Penulis: M. Akbar Darojat Restu

Editor: Azilatul Husna

Artikel yang ditulis oleh Yugin Nagasawa dan diterjemahkan dengan bernas oleh Samuel Jonathan tersebut patut diapresiasi karena telah menyodorkan persoalan langka tentang kejahatan dalam kaitannya dengan eksistensi Tuhan. Sebagaimana kita tahu, persoalan kejahatan seringkali digunakan sebagai senjata oleh kaum ateis untuk melawan kaum teis. Argumen yang dikemukakan oleh penganut ateisme kurang lebih begini: “apabila Tuhan Maha Kuasa, Maha Adil dan Maha Baik, lantas mengapa ada kejahatan di dunia ini? Toh juga apabila dibayangkan, kejahatan jauh lebih besar daripada kebaikan yang ada di dunia ini? Dan mesti diingat, ironisnya bila dilihat secara sekilas orang yang jahat seringkali hidup lebih enak, makmur serta panjang umur daripada orang yang baik.

Konon, persoalan pelik ini yang seringkali mendorong orang teis beralih menjadi ateis. Kebanyakan orang teis memilih diam, kelimpungan untuk menjawab atau jika bisa menjawab, maka kurang memberikan dasar-dasar yang dapat diterima common sense. Itulah penyebabnya.

Para filosof seringkali mengklaim bahwa persoalan ini merupakan tantangan terbesar yang dihadapi oleh orang yang masih percaya kepada Tuhan. Namun, Franz Magnis Suseno mempunyai pendapat lain. Baginya, persoalan penderitaan jauh lebih besar daripada persoalan kejahatan.

Di dalam sub bab bukunya yang berjudul Menalar Tuhan, ia berusaha untuk mengeksposisi terminologi “kejahatan” sejelas mungkin sebelum mengapologi teisme. Kejahatan secara luas diartikan bukan hanya sebagai perbuatan tidak baik yang keluar dalam diri manusia atau kelemahan seseorang akibat mengikuti godaan hawa nafsu, emosi atau rasa dendam yang spontan, melainkan perbuatan yang benar-benar menolak suara hati nurani. Dengan kata lain, orang tega membunuh, mencuri uang rakyat atau menyiksa orang lain karena suara yang berdenyut dalam hati nurani benar-benar dinafikan secara absolut. Singkatnya, kejahatan adalah kehendak mutlak seseorang untuk tidak berbuat baik.

Secara esensial, Tuhan sebagai sosok yang Maha Baik, tentu saja tidak mentolerasi adanya kejahatan. Kebaikan harus ditegakkan secara mutlak yang karenanya dan hanya karenanya kejahatan harus juga disingkirkan secara mutlak. Inilah slogan yang biasanya digumamkan dalam kitab-kitab suci atau hati nurani, yang menurut Agustinus sebagai representasi paling dekat dari Tuhan. Namun, mengapa Tuhan yang katanya memiliki kekuasaan Tak Terbatas justru tak mencegahnya dan malah membiarkannya?

Magnis Suseno menjawab bahwa adanya kejahatan tidak lantas kemudian membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Yang melakukan kejahatan adalah manusia dan bukan Tuhan. Tuhan mengizinkan itu terjadi, sekalipun Ia secara hakiki menolaknya. Di sinilah hal yang perlu diingat. Tuhan mengizinkan kejahatan karena merupakan konsekuensi logis dari hukum penciptaan manusia itu sendiri.

Sebagaimana sering dikatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi guna memahami-Nya dan segala ciptaan-Nya yang terbentang dari bumi hingga langit. Nah, makhluk berakal budi juga berarti makhluk yang bebas. Tuhan tidak mau menciptakan manusia layaknya robot yang dapat dikendalikan semaunya karena selain otoriter, hal tersebut juga tidak bernilai sama sekali. Sehingga, kebebasan yang diberikan oleh Tuhan justru merupakan wujud cinta kasih yang Ia berikan. Namun, dengan begitu, alih-alih digunakan untuk memahami cinta kasih-Nya, kebebasan tersebut terkadang digunakan oleh manusia untuk melakukan kejahatan. Maka, tergantung pada manusia bagaimana merealisasikan cinta kasih itu.

Lantas, sekali lagi kaum ateis bertanya, mengapa manusia mau melakukan kejahatan? Mengapa manusia rela menolak hati nuraninya dan berhasrat melakukan kejahatan? Magnis Suseno menjawab bahwa orang yang bertekad melakukan kejahatan adalah orang yang ingin memutlakan dirinya dalam keterbatasannya. Orang yang mau mendewakan diri dalam unsur-unsur insan yang merengkuhnya. Ia adalah orang yang tak mau menuruti untaian kata masyhur Yunani yang terpancang di Kuil Delphi: Gneauti Sauton, Meden Agan (Kenalilah dirimu sendiri, dan jangan berlebihan). Maksudnya, manusia mesti kenal dan tahu bahwa dirinya bukanlah hewan dan bukan pula dewa.

Jadi, manusia dituntut untuk menggunakan akalnya agar tidak seperti hewan. Namun, manusia mesti sadar, rendah hati dan tahu diri dalam ketakterbatasan yang ada di alam semesta ini. Manusia tak akan mungkin mampu menjangkau seluruh hal yang ada di alam semesta ini, baik yang sifatnya imanen maupun transenden. Maka, manusia harus menjadi makhluk yang tahu batas di hadapan Yang Tak Terbatas. Dalam konteks ini, maka manusia yang melakukan kejahatan adalah manusia yang melawan Tuhan. Tak salah apabila orang-orang beragama mengamini bahwa orang yang bertahan dalam kejahatannya, tak akan dapat menerima keselamatan abadi di sisi-Nya (Magnis Suseno, Franz: 2006, 218-219).

Akan tetapi, dalam artikel yang berjudul Masalah Kejahatan Bagi Ateis ini, kita akan disuguhi problema kejahatan yang jauh lebih rumit dalam wilayah ketuhanan. Dalam konteks ini, kejahatan tak dipahami dalam sistem antroposentris, melainkan biologis. Secara jelasnya dapat dikatakan bahwa kejahatan bukanlah perbuatan tidak baik yang diakibatkan oleh tendensi manusia untuk melawan hati nuraninya sebagaimana dipahami oleh Magnis Suseno, melainkan sistem yang mengkonstitusi atau hukum yang sudah mendarah daging di alam semesta ini.

Dalam arti tersebut, kejahatan juga bukanlah peristiwa negatif yang muncul secara spesifik dalam konstelasi sejarah manusia—yang dengan mudah akan diinjak habis-habisan melalui konsep teodisi Leibniz—melainkan sistem kejam dan penuh penindasan yang mengatur, mengendalikan dan membentuk spesies-spesies yang ada di alam ini.

Sudah jauh-jauh hari Charles Darwin menjelaskan bahwa seleksi yang dijalankan oleh alam untuk menemukan spesies yang kuat, bagus dan bermutu tinggi sangatlah kejam. Kebutuhan pangan yang disediakan oleh alam tak sebanding dengan jumlah seluruh populasi yang ada. Tak ayal setiap jenis makhluk hidup saling berkompetisi—entah diwujudkan dengan cakar-mencakar, terkam-menerkam atau bahkan bunuh-membunuh—demi melestarikan keturunannya. Mereka yang kuat bertahan dan mereka yang lemah tersingkirkan! Itulah hukum alam. Altruisme hanyalah omong kosong belaka apabila dihadapkan dengan hukum ini. Egoisme dan sikap mau menang sendiri adalah dua hal logis yang mesti dilakukan untuk mempertahankan diri.

Darwin juga menceritakan terlalu banyak kekejaman dan kesengsaraan yang terjadi di alam ini. Ia mengambil contoh Ichneumonidae, keluarga tawon parasit, yang melumpuhkan belalang dan ulat tanpa membunuh keduanya. Tubuh ulat dan belalang itu akan dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan telur. Setelah menjadi tukik, mereka akan memangsa tubuh itu dalam keadaan hidup.

Orang mungkin bisa membantah bahwa kedua binatang itu tak mempunyai kemampuan kognitif dan sensorik yang bagus sehingga tak dapat merasakan sakit. Baiklah, kita ambil contoh hewan yang mempunyai kesadaran. Sekarang perlu ditanyakan, berapa banyak tikus yang mati secara mengenaskan oleh keganasan kucing? Berapa banyak rusa yang mati secara menyakitkan oleh terkaman singa atau macan?

Karena itu, surat yang ditujukan Darwin kepada Asa Gray pada tanggal 22 Mei 1860 melukiskan kesedihan teologis:

“Sehubungan dengan pandangan teologis dari pertanyaan yang ada saat ini selalu menyakitkan bagi saya.— saya bingung— saya tidak memiliki niat untuk menulis secara ateistik. Tetapi saya harus mengakui kalau saya tidak dapat melihat sejelas yang orang lain lakukan dan seperti yang saya ingin lakukan, bukti desain dan kebaikan di sekitar kita. Sepertinya ada terlalu banyak kesengsaraan di dunia ini. Saya tidak dapat meyakinkan diri saya sendiri bahwa Tuhan yang Maha Pemurah dan Maha Kuasa akan dengan sengaja menciptakan Ichneumonidae dengan maksud untuk membiarkan mereka makan dari dalam tubuh ulat yang hidup, atau bahwa kucing harus bermain-main dengan tikus”

Alam adalah kandang kecil yang dihuni oleh banyak makhluk hidup dengan sumber daya yang terbatas. Secara instingtual, setiap makhluh hidup akan saling mengukuhkan dirinya dengan berbagai cara dan strategi guna memperoleh sumber daya yang terbatas itu. Tak mengherankan apabila filsuf Holmes Rolston III pernah berpendapat bahwa alam ini memang tak pernah mengenal dosa, namun berapa banyak daftar kejahatan yang telah dilakukan oleh alam: penderitaan, kematian, parasitisme, pemborosan dll. Bahkan, dalam salah satu wawancaranya, Richard Dawkins, seorang ateis dan eksponen teori evolusi kontemporer, menyatakan bahwa seleksi alam ini sungguh ganas dan kejam sehingga ia berpotensi untuk mengubah dunia ini menjadi lebih baik dengan menghilangkan seleksi alam.

Kejahatan yang dimaksud di sini lebih fundamental dan mendasar karena ia tak menyangkut peristiwa negatif yang pernah terjadi pada fase tertentu perkembangan umat manusia seperti Holocaust, Genosida 65 atau Perang Dunia II, melainkan sekali lagi, keseluruhan sistem biologis yang bergerak secara konsisten di alam ini. Inilah yang disebut dengan “masalah kejahatan sistemik” dan merupakan tantangan terbesar bagi mereka yang masih percaya akan adanya Tuhan.

Optimisme Eksistensial

Sebelum menerangkan lebih jauh masalah kejahatan sistemik dalam hubungannya dengan teisme dana ateisme, alangkah baiknya kita perlu mengintrodusir apa yang disebut dengan optimisme eksistensial.

Dalam wacana teologi, optimisme eksistensial adalah tesis yang mengatakan bahwa dunia ini pada dasarnya adalah tempat yang baik dan kita wajib bersyukur atas kehidupan kita di dalamnya. Optimisme eksistensial seringkali dilekatkan pada para teis karena selalu percaya akan kebaikan dan keindahan yang terdapat di dunia. Sekalipun ada keburukan dan kebobrokan, para teis yakin bahwa Tuhan mempunyai rencana tersendiri yang jauh lebih baik dan tak dapat dipahami oleh manusia sebagai mahkluk yang terbatas. Karena itu, para teis mengekspresikan sikap itu dalam bentuk rasa syukur. Toh juga dalam kitab-kitab suci agama seringkali dilukiskan bahwa dunia ini adalah tempat yang paling indah dan baik dan manusia mesti bersyukur atasnya. 

Ateis, sebagai vis a vis teis, seringkali dicap sebagai orang yang bersikap nihilistik dan pesimistik akan dunia ini. Bagi mereka, dunia ini adalah sarang keburukan, penindasan dan kebencian sehingga tak layak untuk dihidupi. Jika dapat memilih perihal nasib, maka mereka lebih memilih untuk tak dilahirkan daripada memilih hidup dengan menanggung kesengsaraan dan kepahitan. Dalam konteks perkembangan populasi di alam ini yang semakin membludak, mereka berpikiran untuk menggenjot titik pertumbuhan makhluk hidup hingga titik nol. David Benatar adalah ateis yang berada dalam paham ini.

Namun, apakah ateis selalu berpandangan seperti itu? Apakah ateis selalu percaya bahwa dunia ini adalah tempat yang menjemukan dan ke-tiada-an merupakan impian yang berusaha dicapai? Tidak. Di dalam artikel ini justru disebutkan bahwa sedikit sekali ateis yang berpandangan demikian. Banyak ateis yang berusaha menikmati keindahan dunia ini dan merasa syukur atas keberadaan mereka di dalamnya. Rasa syukur yang mereka haturkan tanpa merujuk kepada subjek tertentu yang lebih berkuasa, adalah persoalan yang mesti dipertanyakan.

Ateis yang berada dalam barisan tersebut ialah paul Kurtz, Richard Dawkins dan Greta Christina. Paul Kurtz, filsuf Amerika yang dijuluki sebagai bapak humanisme sekuler beranggapan bahwa orang tetap bisa menikmati kehidupan ini dengan bahagia sembari tetap berpandangan secara naturalistik atas dunia ini. Richard Dawkins dan Greta Christina takjub atas keajaiban di alam ini dan perlu merasa bersyukur atasnya, walaupun sikap tersebut tak ditujukan kepada siapapun.

Namun, patut dicatat bahwa optimisme eksistensial mereka pada dasarnya adalah bentuk lebih maju dari pesimisme. Persisnya, mereka memang menikmati dan merasa bahagia atas kehidupan ini, namun sikap tersebut hanya diletakkan pada taraf ke-aku-an. Sehingga, mereka tak mempertimbangkan bagaimana nasib orang-orang selain mereka. “Yang penting aku bahagia dan tak punya urusan dengan orang lain”, kira-kira begitu slogan mereka

Masalah Eksistensial Kejahatan Sistemik

Masalah kejahatan sistemik seringkali dianggap sebagai tantangan terbesar teisme. Pertanyaan menohok yang diajukan biasanya seperti ini: Jika Tuhan Maha Mulia dan Maha Baik, mengapa harus mengkonstruksi sistem evolusi yang termanifestasi dalam proses seleksi alam secara brutal, keji dan kejam? Sebagai Yang Maha Kuasa, mengapa Tuhan tidak membuat sistem yang adil, tentram dan damai?

Meski demikian, kita dapat merancang dan merumuskan masalah kejahatan sistemik dalam kerangka optimisme eksistensial daripada mengkaitkannya dengan keberadaan Tuhan sebagai sosok yang Maha Sempurna secara moral. Dalam kerangka ini, persoalannya menjadi lain: mengapa kita mesti menganggap dunia ini baik dan penuh kebahagiaan sehingga wajib bersyukur karenanya, apabila keberadaan kita secara fundamental inheren dalam proses evolusi yang mengeksklusi makhluk hidup yang tak terhitung jumlahnya?

Persoalan tersebut menarik karena tak ada sangkut pautnya dengan eksistensi Tuhan, melainkan konfrontasi eksplisit antara optimisme eksistensial dan kejahatan sistemik. Artinya, persoalan ini tak hanya menantang kaum teis, melainkan juga kaum ateis. Sebagaimana sudah disebutkan di muka, banyak kaum ateis yang optimis untuk menjalankan hidup secara bahagia di dunia ini. “Kita memiliki alasan untuk bersyukur atas keberadaan kita yang sangat tidak mungkin, dan proses evolusi yang nampak seperti hukum yang memunculkannya,” ujar sang ateis Dawkins.

Bagaimana mungkin orang bisa tersenyum dan bahagia bila evolusi yang memunculkannya melahirkan rasa sakit dan penderitaan? Di sinilah letak inkositensinya. Optimisme eksistensial akan runtuh apabila dikorelasikan dengan kejahatan sistemik. Adalah ironis apabila orang merasa bahagia dan senang atas kehidupan ini sembari menjustifikasi tumpukan-tumpukan mayat yang menjadi korban atas ganasnya seleksi alam ini.

Orang bisa saja berpikir bahwa persoalan tersebut merupakan paradigma lain dari “paradoks apologi” yang diperkenalkan oleh Jane Thompson. Paradoks apologi ialah ungkapan penyesalan dan permintaan maaf atas ketidakadilan historis yang terjadi, tetapi mengakui mendapatkan keuntungan darinya. Untuk memperjelas ini, saya perlu memberikan contoh:

Kakek anda adalah algojo 65. Ia berangkat ke Salatiga untuk membantai orang-orang PKI. Di sana dia bertemu dengan nenek anda. Ada hubungan kausal antara peristiwa itu dengan keberadaan anda. Sebagai orang yang terdidik dan tahu sejarah, anda menyesal mengapa peristiwa itu bisa terjadi. Anda tergerak hatinya untuk meminta maaf pada para korban setelah peristiwa itu. Namun, di sisi lain, anda senang masih diberi kehidupan. Pada titik ini, optimisme eksistensial tak bisa dipertahankan karena anda menyesal sekaligus senang karena tautan kausal dengan keberadaan anda.

Paradoks apologi ini tak bisa diterapkan pada sistem biologis di alam ini. Terdapat empat alasan yang bisa ditunjukkan:

Pertama, paradoks apologi hanya berfokus pada kejahatan tradisional yang menyangkut peristiwa negatif tertentu dalam historitas manusia, namun masalah eksistensial dalam kejahatan sistemik terkait pada keseluruhan sistem bilogis yang jauh lebih mendasar.Kedua, paradoks apologi berfokus pada kausalitas antara peristiwa sejarah tertentu dengan eksistensi kita. Sedangkan, masalah eksistensial kejahatan sistemik adalah hal yang diperlukan bagi eksistensi kita. Ketiga, paradoks apologi memusatkan persoalan pada ketidakadilan sejarah yang menjadi tanggung jawab manusia bebas, sementara masalah eksistensial kejahatan sistemik adalah sistem biologis yang bukan menjadi tanggung jawab manusia. Keempat, paradoks apologi berhubungan dengan eksistensi individu tertentu, sedangkan masalah eksistensial dari kejahatan sistemik bertalian erat dengan eksistensi dunia dan kemanusiaan secara universal.

Guna mengkonsistensi optimisme eksistensial, Jane Thompson menawarkan pengimajinasian atas dunia yang mungkin. Orang bisa hidup bahagia sembari menyesal dan meminta maaf atas peristiwa buruk yang terjadi, yang memiliki kaitan kausal dengan eksistensi kita, dengan berharap bahwa eksistensi kita terjalin secara kausalitas dengan peristiwa yang tidak buruk.

Namun, apakah tawaran itu sesuai apabila diterapkan pada masalah eksistensial kejahatan sistemik? Sekali lagi tidak! Bagaimana mungkin kita membayangkan dunia tanpa adanya seleksi alam? Kita tak mungkin melepaskan diri dalam rengkuhan evolusi karena ia sudah inheren dalam diri alam itu sendiri, sekalipun kita mencercanya.

Keambrukan Ateisme

Masalah eksistensial kejahatan sistemik adalah persoalan yang dihadapi oleh kaum teis dan ateis karena keduanya percaya pada optimisme eksistensial. Keduanya yakin bahwa dunia ini pada dasarnya adalah tempat yang baik, sekalipun terdapat goncangan-goncangan yang biasanya terjadi. Namun, kaum teis sebenarnya memiliki jawaban yang jauh lebih signifikan daripada kaum ateis. Hal ini tak mengherankan mengingat ontologi keduanya berbeda. Kaum ateis hanya mengakui semesta material ini sebagai sesuatu yang ada. Sedangkan, kaum teis tak hanya mengklaim sesuatu yang ada pada semesta material ini, melainkan juga semesta yanng melampaui atau di balik yang material ini, seperti alam kebangkitan, akhirat, makhluk non-material ataupun Tuhan.

Maka, jika dibayangkan bahwa sebagian besar dunia ini diisi oleh kejahatan, maka kaum ateis harus menanggalkan optimisme eksistensial mereka. Sebaliknya, kaum teis masih dapat memegang optimisme eksistensial karena memilki pembayangan akan dunia lain di balik dunia yang material ini.

Hal itu diperkuat dalam persoalan mengenai standar kejahatan. Kaum teis percaya bahwa mereka yang dijahati dan mengalami penderitaan di dunia ini bukankah akan mendapatkan balasan yang setimpal atau kelahiran kembali dalam wujud yang lebih baik (reinkarnasi). Selain itu, seperti pernah dikatakan oleh Hegel, dengan adanya kejahatan atau penderitaan ini akan memunculkan segi-segi positif yang tak terkira nilainya. Misalnya, pandemi ini memang menimbulkan kematian dan masifnya jumlah orang sakit, namun di sisi lain justru mendorong nilai-nilai positif yakni, pentingnya menjaga alam ini dan menjaga kesehatan.

Sehingga, senjata yang digunakan oleh kaum ateis untuk melawan teisme itu justru berbalik melawan ateisme itu sendiri. Dengan kata lain, kaum ateis justru menggali kubur untuk dirinya sendiri. 

Catatan kritis

Membaca artikel yang berjudul Masalah Kejahatan Bagi Ateis, bagi saya, cukup menyegarkan dan menambah wawasan saya mengenai persoalan ketuhanan. Artikel ini membela habis-habisan teis dihadapan ateis. Argumen-argumen yang disodorkan dalam artikel ini, bagi saya, cukup menyerang dan menggerogoti tubuh ateisme. Karena itu, kita mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam yang dididik menjadi teis, perlu membaca artikel ini guna melawan ateis.

Namun, demi mengembangkan sistem filsafat ketuhanan, agaknya saya perlu mengajukan kritik. Ada dua keberatan yang hinggap di kepala setelah selesai membaca artikel ini: pertama, artikel ini tak membahas mengapa sikap syukur para ateis terhadap kebahagiaan di dunia ini tak ditujukan kepada subjek tertentu yang jauh lebih berkuasa. Artikel ini sempat menyinggung, namun anehnya tak mau membahasnya secara mendasar. Setelah membaca kutipan-kutipan pernyataan dari Richard Dawkins dan Greta Christina, agaknya saya dapat menyimpulkan bahwa mereka memang sombong dan egois. Ini tuduhan yang tidak sembarangan dan tidak moralistis. Sejauh saya memahami mereka berpikiran bahwa alam semesta dan segala isinya ini sudah dari sononya muncul dan kita tinggal menikmati keindahan dan kebahagiannya. Seolah bahwa tiada sosok pengatur dalam jalannya sistem biologis di alam ini. Padahal, selalu ada subjek yang mengatur tatanan agar tertata, tersistematisasi dan konsisten.

Kedua, artikel ini justru tak membahas terlebih dahulu masalah eksistensial kejahatan sistemik dalam kaitannya dengan teisme. Untuk lebih presisinya, ia tak mengeksposisi kaitan antara kebrutalan sistem biologis dengan sifat Tuhan yang Maha Sempurna secara moral. Ia langsung saja meloncat pada pembahasan optimisme eksistensial dengan alasan bahwa tema itu juga dibahas oleh kaum ateis dan teis. Tentu saja ini mengindikasikan bahwa masih ada lubang melongo yang perlu ditutupi.

Terlepas dari kritik itu, artikel ini sungguh bagus dan patut dibaca bagi mereka yang ingin mendalami pemahaman mengenai filsafat ketuhanan.   

Daftar Pustaka                                                                     

Jonathan, Samuel, Masalah Kejahatan Bagi Ateis Bagian I: Kejahatan Sistemik Bagi Teis, dalam https://antinomi.org/masalah-kejahatan-bagi-ateis-bagian-1-masalah-kejahatan-sistemik-bagi-teis/

Jonathan, Samuel, Kontradiksi antara Optimisme Eksistensial dengan Masalah Eksistensial dari Kejahatan Sistemik bagi Teis dan Ateis, dalam https://antinomi.org/masalah-kejahatan-bagi-ateis-bagian-2-kontradiksi-antara-optimisme-eksistensial-dengan-masalah-eksistensial-dari-kejahatan-sistemik-bagi-teis-dan-ateis/

Jonathan, Samuel, Masalah Kejahatan bagiAteis Bagian 3: Kekurangan Ateis dalam Menanggapi Masalah Eksistensial Kejahatan Sistemik, dalam https://antinomi.org/masalah-kejahatan-bagi-ateis-bagian-3-kekurangan-ateisme-dalam-menanggapi-masalah-eksistensial-kejahatan-sistemik/

Magnis Suseno, Franz. Menalar Tuhan, Kanisius: Yogyakarta, 2006