Penulis: M. Akbar Darojat Restu Putra

Editor: Adi Swandana E. P.

Konflik pembangunan di Wadas kembali menyeruak. Banyak akademisi, pemerhati lingkungan, aktivis, serta mahasiswa memperbincangkan persoalan itu. Konflik itu terjadi karena pemerintah hendak mengambil alih tanah warga Wadas demi menjalankan proyek pertambangan batu andesit. Bahan material dari pertambangan itulah yang nantinya akan digunakan untuk membangun bendungan.

Namun, hingga kini banyak warga Wadas yang menolak salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut. Alasan penolakan mereka adalah karena tanah tersebut telah menjadi sumber penghidupan mereka. Tanah yang mereka fungsikan dalam aktivitas pertanian telah banyak memberikan keuntungan ekonomis. Agaknya mereka khawatir ketika mereka sudah rela melepaskan tanahnya, mereka tak tahu harus kerja apa lagi dan kalaupun mendapatkan pekerjaan pengganti, hasil yang diperoleh tiada bandingannya dengan pekerjaan petani.

Kendati demikian, pemerintah tetap kukuh menginginkan tanah Desa Wadas. Bahkan, pemerintah sudah membuka akses jalan untuk pertambangan batu andesit. Pertanyaan yang dapat dimunculkan dalam cerita di atas ialah mengapa pemerintah begitu getol mengambil alih tanah warga Wadas sekalipun mereka tetap gigih menolak untuk melepaskan tanahnya? Adakah kepentingan di balik PSN itu? Pertanyaan itulah yang akan dijawab di bawah ini.

Akumulasi Lewat Penjarahan

Dalam bagian ini, saya akan mengulas logika ekonomi-politik yang bekerja dalam pengambilan tanah untuk penambangan batu andesit. Saya akan membahas tentang bagaimana penambangan batu andesit untuk pembangunan bendungan sebenarnya memiliki kepentingan terselubung. Untuk keperluan ini, saya akan merujuk pada konsep akumulasi primitif yang dicetuskan oleh Karl Marx.

Akumulasi primitif kerap dianggap sebagai momen pra-kondisi dari kapitalisme. Ia bekerja sebelum akumulasi modal atau akumulasi properti dalam konteks tumbuh-kembang kapitalisme. Sementara akumulasi modal adalah reproduksi terus-menerus kapital secara luas, akumulasi primitif adalah penciptaan kondisi dari sistem non-kapitalisme menjadi kapitalisme yang terpersonifikasi dalam pemisahan secara paksa terhadap produsen dan alat produksinya.

Akumulasi primitif membuat produsen terlempar dari alat produksinya. Dalam momen ini, ia sekaligus juga menciptakan hak milik yang kapitalistik dan membentuk buruh upahan yang modern. Dengan pola kerja yang demikian, tak ayal apabila Marx menyebutnya sebagai primitif: [mekanisme] itu membentuk prasejarah dari kapitalisme dan corak produksi yang
berhubungan dengan modal.

Sebagai proses awal dalam melahirkan kapitalisme, Marx membuktikan momen ini melalui kebijakan enclosure di Inggris pada abad ke-17. Dalam konteks ini, petani-petani di Inggris disingkirkan secara paksa dari alat produksinya. Dan Marx juga menunjukkan bahwa momen ini juga terjadi di Spanyol, Belanda, Portugal, Perancis dll.

Dalam perkembangan selanjutnya muncul interpretasi baru terhadap akumulasi primitif Marx. Interpretasi yang cukup kontroversial datang dari seorang geografer bernama David Harvey. Melalui konsep accumulation by dispossesion (akumulasi lewat penjarahan), ia menunjukkan bahwa akumulasi primitif bukan cuma proses pra-kondisi dari kapitalisme, melainkan proses yang akan selalu dibutuhkan dalam proses produksi kapitalisme (Arianto Sangaji: 2022, 54-78).

Ia menegaskan bahwa mantra-mantra dari neoliberalisme yang meliputi deregulasi ekonomi, privatisasi, penihilan subsidi dan sebagainya, alangkah baiknya dideskripsikan sebagai akumulasi lewat penjarahan. Akumulasi primitif bekerja melalui dua logika yang saling terkait. Logika yang bermain ialah logika kekuasaan negara yang terkunci di suatu kawasan (fixed), serta logika modal yang tak hentinya bergerak dan tak terkunci di suatu kawasan.

Melalui konsep ini, kita bisa tahu bahwa sungguh mitos apabila menganggap negara berperan secara minimal atau bahkan tak berperan sama sekali dalam proses perekonomian. Negara bekerja dalam logika yang selaras dengan kepentingan kapitalisme kontemporer. Dalam konteks ini, negara dibutuhkan sebagai fasilitator dalam mengembangkan modal.

Akumulasi lewat penjarahan, menurut Harvey, dilakukan terutama karena krisis yang menimpa kapitalisme. Harvey menyebut ada tiga krisis yang menimpa kapitalisme dalam fase sejarah: pertama, krisis yang terjadi karena akumulasi yang berlebihan dari kapitalis bersamaan dengan kurangnya permintaan dari konsumen. Akibatnya, komoditas tak bisa dijual di pasar. Oleh karenanya, krisis akumulasi yang berlebih kerap juga disebut dengan krisis produksi yang berlebih.

Ketika komoditas tak bisa dijual di pasar, maka produktivitas di pabrik menjadi melorot dan akhirnya kapitalis akan mengurangi jumlah buruh. Dengan ini, pengangguran akan semakin membludak. Untuk menyelesaikan krisis ini, kapitalis memunculkan solusi ruang (spatial fix). Dalam konteks ini, kapitalis akan mencari bahan mentah, buruh dan pasar yang baru di kawasan yang belum dikapitalisasi.

Kedua, krisis yang terjadi dalam kontradiksi kapitalisme finansial. Krisis ini menjalin dengan krisis pertama. Ketika kapitalis hendak melakukan solusi ruang, ia membutuhkan dana dari kapitalis finansial. Dalam skema ini, kapitalis akan mendapatkan kredit atau pinjaman yang akan dibayarkan kelak. Apa yang terjadi dalam skema ini adalah bertemunya solusi ruang dengan solusi waktu sehingga menjadi solusi ruang-waktu (spatial-temporal fix). Kawasan baru yang akan dibuka oleh kapitalis melalui bantuan finansial cepat atau lambat akan mengalami krisis. Karena itu, solusi ini sebenarnya hanyalah penundaan krisis.

Ketiga, krisis yang terjadi karena pembangunan geografis yang timpang. Krisis ini terjadi karena ritme regional dari suatu pembangunan, perpindahan atau naik-turun modal. Penyebabnya ialah tendensi dari kapitalisme untuk menghancurkan suatu kawasan dan beralih mencari kawasan baru. Bisa juga karena organisasi perdagangan internasional yang diatur berdasarkan dikte-dikte para kapitalis raksasa (Bosman Batubara: 2022, 82-84).

Modifikasi terhadap akumulasi primitif yang dilakukan oleh Harvey tersebut bukannya tanpa kritik. Ben Fine, Ekonom Marxis mengklaim bahwa Harvey terlalu mengakomodasikan banyak hal ke dalam konsep akumulasi lewat penjarahan. Apalagi ketika Harvey menganggap bahwa apa yang terjadi di Cina sekarang ini adalah bagian dari akumulasi lewat penjarahan. Menurut Bill Dunn, pernyataan Harvey tersebut adalah anggapan yang salah karena justru yang terjadi adalah wujud dari akumulasi modal.

Sementara itu, Ellen Meiksins Wood pun mengklaim bahwa konsep Harvey tersebut hanya menjelaskan redistribusi aset yang mendorong investasi ketimbang pembentukan dan pelanggengan hubungan sosial yang kapitalistik. Sekalipun demikian, konsep akumulasi lewat penjarahan tetap berguna  untuk menjelaskan modal produksi kapitalisme yang dalam hal ini direpresentasikan oleh penambangan batu andesit di Wadas.

Demi Pembangunan Bendungan

Demi memuluskan aktivitas pertambangan batu andesit untuk pembangunan bendungan, pemerintah memaksa warga Wadas untuk meloloskan tanahnya. Salah satu cara yang dilakukan ialah melalui jalan kekerasan. Hal ini terjadi pada 23 April 2021, ketika warga Wadas menghalangi kedatangan tim BBW-SO (Balai Besar Wilayah Sungai Opak) ke balai Desa Wadas untuk melakukan sosialisasi pematokan tanah dengan menutup jalan, menggelar doa mujahadah atau doa perjuangan di ruas jalan menuju desa.

Aksi yang dipelopori oleh Wadon Wadas (wadah gerakan perempuan Wadas) tersebut berubah menjadi ricuh ketika segerombolan aparat kepolisian yang berjumlah sekitar 400 orang tiba dan memaksa masuk ke Desa Wadas. Aparat kepolisian tanpa tedeng aling-aling meluncurkan gas air mata dan membubarkan aksi Wadon Wadas tersebut. Pasca kejadian itu, 9 orang mengalami luka-luka dan 11 lainnya ditangkap, termasuk Julian dari LBH Yogyakarta yang merupakan kuasa hukum warga Wadas.

Meski demikian, solidaritas kepada warga Wadas begitu bergemuruh. Pada 28 Agustus 2021, Komunitas Pit Dhuwur Yogyakarta rela mengayuh sepeda dari Yogyakarta ke Purworejo sebagai wujud dukungan mereka kepada warga Wadas yang menolak pembangunan bendungan. Mereka membawa spanduk yang bertuliskan “Tanah Leluhur Bukan Tanah Kosong”.

Seniman dari berbagai kota pun turut turun tangan dengan membuat berbagai mural yang merepresentasikan perlawanan terhadap penambangan batu untuk bendungan. Warga Wadas sendiri setiap malam tak kenal lelah menyelenggarakan doa mujahadah demi keselamatan lahan dan tanah mereka (https://www.mongabay.co.id/2021/09/19/mural-besek-sampai-mujahadah-perlawanan-simbolis-dari-wadas/).

Dua hari setelah aksi solidaritas tersebut, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang memutuskan gugatan warga Wadas terhadap Gubernur Jawa Tengah atas IPT (Izin Penetapan Lokasi) penambangan batu quarry. Isinya ialah PTUN menampik gugatan warga Wadas.

Namun, hingga kini warga Wadas masih tetap kukuh mempertahankan tanahnya. Mereka bahkan rela memperjuangkan tanahnya hingga titik darah penghabisan. Karena itu, pemerintah mengambil jalan pintas melalui konsinyasi uang di pengadilan. Kepastian konsinyasi itu diperoleh setelah Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberikan surat tertanggal 10 Maret 2023 kepada kepala desa yang berisi permintaan kepada warga penolak tambang untuk segera mengumpulkan berkas inventarisasi lahan. Jika mereka tidak mengumpulkan berkas, maka BPN akan melakukan mekanisme ganti rugi ke pengadilan atau yang disebut dengan konsinyasi (https://www.mongabay.co.id/2023/04/13/warga-wadas-bertahan-tak-lepas-lahan-dan-tolak-konsinyasi-banjir-lumpur-mulai-terjadi/).

Setelah surat itu dikeluarkan warga beberapa kali mengadakan pertemuan dengan BBW SO (Balai Besar Wilayah Sungai Opak) BPN Purworejo dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Dalam pertemuan itu, Ganjar memutuskan tidak memakai cara konsinyasi, tapi warga harus mau menjalin dialog dengan BBW-SO. Sehingga, warga kemudian mengadakan pertemuan dengan BBW-SO. 

Sepanjang ini BBW-SO tidak memberikan penjelasan terkait konsinyasi. Malahan mereka justru mengeluarkan surat terbaru yang berisi rencana pengukuran, identifikasi dan inventarisasi bidang-bidang tanah milik warga. Menurut Dhanil Alghyfari, pengacara dari LBH Yogyakarta, surat tersebut sebenarnya hanya akal-akalan pemerintah untuk memuluskan jalan menuju tahapan formal konsinyasi ketika masuk pengadilan.

Ia menjelaskan konsinyasi sebenarnya hanya berlaku ketika pemilik lahan atau penerima hak tidak ada di lokasi. Bisa juga apabila lahan warga masih sengketa dengan warga lain. Karena belum ada kejelasan, ganti rugi akhirnya dititipkan ke pengadilan. Namun, dalam konteks warga Wadas mekanismenya jelas berbeda. Bukan pemilik lahan tidak ada di lokasi atau terjadi sengketa lahan, melainkan warga Wadas menolak melepaskan lahan.

Syukron Salam, pengajar Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang yang juga merupakan perwakilan dari Solidaritas Akademisi Untuk Warga Wadas (Sadewa) menegaskan bahwa surat tersebut hanyalah cara kotor negara untuk mengambil paksa tanah rakyat. Selain menyalahi ketentuan undang-undang (UU), surat tersebut merupakan wujud intimidasi terhadap warga yang menolak melepaskan tanah.

Namun, sekali lagi penolakan itu tak menimbulkan reaksi apa-apa pada pemerintah. Pemerintah justru membuka akses jalan menuju lahan yang akan ditambang. Akibatnya, lumpur dan material tanah amblas terbawa banjir ke pemukiman penduduk pada akhir Maret lalu. Rumah warga terendam banjir dan lumpur serta akses jalan tertutup karena ketinggian air mencapai lutut dewasa. Belum apa-apa Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut telah membawa petaka. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya ketika penambangan batu andesit untuk pembangunan bendungan sudah dijalankan.

Selain membunuh hak asasi masyarakat, aktivitas pertambangan sebenarnya memiliki dampak ekologis yang parah. Sebagaimana disebutkan Vandana Shiva dalam karyanya yang berjudul Water Wars: Privatization, Pollution and Profit, pertambangan merupakan aktivitas yang mendestruksi daya tampung air. Ia menceritakan pengalamannya ketika pertambangan kapur di daerahnya dilakukan hanya bertujuan untuk mengeruk kapur semata tanpa mengindahkan bagaimana kondisi air. Selain merusak kondisi air, ia juga menyebutkan bagaimana pertambangan di lereng-lereng yang curam riskan terhadap longsor dan mengotori aliran air serta sungai dengan reruntuhannya.

Di sini kita menemukan kontradiksi bagaimana pertambangan batu andesit yang dijalankan untuk mengkonstruksi air dalam skala besar berwujud bendungan—justru memiliki dampak pada pengrusakan air. Pembangunan bendungan sebenarnya juga menimbulkan petaka. Selain meneguk biaya produksi yang mahal—tercatat biaya yang dikeluarkan untuk Bendungan Bener sebesar 2,6 triliun—proyek itu juga menimbulkan kerusakan lingkungan dan kehidupan sosial.

Itulah mengapa di Eropa dan Amerika Serikat terjadi penghancuran ketimbang pembangunan bendungan besar-besaran. Di Amerika Serikat, sejak 2006, 60 bendungan dihancurkan rata-rata per tahun. Tren ini berbeda dengan negara-negara berkembang di seluruh dunia yang sedang membangun sekitar 3700 bendungan. Dalam konteks ini, pemerintah justru mau menjadikan PSN itu sebagai bendungan tertinggi di Indonesia.

PSN tersebut direncanakan dapat menampung air sebanyak 90,39  juta meter kubik yang dapat menggenangi lahan seluas 313 hektar di empat desa di Kabupaten Purworejo dan tiga desa di Kabupaten Wonosobo. Air tersebut diperkirakan mampu untuk mengairi sawah seluas 15.518 hektar dan menyusutkan debit banyak sebanyak 210 liter/detik. Juga menyuplai air baku sebanyak 1.500 liter/detik dan mampu menjadi pemasok pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkekuatan 6 mega watt.

Dari 1.500 air baku tersebut, sebanyak 700 liter akan dialirkan ke Kabupaten Kulon Progo, 300 liter untuk Kabupaten Kebumen dan 500 liter untuk Kabupaten Purworejo. 700 liter air yang dialirkan ke Kabupaten Kulon Progo tersebut, sebanyak 200 liter diprioritaskan untuk Bandara Yogyakarta International Airport (YIA). Prioritas perolehan air ini tak lain dan tak bukan demi memperlancar dan menumbuhkan aktivitas pariwisata dan perekonomian di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Namun perkiraan itu berbalik dengan laporan Komisi Dunia Untuk Bendungan yang mana menyebutkan bahwa sekitar 45.000 bendungan besar yang dibangun di dunia telah merugikan kaum miskin dan malahan gagal memasok daya listrik dan irigasi sebagaimana direncanakan. (https://projectmultatuli.org/tanah-surga-wadas-dijadikan-tambang-mengapa-pemerintah-menindas-petani/)  Oleh karena itu, sungguh salah apabila proyek tersebut masih getol untuk dilancarkan.

Penutup

Dari uraian yang dipaparkan di atas kita telah mengetahui logika apa yang bekerja di balik proyek pertambangan batu andesit demi pembangunan bendungan. Melalui konsep akumulasi lewat penjarahan David Harvey sebagai modifikasi atas akumulasi primitif Marx, kita akhirnya paham bahwa akumulasi primitif bukan saja momen sejarah kelahiran kapitalisme, melainkan sesuatu yang harus ada apabila akumulasi modal ingin dilancarkan.

Apalagi dalam era neoliberalisme ini di mana privatisasi kian ditotalisasi. Akumulasi lewat penjarahan tak bisa dielakkan untuk tidak dilakukan. Namun, selalu ada kekerasan dan pemaksaan dalam proses itu. Itulah yang terjadi dalam proyek pertambangan batu andesit di Wadas. Warga Wadas mendapatkan perlakuan semacam itu dari aparat kepolisian.

Walaupun demikian, mereka tak pernah kenal menyerah untuk mempertahankan hak hidupnya. Apa yang mereka lakukan bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga anak-cucu mereka di masa yang akan datang.

Mereka bahkan sempat meminta dukungan agamawan dengan mengunjungi kantor PBNU. Para ulama yang menjadi pimpinan dalam ormas terbesar di Indonesia mengatakan siap mendampingi dan menjembatani komunikasi antara warga Wadas dengan pemerintah (https://www.nu.or.id/nasional/kaleidoskop-2022-perlawanan-warga-wadas-tolak-tambang-andesit-dan-keberpihakan-pbnu-ywpgR). Di sini kita patut untuk berharap bahwa apa yang mereka lakukan bisa semaslahat mungkin. Mereka dapat melakukan pemihakan atas nama kemanusiaan demi kesejahteraan warga Wadas. Suatu harapan yang tertulis sangat indah di akhir puisi Mahmoud Darwish berjudul “Ia Kembali…Dalam Kain Kafan:

Wahai teman-teman yang pergi Jauh

Jangan banyak bertanya

Tapi tanyakanlah kapan

Para tokoh akan bangkit dari tidurnya?