doc.google

Beberapa dekade terakhir, term Kiri dalam berbagai ruang-ruang yang menjadi komponen birokrasi pemerintah dianggap sebagai  instrumen pergerakan yang wajib dibumihangsukan dari muka bumi. Seolah-olah istilah Kiri adalah iblis yang menjadi musuh besarnya umat manusia. Padahal, Kiri merupakan konsep anti-kemapanan; menolak adanya sebuah tatanan baku dengan ide-ide yang berciri-ciri khas revolusioner dan reaksioner.

Kiri adalah aktif, asas menghancurkan pasif. Kiri adalah transformatif, asas merobohkan konservatif. Kiri adalah kesangsian, asas yang mencurigai kemujuran. Kiri adalah harapan yang ada di depan, yang diimpikan sekaligus yang kerapkali dicaci oleh Kanan sebagai sikap kekanak-kanakan.

***

Jazirah Arab pada abad ke-5 M terkenal dan dikenal sebagai kawasan Jahiliyah, lantaran mayoritas penduduknya tak lagi mengindahkan nilai-nilai sosial. Moralitas dan etika hamunisme nyaris terkikis habis, budaya patriarki dan politik partikular marajalela, hegemoni militer dan kekuasaan telah mencapai titik kulminasi, menumpuk pundi-pundi harta sebanyak-banyaknya sebagai ajang paling bergengsi, buruk dan baik sudah bercampur menjadi satu… abu-abu.

Di tengah-tengah semrawutnya zaman tersebut, lahirlah si jabang bayi dari rahimnya seorang perempuan bernama Siti Aminah r.a: Muhammad. Bayi tersebut merupakan simbol dekontruksi zaman yang ditandai dengan luluh lantaknya raja Abrahah beserta bala tentaranya saat hari-H kelahirannya hendak menghancurkan Ka’bah. Bayi itulah simbol terbitnya matahari yang seiring dengan terbitnya mata hati dengan warta-warta rahmatan lil ‘alamin atau memayu hayuning bawono. Dan, bayi sebuah bukti tumbuh suburnya benih-benih Renaissance—sebuah gerakan hijrah bercorak antroposentris yang mana bisa dilihat visi-misi utama kenabiannya yaitu, mengentaskan manusia dari defisit moral.

Singkat kata, kelahiran Nabi Agung Muhammad SAW yang bertepatan pada Tahun Gajah (al-Fiil)  atau dapat diinterpretasikan sebagai tahun imprealisme dengan sistem kebudayaan dan peradaban yang berkarakteristik konservatif-primitif, opresif-otoritatif, manipulatif-ekskursif adalah konfigurasi kongkrit atas istilah Kiri itu sendiri.

***

Nabi Muhammad, dalam common sense umat Islam dunia, merupakan sosok revolusioner sejati yang melawan struktur ketidakadilan yang telah mapan. Uraian singkat itu dapat dilacak dalam bukunya Syed Ameer Ali (1849-1928) dalam The Spirit of Islam (1891) atau versi terjemahan berjudul “Api Islam: Sejarah evolusi dan cita-cita Islam dengan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW” (Alih bahasa: Djamadi. Jakarta: PT Pembangunan, 1966). Kobaran perang ideologis di tanah Hijaz adalah lonceng keruntuhan kekuasaan yang mendominasi dan menghegomoni orang-orang lemah (mustadh’afin).

Sebab, kemenangan orang-orang mustakbirin (borjouis) kala itu menyebabkan kelas proletar meyakini apa yang sedang mereka alami adalah sesuatu yang nyata (obvius) dan harus diterima tanpa protes (natural). Atas nama banyak tuhan, mereka terus melegitimasi ide tersebut seraya mengatakan, The earth was made by God!” (apa yang terjadi di bumi ini adalah ketentuan Tuhan).

Pada konteks sejarah, maka kita akan menikmati seni perang ideologi dan kekuasaan yang eksotis dicontohkan Nabi. Paham politeisme bangsawan arab dihantam dengan ideologi monoteisme rumusan Muhammad dengan syarat mengucapkan dua kalimah Syahadah (kesaksian dan persaksian). Menurut Syed Ameer Ali, konsepsi ideologis tersebut tidak serta-merta take for granted dari langit. Akan tetapi, ia merupakan satu kesatuan proses sejarah dan pergulatan ideologis-spiritual Nabi yang telah dia peroleh sejak masa kanak-kanak hingga dia berhasil meletakkan dasar-dasar kehidupan masyarakat tanpa kelas dan yang membedakan hanyalah iman dan ketakwaan.

***

Agar tulisan terlihat lebih riil, penulis berpendapat bahwa selain Nabi Muhammad SAW merupakan sang revolusioneris sejati, yang mana di dalam Dialektika-Historisnya Karl Marx (1818-1883). Beliau digambarkan sebagai kaum proletar yang mengobrak-abrik sistem-sistem kemapanan kaum borjuis dan kapitalis melalui gerakan kasih-sayang terhadap semua elemen masyarakat.

Nabi Muhammad SAW, dalam memakai kacamatanya Nietzsche (1844-1900), adalah representasinya Ubermensch—sosok pluralisme; yang menolak narasi tunggal dan kebenaran-kebenaran absolut yang dibentuk oleh rezim lalu dipercayai oleh masyarakat yang berakibat terjadinya dekadensi kemanusiaan.

Selain itu, beliau merupakan wujud kongkrit atas falsafah Jawa karangannya Raden Panji Sosrokartono (1877-1952), “Sugih tanpo bondo, digdoyo tanpo aji, ngulurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake, trimah mawi pasrah, sepi pamrih tebih ajrih, langgeng tanpo susah, tanpo seneng, antheng mantheng, sugeng jeneng.”

 

Allahumma Sholli ‘Ala Sayyidina Muhammad.

*Fauzi ’18