harganya dibawah pasaran, seumpama harga di pasar dua puluh lima, kita jualnya dua puluh tiga” sahut istrinya sambil menunjukan ikan yang ada di selokan.
Mirip seperti hidroponik, jika ikan sudah memasuki masa panen dalam kurun waktu 3 bulan, sebagian ikan bisa diambil oleh warga untuk dikonsumsi dan sisanya akan dijual ke restoran sekitar yang memesan. Uang hasil penjualan akan dimasukan ke kas untuk diakumulasikan.

Nantinya, pipa pembuangan limbah rumah tangga yang berrada pada bagian paling dasar selokan akan mengalir ke Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang ada di depan gapura kampung. Letak IPAL berada di bawah tanah dengan 4 tahapan filter untuk mengurangi polusi dengan menghilangkan kontaminan, zat kimia berbahaya, dan partikel padat dari air limbah. Hingga akhirnya air bisa digunakan kembali untuk menyirami tanaman.
“IPAL ini bisa kita pergunakan untuk menyirami tanaman. jadi ipal itu asalnya dari limbah warga, kita putar ke ipal, kita putar lagi untuk menyirami tanaman, buat nyuci sepeda motor, muter lagi ke ipal” terang Ratno.
Inovasi berkelanjutan yang dilakukan warga tidak berhenti pada pengelolaan limbah air tadi. Para warga pun tak kehabisan akal dalam menangani limbah plastik rumah tangga. Di sela rutinitas memilah sampah untuk ditaruh pada bank sampah, mereka juga memanfaatkan botol plastik bekas dengan cara yang lebih kreatif, yakni ecobrick.
Ecobrick adalah metode pengelolaan limbah plastik dengan cara memadatkan sampah plastik ke dalam botol plastik hingga penuh dan padat. Tujuannya adalah mengurangi sampah plastik yang terbuang sembarangan dengan mengubahnya menjadi bahan furnitur yang berguna dan tahan lama
“Botol botol ini kalau saya jual sedikit nilainya. Tapi kalau dijadikan seperti ini ada nilainya: Rp.150.000 per biji” ucapnya
Meskipun dibuat dari plastik bekas dan bahan lainya, furnitur ecobrick ini bisa menahan beban sampai 130 Kg.


Endang Sriwulansari (56) selaku ketua RT 08 RW 07 di Ondomohen Magersari ini menuturkan, bahwasannya ketika kampung ini berproses dan berkembang, berbagai pihak turut mewarnai perjalanan kampung ini menuju keberlanjutan. Universitas-universitas di Surabaya tak hanya mengirimkan mahasiswa untuk belajar dan berinteraksi, tetapi juga memberikan kontribusi nyata dalam bentuk alat produksi perkebunan dan fasilitas penunjang lainnya. Di sisi lain, beberapa perusahaan swasta pun ikut ambil bagian, menyumbangkan alat produksi dan peralatan yang mendukung berbagai kegiatan hijau di kampung ini.
Hal ini bisa dilihat dari berbagai alat alat yang digunakan di kampung ini, seperti panel surya, alat pencetak briket arang, hingga mesin pirolilis yang digunakan untuk mengubah botol plastik menjadi BBM.


Tak ingin hanya berfokus pada hal hal itu tadi, warga kampung Oase Ondomohen juga mengikuti berbagai lomba lingkungan dan ketahanan pangan dari tingkat kota, provinsi, sampai nasional. Dengan antusiasme warga yang solid, kampung ini kian bersinar di mata publik.
“Pada waktu itu ikut (red: ajang lomba) merdeka dari sampah, akhirnya menang lomba pada 2016 kategori kampung terhijau waktu itu, baru kemudian masuk ke lomba Surabaya Green and Clean” Terang Endang pada 23 Oktober 2024
Prestasi lainya yang pernah disabet kampung Oase Ondomohen diantaranya yakni mendapatkan penghargaan kampung pemanfaatan alternatif terbaik 2019, kampung 180 RW terbaik Surabaya 2019, dan juara pengelolaan ipal terbaik pada 2018.
Dari kampung yang gersang dan panas, para warga Ondomohen benar-benar menyulap kampung ini menjadi kampung yang digdaya dalam segala aspek lingkungan dan ketahanan pangan. Bahkan ketika pandemi Covid-19 melanda yang membuat kelangkaan bahan pangan, semangat warga untuk menanam semakin berkobar. Hasil dari panen setidaknya bisa mencukupi kebutuhan mereka dalam jangka beberapa waktu melalui hasil Urban Farming.
“Urban Farming itu artinya luas mas, bukan hanya di pertanian atau perkebunan saja, tapi meliputi pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan” jelas Endang.
Bahkan, Tak hanya ikan lele, patin, dan nila yang telah lama menghuni selokan-selokan kampung. Pada awal oktober 2024, warga mencoba sesuatu yang lebih berkelas: budidaya lobster. Yang membuatnya unik adalah cara budidayanya bukan di kolam atau tambak, melainkan dalam jerigen-jerigen yang dimodifikasi sedemikian rupa untuk membentuk habitat ideal.

Berkat kekompakan warga dan berbagai pihak yang mendukung, wisatawan pun bertambah. Kehadiran wisatawan, ternyata menjadi angin segar bagi UMKM warga yang semakin hidup seiring meningkatnya pengunjung. Bahkan beberapa umkm mulai rutin menerima pesanan dari luar kampung dan bahkan kafe.
Tidak hanya sayuran, briket arang, ikan serta lobster yang bisa dijadikan budidaya dan komoditas tambahan. Para warga juga memproduksi dagangan makanan dan minuman untuk dijajakan kepada para pengunjung dan pesanan. Diantaranya yakni: sinom, bolu pisang, jenang waluh, rujak buah, kue lapis, hingga klepon.
“Ya lumayan mas, dapat tambahan dikit dikit” terang Endang.
Said Abdullah selaku koordinator Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP) mengungkapkan bahwa keragaman yang dikembangkan oleh kelokalan masing-masing, dapat menjaga kelestarian dan berkembangnya budaya, pengetahuan, serta sistem pangan lokal yang akan menjadi jaminan masa depan.
Hal itu diungkapkannya dalam salah satu poin dalam Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia dengan tema: Bagaimana masa depan ketahanan dan keanekaragaman pangan Indonesia?

Di Kampung Ondomohen, semangat menjaga keanekaragaman pangan dan kelestarian budaya lokal terasa kental di setiap sudutnya. Menerapkan prinsip serupa yang disampaikan oleh Said Abdullah dari Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP). kampung ini menghadirkan harmoni antara lingkungan dan kemandirian pangan melalui Urban Farming dan pemanfaatan sampah, yang semuanya didasarkan pada kearifan lokal warga. Ondomohen bukan hanya melestarikan warisan pengetahuan bercocok tanam dan energi terbarukan, tetapi juga membangun sistem pangan mandiri yang menjadi inspirasi sekaligus jaminan masa depan.
Semua tradisi lingkungan itu tak sekadar menjadi rutinitas, namun mengakar sebagai nilai filosofis mendalam bagi setiap warganya bahkan ketika generasi generasi baru lahir.
“Ketika ada bayi yang lahir. itu untuk mengurus akte kelahiran, disuruh untuk menyerahkan satu pohon. Istilahnya itu sajisapoh: satu jiwa, satu pohon” ungkap Endang.
Di sini, kehidupan baru disambut dengan pohon yang tertanam, seolah alam sendiri turut bernafas bersama setiap jiwa yang lahir. Setiap tangan warga menggenggam harapan, menumbuhkan tanaman di sela-sela tembok beton kota. Di bawah bayang-bayang gedung tinggi, Ondomohen terus tumbuh, mengingatkan kita bahwa tak peduli sepadat apapun dunia, kehidupan selalu menemukan cara untuk berakar.