Penulis: Sabitha Ayu Nuryani

Dewan Redaksi LPM Forma

 

Sumber: google.com.

Di Gresik, ada sebuah pulau kecil bernama Bawean yang terletak di Laut Jawa, lebih tepatnya berada di antara dua pulau besar yaitu Pulau Borneo (Kalimantan) di sebelah utara dan Pulau Jawa di sebelah selatan. Lokasinya berjarak 120 km sebelah utara Gresik dan secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Gresik. Nama Bawean berasal dari bahasa Sansekerta, yang bermakna “ada sinar matahari”. Pulau tersebut meliputi dua kecamatan yakni Sangkapura dan Tambak. Bawean memiliki nama lain yakni Pulau Putri.

Walau dikategorikan sebagai pulau kecil, Bawean tidak termasuk pulau terpencil di Indonesia karena jalur komunikasi dan informasinya sudah lancar sebagaimana daerah-daerah yang sudah maju lainnya. Di sana juga sudah tersedia fasilitas pendidikan yang cukup baik bahkan pendidikan Islam juga sudah ada sejak awal masuknya Islam di pulau tersebut. Awalnya, pendidikan Islam di Bawean terbentuk melalui hubungan keluarga, kemudian dibangunlah tempat ibadah yang masih tradisional seperti langgar dan masjid, hingga yang lebih modern seperti madrasah.

 

Perjalanan Panjang Bawean dalam Menyambut Islam

Masuknya Islam ke Pulau Bawean tentu memiliki sejarah tersendiri. Sebenarnya, sebelum agama Islam datang, masyarakat Bawean terbilang sama seperti masyarakat pulau lainnya yang sudah mempunyai kepercayaan dan agama masing-masing. Kepercayaan di masa itu dikenal dengan sebutan animisme atau dinamisme dengan agama Hindu dan Buddha. Rupanya, Islam disebarkan di pulau tersebut dengan hadirnya Syaikh Fakhrudin di Pakalongan, Sayyid Rafi’uddin di Kamalasa, Waliyah Zainab di Ponggo, Maulana Umar Mas’ud di Sangkapura, dan juga Sunan Bonang. Islam datang ke Bawean sekitar abad ke-15 (lebih tepatnya tahun 1501 M) dan meluas di tengah masyarakat pada abad ke-16. Kala itu, bahkan berdiri sebuah pemerintahan Islam di Bawean yang dipimpin oleh Maulana Umar Mas’ud sebagai raja (beragama) Islam. Dan Islam tersebar luas hingga mendominasi Bawean sejak masa Maulana Umar Mas’ud.

Pendidikan menjadi hal yang paling disorot oleh para pendakwah sejak Islam mulai berkembang di Bawean, karena pendidikan dapat memberi maslahat terbesar dalam penyebaran Islam.

Pada saat pendidikan Islam di Bawean masih diselenggarakan secara tradisional, masyarakat setempat menyebut tempat pendidikan Al-Qur’an dengan nama ngaji langgaran, sementara para muridnya disebut ngaji Qur’an. Saking pentingnya pengajian Al-Qur’an bagi mereka, mereka sampai memiliki anggapan: kalau orang Bawean tidak bisa membaca Al-Qur’an, maka hal itu akan menjadi aib bagi diri serta keluarganya. Sehingga, lembaga ngaji langgaran tersebar luas di mana-mana setelah Islam menjadi dominan di Bawean.

Di Bawean, belajar Islamnya seseorang dimulai terlebih dahulu dari rumah. Maksudnya yaitu dimulai dari keluarga terdekat yang kemudian menyebar dari mulut ke mulut seperti ke tetangga hingga masyarakat pada umumnya. Maulana Umar Mas’ud termasuk satu dari tiga penyebar Islam masa awal di Bawean, yang mengajarkan tentang Islam dimulai dari rumah. Materi yang fokus disampaikan dalam pengajaran macam ini adalah tauhid, fiqh (tata cara salat, wudu, puasa), dan membaca Al-Qur’an. Namun, dalam hal ini, saat itu pembelajaran baca Al-Qur’an hanya ditujukan untuk lancar membaca saja, belum sampai ke tingkat pemahaman (makna dan tafsirnya), dan dimulai dari belajar membaca huruf hijaiyyah.

Setelah dari rumah, tempat selanjutnya yang digunakan masyarakat setempat sebagai tempat belajar agama yakni langgar atau bahasa mudahnya mushalla (surau). Sistem yang dipakai sangat tradisional. Dan hampir di semua kampung di Bawean memiliki setidaknya satu langgar. Materi yang dipelajari adalah penyampaian ajaran-ajaran Al-Qur’an dan juga amalan ibadah yang bisa dikerjakan baik oleh anak-anak maupun orang dewasa.

Kemudian, tempat lainnya untuk masyarakat Bawean belajar agama tentu adalah masjid dan pesantren. Masjid pertama yang dibangun adalah Masjid Jami’ Sangkapura. Namun, masjid di sana hanya menjadi tempat salat berjamaah, pengajian, dan majelis peringatan hari besar Islam; tak begitu menjadi pusat pendidikan Islam.

Sedangkan pesantren, muncul untuk menjadi tahap pembelajaran Al-Qur’an lanjutan dari rumah dan langgar. Pesantren juga muncul setelah timbulnya masalah kekurangan tempat tinggal bagi para murid pendatang yang semakin ramai belajar di Bawean. Maka muncullah ide pembuatan rumah-rumah kecil di sekeliling rumah seorang guru, yang akrab disebut pondok.

 

Mengenal Sosok Maulana Umar Mas’ud

Nama asli dari salah seorang tokoh ulama penyebar Islam paling berpengaruh di Pulau Bawean tersebut adalah Pangeran Perigi atau Sayyid Maulana Ahmad Sidik. Nasab beliau yakni cucu dari Sunan Drajat (Sayyid Zainal ‘Alim), serta anak kedua dari Susuhunan Mojoagung (putra tertua Sayyid Zainal ‘Alim). Mulanya, Pangeran Perigi datang ke Madura bersama saudaranya, Pangeran Sekara yang kemudian menetap dan berkeluarga di Arosbaya, Madura.

Sementara itu, Pangeran Perigi melanjutkan perjalanan ke arah utara dan sampailah di Bawean dengan mendarat di Dusun Komalasa. Setelah tiba, beliau tidak ujug-ujug menawarkan masuk Islam dan mengajarkannya, namun melakukan pendekatan terlebih dahulu kepada penduduk setempat dengan keramahannya.

Di permulaan abad ke-16, Raja Babileono yang menguasai Kerajaan Bawean di daerah Sungai Raja-Bawean menantang Maulana Umar Mas’ud untuk adu kesaktian. Raja Babileono menganggap beliau sebagai musuh kerajaan karena berusaha memengaruhi rakyatnya untuk masuk Islam dan meninggalkan kepercayaan lama mereka, animisme. Namun Maulana Umar Mas’ud berhasil menaklukkan raja tersebut dan menggantikan posisinya di kerajaan. Sehingga, beliau merangkap tindakan di tengah masyarakat Bawean yang mana sebagai raja sekaligus mubalig yang mengajarkan dan menyiarkan agama Islam.

Tak lama kemudian, pusat pemerintahan kerajaan yang mulanya ada di Desa Lebak dipindahkannya ke Sangkapura. Beliau akhirnya wafat pada tahun 1630 M, dan jasadnya dikebumikan di belakang Masjid Jami’ Sangkapura.

 

Referensi: