Dibaca normal 5 menit

Penulis: M. Akbar Darojat Restu

Editor: Chintya Octavia SH

Seringkali kali kita mendengar nasihat dari orang tua atau guru bahwa keberanian merupakan aspek terpenting yang mesti dimiliki oleh manusia. Setiap insan yang masih bisa menghembuskan napas harus memiliki keberanian dalam menghadapi kerasnya hidup ini.

Tanpa memiliki keberanian, orang akan terseok-seok dan tak mendapatkan pengakuan di dunia ini. Ia akan cenderung dicela, dicerca dan diejek dengan sematan pengecut. Lalu, apa sebenarnya yang disebut dengan keberanian? Seperti apakah pribadi yang memiliki jiwa pemberani?

Anak kecil dengan imajinasinya yang liar, barangkali akan melekatkan keberanian pada sosok Superman, Batman, Thor, atau para tokoh marvel lainnya. Para superhero tersebut dengan kekuatan super manusiawi mempunyai cita-cita untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan.

Lebih maju dari itu, kaum mahasiswa dengan impian akan pembebasan dan kemerdekaan yang hakiki, melihat keberanian dari sosok Wiji Thukul, Munir Said Abi Thalib, atau Tan Malaka. Mereka adalah sosok yang berani mempertaruhkan hidupnya untuk mengangkat harkat dan martabat orang-orang kecil di sekitarnya.

Berbeda dengan itu, para agamawan yang fanatik dan revivalis, barangkali akan melekatkan keberanian pada sosok Imam Samudra, Mohammad Atta, atau Usama bin Laden. Para teroris dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang diinterpretasikan secara reduktif, rela mengorbankan dirinya walaupun dengan cara mengorbankan orang-orang yang dianggap liyan.

Lakhes: Menguraikan Keberanian

Sekitar 2000 tahun yang lalu, barangkali pada tahun 424 SM terjadi dialog yang cukup menegangkan mengenai keberanian antara Sokrates, Lakhes, Nikhias, Lysimakhos, dan Melesias di Palaistra atau gymanasium. Dialog yang awalnya membicarakan tentang keprihatinan Lysimakhos dan Melesias terhadap krisis pendidikan anak muda di Athena, secara perlahan menjurus pada persoalan keberanian.

Belum ada kesimpulan yang tepat mengenai pergeseran tema tersebut, namun yang patut dicatat ialah dialog tersebut berakhir berakhir secara aporetik (buntu). Penyebabnya ialah karena argumen-argumen yang diberikan Lakhes dan Nikias terus disanggah oleh Sokrates.

Seperti biasanya, filsuf besar Yunani tersebut berambisi untuk mencari definisi yang universal mengenai keberanian. Artinya, definisi itu bisa dipakai dalam semua kasus: setiap orang dan setiap tempat.

Padahal, keberanian adalah pengalaman autentik dan konkret yang hampir mustahil untuk terulangi. Ia bisa saja tiba-tiba muncul dan pelakunya bekerja di bawah alam sadar. Namun, tak jarang pula ia muncul karena ditekan oleh sebuah kepentingan. Dari sini, muncul definisi keberanian yang beragam. Maka, menggunakan analisis deduktif untuk menguniversalisasi keberanian memang sangat susah.

Meski demikian, terdapat kriteria-kriteria tertentu mengenai apa yang disebut dengan keberanian. Dalam dialog Lakhes, keberanian tidak direpresentasikan sebagai tindakan heroik dalam konteks perkelahian, pertempuran atau peperangan.

Ia bukan yang sebagaimana kalian lihat dalam sosok Takiya Genji dan kawan-kawannya dalam film Crows Zero. Ia juga tak terpatri dalam diri preman pasar atau petarung jalanan. Bahkan, tindakan gembong teroris yang berani mempertaruhkan nyawanya tak dapat disebut keberanian.

Keberanian tidak boleh tidak harus disertai dengan episteme (sains, ilmu dan pengatahuan). Orang mesti tahu tentang “Apa yang harus ditakuti dan apa yang harus dipercayai” untuk bisa disebut sebagai sosok pemberani. Percuma orang siap menghadapi apa pun atau bahkan mengorbankan dirinya bila tak disertai dengan pengetahuan.

Tindakannya kelak bisa terjerumus dalam level epithumia yang mengurusi persoalan perut dan seks. Artinya, keberaniannya hanya digunakan untuk mencari makan, minum, dan melampiaskan nafsu seks belaka.

Ada yang lebih maju dari level tersebut yakni, thumos. Namun, sekali lagi, level ini belum bisa dikatakan sebagai manifestasi dari keberanian. Pasalnya, level ini masih terjerembab dalam euforia kegagahan, kemegahan atau mementingkan ego. Dengan lain kata, keberaniannya dideterminasi oleh sifat ingin dikenal, merengek minta pujian atau merasa paling benar sendiri.

Keberanian yang hakiki berada pada level logostikon. Orang yang berada pada level ini adalah orang yang sudah bisa mengendalikan level epithumia dan thumos. Karena itu, ia sudah tak lagi terpedaya oleh nafsu bawah perut (makan, minum dan seks) atau nafsu dada (kegagahan atau harga diri) dan menggunakan rasionya untuk memilih mana yang benar-benar baik sebelum bertindak.

Namun, rasio di sini bukan semata-mata untuk menghasilkan pengetahuan teoritis yang seringkali hanya berkutat pada pikiran saja, melainkan pengetahuan praktis yang disebut sebagai “keteguhan yang berhikmat” (phronesis).

Dalam arti ini, pengetahuan diproduksi melalui pertimbangan atau refleksi atas pengalaman sehingga mampu mengontrol epithumia dan thumos. Sehingga, orang mampu memilih secara objektif mana perbuatan yang baik, mulia, dan patut dipuji. Artinya, keberanian tidak boleh mengusung netralitas yang mengosongkan nilai dan moralitas.

Setelah hal tersebut dilakukan, orang mesti meneguhkan dirinya secara stabil. Dengan lain kata, orang akan melaksanakan apa yang menurutnya paling benar dan tak peduli dengan setiap ocehan atau tentangan orang-orang yang tak sepakat dengannya. Dan sikap ini akan tetap ia pegang hingga titik darah penghabisan.

Hal itulah yang dulu dipraktikkan oleh Sokrates ketika ia memilih menenggak racun ketimbang meninggalkan kota Athena. Ia tak takut mati karena ia berusaha untuk menerapkan apa yang menurutnya benar. Juga untuk menunjukkan bahwa tuduhan-tuduhan yang disematkan kepadanya adalah tidak benar.

Sehingga, keberanian pada dasarnya ialah melawan musuh yang ada dalam diri sendiri seperti, rasa takut, khawatir, cemas, dsb. Ia bukanlah tindakan heroik yang menyeruak secara sesaat, tetapi tindakan yang justru menuntut integritas diri dan pengendalian sikap.

Hal ini senapas dengan tujuan filsafat menurut Sokrates, yakni merawat diri. Jadi, orang mesti selalu merawat/mengevaluasi dirinya karena “hidup yang tak dievaluasi, tak layak untuk dihidupi”.

Penutup: Sekedar Refleksi

Di bagian penutup ini, saya ingin mengajukan pertanyaan:

Apa makna menjadi berani di abad 21 ini?

Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengatakan bahwa orang perlu menjadi pemberani. Bukan saja agar tidak dicap sebagai pengecut, akan tetapi dengan keberanian orang menjadi tenang dalam menghadapi setiap masalah atau marabahaya.

Keberanian membuat orang tidak menjadi ciut atas setiap gertakan. Dan orang yang berani tak akan dihantui oleh kecemasan.

Nah, abad 21 ini adalah abad yang menyedihkan karena persoalan datang terus dan jarang yang terselesaikan. Kemiskinan, kelaparan, kekeringan, perampasan ruang hidup, perubahan iklim, dan berbagai problem lainnya.

Persoalan tersebut sangat dekat dengan diri kita dan barangkali kita salah seorang yang menjadi korbannya. Namun, masih banyak orang yang tak tahu atau bahkan tak mau tahu mengenai persoalan tersebut. Manusia yang dijuluki milenial ini lebih suka bermain gadget, nongkrong di café, pacaran, atau pekerjaan unfaedah lainnya.

Di sinilah perlunya kita menjadi pemberani. Kita mesti peduli dan berani menghadapi persoalan tersebut. Kita harus siap menerima risiko atas keberanian yang kita lakukan. Kita tak boleh mundur dan pantang menyerah dalam menghadapi persoalan tersebut.

Tahukah kalian dengan Revolusi Arab Spring? Revolusi ini terjadi setelah seorang pedagang bernama Mohamed Bouazizi membakar dirinya sendiri sebagai respon atas watak pemerintahan Tunisia yang diktator.

Atas kejadian tersebut, gelombang pemberontakan muncul di mana-mana dan meluber ke negara-negara Timur Tengah lainnya. Sehingga, dengan keberanian lah orang-orang di sekitar kita menjadi tersadarkan.

Keberanian tersebut patut dicontoh, tapi caranya tidak harus dengan membakar diri. Masih banyak cara lainnya yang bisa contoh. Yang penting kita harus memiliki keberanian karena merupakan modal sebelum melakukan sesuatu.