Penulis: Zamzam Qodri
Editor: Sabitha Ayu Nuryani
Zaman terus bergulir dengan perubahan-perubahan yang ada. Dari zaman dulu sampai zaman sekarang. Kalimat yang masyhur dari Heraclitus yang mengatakan bahwa semuanya pasti akan mengalami perubahan. Hanya satu yang tak bisa berubah yaitu perubahan itu sendiri.
Perubahan ini bukan tak ada yang menggerakkan. Ibarat suatu film, ada sutradara dan aktornya. Sebagai aktor dari sebuah film dengan alur zaman yang sudah disediakan oleh si sutradara yaitu Allah di dalam skenario-Nya, manusia pasti akan mengisi film dunia ini dengan karakter yang sudah ditentukan. Itulah mengapa Allah memberikan mandat kepada manusia sebagai khalifah di bumi.
Karena Tuhan sudah memberikan mandat kepada manusia sebagai khalifah di bumi, Tuhan juga memberikan pedoman berupa agama kepada manusia untuk menjalankan dunianya. Agama sebagai pegangan hidup manusia. Maka Allah menyuruh agar manusia berpegang teguh pada agamanya. Dan Allah sudah menjamin agama akan eksis dan bertahan sampai akhir masa. Hal ini bisa dilihat dalam Quran Surah Al-Hijr ayat 9 bagaimana Allah menjaga Al-Qur’an hingga akhir masa.
Yang menjadi pembahasan di sini bukanlah soal eksistensi agama. Agama dijamin eksis, tapi yang ingin dibahas pada artikel kali ini adalah terkait esensi agama, khususnya agama Islam. Esensi agama akan tampak jelas saat pertama diciptakan dan diperbarui. Dari zaman utusan pertama yang digantikan oleh utusan selanjutnya sampai terakhir. Kitab suci pertama yang diperbarui oleh kitab suci setelahnya sampai terakhir adalah tuntunan Allah yang diturunkan sesuai dengan zamannya masing-masing.
Namun, menjadi polemik jika zaman berubah tapi tak ada pembaruan kitab suci. Seperti yang terjadi pada umat Islam saat ini. Bisa saja dijawab dengan argumen bahwa kitab suci terakhir tak perlu pembaruan. Hanya perlu pendalaman kajiannya. Sebut saja Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Penerapan AlQur’an secara detail akan lebih terasa esensinya pada zaman nabi. Selain itu, juga ada hadits nabi sebagai pedoman kedua.
Setelah nabi wafat, diganti oleh sahabat yang berbeda zaman dengan nabi. Turun ke bawah ada tabi’in yang juga berbeda dalam pendalaman kajian Al-Qur’annya dengan sahabat. Dilanjutkan oleh ulama-ulama kita hingga muncul beberapa madzhab dan karya yang sangat melimpah. Ini bukti bahwa para ulama sudah mengalami proses pendalaman dalam mengkaji Al-Qur’an. Maka madzhab-madzhab inilah yang menjadi patokan ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis, yang sering kita sebut sebagai ijma’ ulama. Begitu pula seterusnya sampai saat ini di mana banyak sekali kelompok-kelompok yang muncul.
Seperti yang disampaikan di atas, agama Islam akan tetap eksis. Tetapi, seiring bergulirnya zaman, mulai dari pemikiran-pemikiran yang ada sampai perubahan yang dihasilkan hingga saat ini, kita berada di zaman atau era Revolusi Industri 4.0.
Muhammad Zia Ul-Haq dan Tasman Hamami (2020) memaparkan sejarah bagaimana kita bisa sampai pada Revolusi Industri 4.0. Dimulai dari akhir abad ke-18 (Revolusi Industri 1.0), ditandai dengan ditemukannya alat tenun mekanis pertama pada 1784 dengan fasilitas produksi mekanis menggunakan tenaga air dan uap, juga peralatan kerja yang awalnya bergantung pada tenaga manusia dan hewan dan akhirnya digantikan dengan mesin tersebut. Banyak orang menganggur tapi produksi diyakini berlipat ganda.
Kemudian di awal abad ke-20 (Revolusi Industri 2.0), tenaga uap digantikan oleh listrik dan terciptalah lini produksi massal, dapat dibilang industri menjadi komplit. Setelahnya terjadilah Revolusi Industri 3.0 pada awal tahun 1970, dimulai dengan penggunaan elektronik dan teknologi informasi guna otomatisasi produksi dengan kemunculan pengontrol logika terprogram, sistem otomatisasi berbasis komputer ini membuat mesin industri tidak lagi sepenuhnya dikendalikan manusia (beberapa operator) yang dampaknya biaya produksi menjadi lebih murah.
Lalu, Revolusi Industri 4.0 diperkenalkan pada tahun 2011 oleh sekelompok ahli dalam berbagai bidang asal Jerman dalam acara Hannover Trade Fair lalu secara serius ditanggapi oleh pemerintah Jerman mengenai gagasan tersebut, hingga akhirnya pada tahun 2015, Aggella Markel memperkenalkan gagasan Revolusi Industri 4.0 di acara World Economic Forum (WEF). Pada era ini, terdapat banyak inovasi baru: Internet of Things (IoT), big data, percetakan 3D, Artificial Intelligence (AI), kendaraan tanpa pengemudi, rekayasa genetika, serta robot dan mesin pintar. Inovasi Internet of Things dapat memudahkan dan menghubungkan manusia dengan teknologi, mesin, perangkat, dan sensor melalui jaringan internet.
Lantas bagaimana nasib esensi agama Islam di era ini?
Berbicara soal esensi, KBBI mendefinisikan bahwa esensi adalah hakikat, inti, atau hal yang pokok. Lalu jika kata esensi disatukan dengan kata agama Islam, maka akan menjadi satu kalimat yang membahas hakikat, inti, atau hal yang pokok dari agama Islam. Apa esensi agama Islam? Yang pasti adalah ikut dan tunduk pada perintah Allah. Menurut Imam Nawawi dalam kitabnya Nashoihul ‘Ibad, beliau mengatakan, “Fa inna jamii’i awamirillah tarji’u ilaa khaslataini: atta’dhimu lillahi ta’ala wasy syafaqotu li kholqihi.” Yang artinya, “Sesungguhnya semua perintah Allah kembali kepada dua hal: ta’dzim kepada Allah dan menyayangi makhluk-Nya.”
Secara garis besar, kita mempunyai gambaran terhadap esensi agama Islam. Dari paparan di atas, yang akan muncul sebagai hipotesis adalah Islam moderat yang menjadi esensi agama Islam sesungguhnya.
Hipotesis di atas melalui logika yang cukup baik. Namun, hal tersebut patut untuk disesuaikan dengan realita. Bagaimana realita yang ada? Realita menunjukkan, munculnya era ini bukan hanya memberi kesempatan kepada orang suci untuk menebarkan pentingnya kebaikan, tetapi juga kepada orang yang jahat untuk menyebarkan nikmatnya kejahatan. Pelaku judi disediakan aplikasi yang mudah diakses untuk berjudi online, prostitusi akan dimudahkan dengan adanya fitur prostitusi online, dan seterusnya.
Bukan hanya itu, kita bisa lihat bagaimana era ini menyediakan aplikasi untuk masyarakat bahkan anak muda yang seharusnya menjadi penerus, agar mereka lebih mudah dalam menjatuhkan kehormatan serta merusak akal dan akhlaknya. Semua serba mudah. Ironisnya lagi, di era ini bisa kita lihat dan amati sendiri bagaimana iklan yang tak senonoh dimunculkan di berbagai sosial media, salah satunya YouTube. Di YouTube, sering kita jumpai iklan yang tak senonoh dilihat, seperti iklan yang menampilkan wanita berjoget dengan terlihat auratnya, dan lain sebagainya. Iklan ini pun akan muncul semaunya bahkan kepada seseorang yang mencari nuansa Islami atau syariah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana banyak orang yang ingin mencari pencerahan, dengan melihat ceramah misalnya, tapi sedikit goyah imannya karena ditampilkan wanita bening seksi yang bergoyang di depan kamera. Ini fenomena yang terjadi di era Internet of Thing.
Melihat sedikit paparan realita di atas, akankah esensi agama Islam akan tetap ada? Jawabannya ada. Banyak dari sekian kelompok atau ormas Islam di era Revolusi Industri 4.0, di dalamnya juga ada Internet of Thing yang sadar akan manfaat dari era ini. Mereka sadar bagaimana era ini membawa kepada efektivitas marketing dan penyebaran suatu informasi. Tentu para ulama yang hidup di era ini memanfaatkan hal tersebut sebagai ladang untuk berdakwah. Mereka juga sadar akan kemudahan mengakses informasi.
Mustiqowati Ummul Fithriyyah dan Muhammad Saiful Umam (2018) memberikan contoh peran ulama untuk menebarkan ajaran Islam di era ini. Mereka mengambil contoh ormas Muhammadiyah dan NU yang melakukan peranan terhadap kebertahanan esensi agama Islam di era ini, antara lain:
- Membangun literasi digital pada basis pendidikan agama Islam.
- Membuat kanal (chanel) dan akun media sosial kajian keislaman.
- Membuat website keislaman moderat.
Namun sayangnya, hal ini dihadapkan pada realita yang merusak adanya peran orang yang berusaha menebarkan kemoderatan. Lagi-lagi hal itu digagalkan oleh orang yang tak cerdas bermedia sosial. Atau mungkin cerdas tapi cerdas mengelabui. Dalam hal ini, kita bisa lihat orang yang menyebarkan isu hoaks. Egi Sukma Baihaki (2020) membeberkan sebuah data terkait adanya hoaks.
Dalam jurnalnya, tercatat bahwa Mastel pada tahun 2019 melakukan survei dan melaporkan, bentuk hoaks yang paling sering diterima oleh masyarakat adalah dalam bentuk tulisan sebanyak 70.7%, foto editan sebanyak 57.8%, foto dengan caption palsu sebanyak 66.3%, video editan dengan dubbing palsu sebanyak 33.2%, video editan yang dipotong sebanyak 45.70%, video dengan caption palsu sebanyak 53.2% dan berita, foto, atau video lama yang di-posting kembali sebanyak 69.20%. Salurannya sendiri pada tahun 2019 untuk media sosial sebanyak 87.50% terjadi penurunan dibanding tahun 2017 yang saat itu berjumlah 92.40%. Peningkatan justru terjadi di aplikasi chatting yang pada tahun 2017 berjumlah 62.80% dan pada tahun 2019 meningkat menjadi 67.00%, website pada 2017 berjumlah 34.90% dan pada tahun 2019 sebanyak 28.20% (Masyarakat Telematika Indonesia, 2019). Meskipun data di atas diambil dari tahun 2019, kemungkinan besar di tahun ini tidak akan jauh dari persentase tersebut.
Hoaks memang tidak mengenal batas sasaran dan informasi (Egi Sukma Baihaki, 2020). Semua bisa menjadi sasaran hoaks termasuk agama. Dengan keahlian editing yang ada, maka dibuatlah karya yang menarik namun tak dapat dipertanggungjawabkan. Realita semacam ini bisa kita lihat pada orang yang memalsukan lafaz Al-Qur’an pada Al-Qur’an digital, mengubah redaksi hadis, dan semisalnya. Yang lebih parah lagi dan mungkin sebagian kita masih tidak sadar, yaitu pengadudombaan antara pihak satu dengan yang lain di media sosial. Bisa saja yang di adu domba adalah ulama.
Kita bisa lihat di chanel tertentu yang membenturkan antara ulama yang satu dengan yang lain. Padahal mereka tidak mungkin berniat begitu. Anggap saja ulama anu mengatakan dalam suatu forum, bahwa siapa yang menyerupai suatu kaum (anggap saja kafir) maka ia termasuk kaum tersebut. Lalu, ulama fulan di suatu forum yang berbeda mengatakan bahwa tidak semua orang yang berkawan dengan suatu kaum (anggap saja kafir) itu termasuk golongan mereka. Karena barangkali orang itu berdakwah seperti yang dilakukan nabi.
Lalu muncul orang yang gila subscriber, like, share, dan sebagainya membenturkan kedua ulama tersebut dengan menggabungkan video mereka tanpa memahami konteks pembahasan. Setelah digabungkan, kemudian diberi judul “ULAMA ANU TERDIAM SETELAH MENDENGAR PENJELASAN ULAMA FULAN” atau “PENJELASAN ULAMA FULAN MEMBUAT ULAMA ANU TAK BERKUTIK”. Yang menjadi korban dari konten ini akhirnya orang awam. Sehingga, orang yang awam menjadi bingung memilih ulama mana yang akan mereka ikuti, atau malah ikut-ikutan membenci ulama anu meski tanpa dasar yang kuat.
Hal ini membenarkan pendapat yang disampaikan oleh Muhammad Amin Abdullah (2019) bahwa tantangan di era 4.0 yaitu isu kemanusiaan yang berkaitan dengan intoleran, minoritas, diskriminasi, persekusi, friksi, dan konflik serta dalam bidang agama mucul tren konservatif.
Dari sekian pemaparan yang sudah tertulis di atas, tetap bisa diambil sebuah kesimpulan sementara (hipotesis) bahwa eksistensi agama Islam tetap ada. Namun, soal esensi masih dibutuhkan stimulus lainnya agar dapat menghasilkan pembahasan yang lebih komprehensif untuk menjawab secara tegas bahwa esensi agama Islam tetap ada dan utuh.
(Artikel ini merupakan tugas akhir mata kuliah Adabul Bahtsi wal Munadhoroh).