Penulis : Mohammad Hengki Fernando

Editor : Moh. Faiqul Waffa

30 Januari 2025 adalah pesta demokrasi bagi sebagian masyarakat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Saya mengatakan sebagian saja, karena sosialisasi yang kurang dan pelaksanaan yang dilaksanakan pada hari libur membuat hanya segelintir mahasiswa saja yang berpartisipasi.

Pemilihan Raya Ormawa dilaksanakan secara serentak, mulai dari pemilihan ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) dan Ketua Himpunan Mahasiswa Prodi (HMP) dari enam prodi di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF). Dari tujuh calon yang berkontestasi tiga di antaranya melawan kotak kosong termasuk calon ketua DEMA. yang menjadi pertanyaan, apakah seminim itu kandidat mahasiswa untuk mencalonkan diri, menurut saya sih tidak, karena dari postingan postingan di Instagram resmi FUF, banyak mahasiswa mahasiswa berprestasi baik secara akademis maupun leadership. Asumsi saya setidaknya ada tiga hal kenapa itu terjadi. Yaitu, persyaratan yang sulit, sosialisasi yang terlalu irit, dan tentu apatisme mahasiswa yang disebabkan oleh situasi politik yang rumit.

Tulisan ini saya persembahkan untuk Mahasiswa kampus dan fakultas tercinta, supaya bisa berkembang dan evaluasi bersama kedepannya, agar apatisme maupun persepsi buruk tentang politik bisa perlahan terhapus.

***

Banyak mahasiswa yang memandang politik sebagai arena pertarungan segelintir orang yang memiliki kepentingan tersendiri. Persepsi ini tidak sepenuhnya salah karena praktek politik di kampus saat ini memang sering mengecewakan. Tapi saya percaya bahwa praktek-praktek tersebut bisa kita ubah jika memiliki kesadaran moral yang normal bukan hanya kecerdasan pikiran saja. Karena Otto von Bismarck pernah menyatakan bahwa “Politik bukanlah sains, Melainkan seni”

Persyaratan yang sulit menjadi asumsi paling dasar saya tentang adanya kotak kosong. Persyaratan-persyaratan dibentuk dan disepakati dalam Kongres Besar Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (KBMF-UF). Saya tidak ingin mengulik lebih jauh, karena saya tidak mengetahui proses yang ada di dalamnya. yang saya ketahui bahwa persyaratan untuk maju dalam kontestasi Pemilihan Raya Ormawa (PEMIRA) adalah memiliki IPK standar 3,5, pernah berpengalaman di organisasi yang sama sebelumnya (HMP), memiliki rekomendasi partai atau mengumpulkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) sebanyak 50% (@kopurwadi_fuf).

Poin terakhir menjadi persyaratan yang paling membingungkan menurut saya. Karena Kopurwadi selaku KPU tidak memberikan alur prosedur terkait bagaimana mendapatkan rekomendasi partai. Begitupun dengan partai, sejauh saya menelusuri akun media sosial partai tidak ada sosialisasi terkait bagaiamana mendapatkan rekomendasi partai, yang ada hanya Open Recruitment partai. Kedua, mengumpulkan KTM sebanyak 50%, pertanyaanya jika sudah mencari dukungan dan mendapatkan KTM dari separuh populasi bukankah itu sudah dikatakan bahwa dia sudah menang?.

Asumsi kedua yakni sosialisasi yang terlalu irit. waktu liburan menjadi alasan sosialisasi hanya dilakukan secara daring. Dalam berita acara sebelumnya baca Forma KBMF-UF TERSELENGGARA, WADEK III BERHARAP HASILKAN KETUA SEMA-F TERBAIK. Andi Suwarko selaku Wakil Dekan (Wadek) III mengatakan bahwa pelaksaan lebih awal sebagai upaya menyelaraskan periodesasi kepengurusan ormawa (organisasi kemahasiswaan) tingkat fakultas dengan tahun anggaran. Hal itu sebagai wujud mengantisipasi kerancuan penyusunan anggaran.

Tapi apapun kondisi situasi dan alasannya, kopurwadi selaku penyelenggara Pemilihan Raya Mahasiswa ini harus masif dalam mensosialisasikan PEMIRA ini, karena PEMIRA merupakan pesta demokrasi seluruh mahasiswa FUF bukan sebagian saja. Minimnya sosialisasi ini dapat dibuktikan salah satunya dari sedikitnya partisipasi pemilih, dimana pemilihan ketua DEMA FUF hanya ada total 159 suara yang masuk.

Asumsi ketiga apatisme mahasiswa, banyak sekali yang menjadi alasan mahasiswa apatis terhadap politik khususnya politik kampus. Mulai dari kesibukan akademis, ataupun kekecewaan dari situasi politik kampus. Melihat banyak permainan kotor politisi di televisi membuat sebagian besar mahasiswa enggan terjun dalam dunia politik, mereka memilih apatis dan menyibukkan diri dalam hal hal berbau akademis. Banyak juga yang ingin mencoba namun gugur diperjalanan akibat mental yang tidak kuat dalam mengikuti situasi politik. Menganggap politik terlalu rumit menjadikan alasan pelengkap bagi apatisme dikalangan mahasiswa.

Kopurwadi FUF selaku Penyelenggara Pemilihan Raya Ormawa harus melakukan evaluasi besar besaran, melakukan persiapan secara matang, melakukan sosialisasi secara menyeluruh, menjaga independensi agar Pemilihan Raya Ormawa menjadi pesta demokrasi bagi seluruh mahasiswa FUF dan apatisme terhadap politik bisa berkurang sehingga mahasiswa lebih aktif dalam berpartisipasi kedepannya.

***

Tulisan ini adalah komentar pribadi yang masih sebatas asumsi terkait adanya fenomena kotak kosong dalam pemilihan raya di Fakultas Ushuluddin & Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, tidak ada maksud khusus dalam tulisan ini, saya hanya teringat penggalan dari lirik lagu Tumbuh Lebih Baik dari Nina Feast: “Cari panggilanmu, jadi lebih baik dibanding diriku.”. Mari bersama tumbuh lebih baik dari apa yang sebelumnya, kritik dan saran atas tulisan ini bukan lagi kebutuhan tapi kewajiban bagi setiap pembaca yang merasa tidak sependapat.