Forma– Dewasa ini publik dikagetkan dengan adanya korban yang jatuh atas tragedi suporter yang menyeret Haringga—salah satu supporter Jakmania. Haringga dihakimi oleh oknum Bobotoh, lantaran diketahui berasal dari suporter Jakmania yang notabenenya memiliki rivalitas tinggi dengan Bobotoh. Sungguh ironi, rivalitas yang seharusnya terjadi di lapangan sepak bola harus berbuntut pada kekerasan personal. Jakmania yang minoritas saat melakukan tandang ke bandung telak mendapatkan perlakuan yang semena-mena dari Bobotoh yang minoritas. Hal ini mendorong persepsi publik untuk menjadikan maklum, persaingan antara salah satu kubu mayoritas dengan minoritas mengakar hingga sendi kehidupan.
Persoalan mayoritas dan minoritas tidak hanya terjadi disuporter sepak bola saja. Bahkan di kalangan mahasiswa, terutama yang aktif dalam organisasi ekstra kampus juga dihinggapi oleh virus fatal tersebut. Spirit mayoritas mengilhami bentuk hegemoni dan intimidasi terhadap organisasi minoritas, baik secara fisik atau pun non fisik. Seperti halnya organisasi ekstra kampus, yakni sebuah wadah yang seharusnya dijadikan ajang ekspresi bagi kalangan mahasiswa berubah menjadi momok yang menakutkan. Jika dari salah satu organisasi kampus berhasil menduduki jabatan seperti DEMA (Dewan Eksekutif Mahasiswa), akan melakukan intimidasi nilai yang dimiliki. Dan sebaliknya organisasi ekstra kampus yang minoritas acap kali menerima perlakuan yang tidak sesuai, seperti halnya dipersulitnya pembukaan stand penerimaan anggota baru organisasi ekstra kampus yang minoritas. Tidak berhenti pada penyempitan ruang gerak organisasi ekstra minoritas, praktik nepotisme golongan juga menjadi nota jelas intimidasi selanjutnya.
Miris memang, nilai idealisme mereka yang menjadi acuan dalam meletakkan pondasi moral sosial dalam berorganisasi harus ditukar dengan gengsi kelompok. Seperti halnya PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) yang mempunyai masa besar khususnya di UIN Sunan Ampel Surabaya dan HimpunanMahasiswa Islam (HMI) yang mempunyai masa besar di UNAIR dan UNESA. Mereka akan melakukan hegemoni nilai terhadap kalangan minoritasnya. Dengan ribuan argumen yang membenarkan tindakan mereka, dirasa hanya akan menambah rentetan intimidasi diranah universitas.
Mereka yang berposisi sebagai kaum mayoritas tidak seharusnya bertindak respresif terhadap kalangan minoritas. Karena hal tersebut akan melahirkan gesekan dalam realitas sosial dan berujung pada rivalitas dengan tensi cukup tinggi. Praktik intimidasi tersebut seharusnya dihilangkan, lantaran bila kita mengaca pada buruknya pergesekan antara mayoritas dan minoritas yang berujung pada jatuhnya korban. Toh mayoritas yang telah menjadi basis masa tak harus repot-repot sampai melakukan monopoli terhadap minoritas pada pelbagai hal yang bias mengantarkan pada pergesekan.
Ada hal unik memang bila kita mengamati tentang realitas yang terjadi, seperti ada ketimpangan mayoritas dan minoritas melalui semangat hegemoni nilai yang berbeda. Lebih jauh permasalahan di atas bila kita tarik pada analogi hegemoni Gramsci akan kita temui sebuah benang merah atas problematika mayoritas-minoritas antara organisasi ekstra kampus tersebut. Gramsci merumuskan terjadinya dominasi mayoritas adalah ketika golongan tertentu berhasil menguasai pranata pemegang kebijakan yang dalam hal ini Gramsci memiliki subjeknya yakni (government) dan setelah menduduki posisi tersebut maka dominasi secara otomatis bisa dimainkan. Benar saja ketika salah satu organisasi ekstra kampus berhasil memegang kedudukan DEMA (pemangku kebijakan) maka ia akan bisa melakukan dominasi terhadap minoritas. Dan organanisasi ekstra kampus yang minoritas hanya mengikuti alur dari kebijakan mayoritas.
Murahan memang, mahasiswa memegang marwah mobilitas sosial, sibuk terbelenggu konflik mayoritas-minoritas yang akan berujung pada pengkerdilan mental mahasiswa sendiri. Seharusnya mahasiswa yang tergabung pada organisasi ekstra kampus lebih bijak lagi dalam memposisikan diri sebagai kalangan yang mempunyai basis masa yang banyak dan diarahkan kepada yang lebih baik. (Akbar Arry Syaifulloh/SAA)