Sumber Google

Menjamah masa paling trendi 2020, perut globe justru bergolak layuh. Bukan oleh rasa lapar kehabisan energi dari batang cahaya sang surya, tetapi oleh rasa terkejut yang kelewat nalar bahwa para manusia di sudut-sudut bentala melancarkan aksi pemutakhiran secara rakus terhadap perkembangan teknologi terbarukan. Berbagai strategi diluncurkan dari balik tabir tiap-tiap negara frontal, berhamburan menyongsong negeri emas di era yang puncak kemodernannya mencapai level maksimum total. Sejumlah isu tentang perang dagang dunia yang diaktori oleh gugusan pemerintah Amerika dan China hingga merebaknya virus makro berskala mondial, hanya menambah teruk kondisi alam yang sudah renta. Bangsa manusia bertopang pada planet bumi yang sedang lara, oleh makhluk kerdil bernama Corona. Bukan senyawa organik berupa angin, air, api dan tanah yang terancam hirap mengudara, tetapi nyawa yang berasal dari jasad manusia. Situasi ini tak kunjung menemui titik solusi paripurna, hingga separuh umat Islam semesta alpa menjalankan ritual sakti hari raya.

Seusai menjalankan ibadah puasa, manusia bak terlahir kembali dari abdomen ibunda. Suci, bersih, khalis, kudus tanpa secercah noda. Saban bayi yang baru keluar dari kandungan membawa sifat mukhlis adiluhung, jauh dari perangai ke-jahiliyah-an, sebab ada serimis iman di dalam  hatinya. Fenomena sakral ini telah diterangkan secara eksplisit di dalam kedua hukum normativitas, alquran dan sunah rasulilah. Berkata Nabi SAW dalam sabdanya, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Dengan kepiawaian tangan-Nya sendiri, seakan Allah hendak bermanifestasi pada masing-masing sukma, sebagai wujud kecintaan kepada para hamba yang taat berpuasa. Di samping mendidik jiwa spiritual dalam ibadah literal, puasa juga mengikat keharmonisan sesama darah yang terpisah tuk mencapai maqam mulya di hadapan Sang Maha Rahman sebagai insan bertakwa.

Dalam tradisi spiritual ini, zat yang bersifat absolut mengembalikan mereka yang terbatas kepada kemurniannya sejak pertama kali diciptakan. Analoginya, laksana seorang pertapa yang berhasil mereguk kedamaian hati serta pikiran dalam rahasia kontemplasi. Melalui praktik meditasi mendalam mereka mencari-cari kemerdekaan dari segala penderitaan dan kenahasan hidup, mendambakan konsep ukhrawi melewati jalan cinta kasih, bakti dan percaya. Entitas puasa tak hanya berhenti pada mengikat jemari mencicip deretan hidangan di atas meja makan, lalu geraham bergerigi mengunyahnya, tetapi lebih dari sekadar itu. Mengendalikan nafsu birahi dan setiap keinginan inkonsisten yang bergejolak dalam gumpalan hati, mengikat otot mulut supaya enggan menyembilu perasaan orang lain, memupuk budi luhur dan mengembangkan sifat kesatria diri pribadi, menjalankan syariat agama dengan tertib dan mengambil ibrah dari para leluhur yang telah beroleh stadium pengetahuan lebih tinggi.

Pujangga sufi klasik berdarah Persia, Maulana Rumi insan mengenalnya, bersyair dalam teologinya, “Puasa adalah upacara korban kita yang merupakan kehidupan bagi jiwa. Mari kita korbankan badan karena jiwa telah datang menjadi tamunya.” Ia adalah prosesi penyucian jiwa atas kecacatan vertikal dan kekhilafan antar sesama dalam relasi sosialnya, karena volume kealpaan manusia yang meluap tak terkendali. Tubuh akan dibenamkan dalam kumparan bara bersama lelatu yang mengilat-ngilat selama lebih kurang tiga puluh hari. Suhu dinaikkan hingga seribu derajat bahkan lebih. Perlahan jasad itu melebur sampai ke bagian detail penciptaannya. Hingga yang tersisa hanyalah jiwa yang bersih, merdeka  dari segala kefasikan. Jasad manusia kembali terbentuk dalam wujud lebih sempurna, lantaran meruapnya dosa-dosa bersama riak udara. Umat merumuskannya dalam sebuah formula berpikir terpimpin, bahwa setelah lulus melewati masa kontemplasi, setiap kepala akan bersua dengan fitrahnya sekali lagi. Sebuah periode yang pantas untuk dikenang sepanjang hari, di mana umat terjangkit virus kebahagiaan hakiki dalam momentum hari raya idul fitri.

Hari kemenangan milik umat muslim tahun ini terasa garib di tengah pusaran milieu yang tertimpa bencana pandemi. Setengah kaum di berbagai pelosok negeri bertimpang dan berselisih tentang upaya memusnahkan balak supaya enyah dari muka bumi. Kesemarakan hari bertegur sapa untuk membangun persaudaraan dalam bingkai tradisi keagamaan sebagai perekat kohetivitas umat menjadi tidak kondusif. Berapa banyak keluarga baik-baik dikurung di ruang berterali kayu lapis atau dinding-dinding semen, sebab khawatir diidentifikasi sebagai penderita positif Covid. Ketetapan masyarakat hunian beragam kultur di masing-masing daerah teritori sebagai respons menyambut bulan nan fitri, menciptakan jurang sentimen negatif. Hubungan antar manusia yang memegang visi keharmonisan dan kerukunan seakan tak terjalin di beberapa koloni.

Namun, budaya saling menghargai, saling hormat-menghormati, saling tolong-menolong, saling bersapa, saling gotong-royong, saling bertatap muka tidaklah raib begitu saja. Aktivitas komunikasi sosial di hari di mana tangan umat Islam tertangkup setara dada saling mengetuk pintu maaf, tidaklah berlangsung secara alamiah tradisional dengan mengalir melewati jaringan adat yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Melalui tradisi-tradisi lokal serupa; kunjungan, salam-salaman, pawai obor keliling ataupun tradisi bertukar makanan. Tetapi umat modern disuguhi perangkat elektronik pintar sebagai solusinya. Gelombang silaturahmi sosial, formal hingga politisi dijangkau melalui jalan virtual.

Begitulah potret hari kemenangan di ahad sendu yang hilang cerianya. Ribuan balon plastik melayang di angkasa yang warna birunya merajai langit raya, gelagar suara kembang api dan bising meriam bambu memecah cakrawala, tetapi manusianya begitu ringkih tak berkekuatan lantaran terkena daya ledak Corona yang cukup membuat rontok bulu roma. Gaya insan baru setelah mereguk keberkahan Ramadhan, tidaklah sebebas tahun-tahun silam. Namun, kesucian dari setiap jiwa yang merindu obat dahaga bertapa, tidaklah setetes pun sirna apalagi lenyap belaka. Mereka lulus di dalam pengembaraan perjalanan jauh bermil-mil untuk mencapai kematangan lahir batin, dalam tata susila menjalin hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dia berfirman dalam surah al-Isra’ ayat 70, “Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”

 

Hand attirmidzi