Sumber: Google

Secara umum kita ketahui, pincang diartikan sebagai manusia yang mengalami cacat kakinya, baik dari sejak lahir maupun kecelakaan, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan ketika berjalan. Di dalam KBBI pincang juga diartikan sebagai ketidakseimbangan, tidak sebanding, ada kurangnya dan tidak sebagaimana mestinya. Jika mengacu pada penggelaran Demonstrasi yang dilakukan hampir keseluruhan mahasiswa se-Surabaya pada tanggal 26 September 2019 di gedung DPR Surabaya. Para mahasiswa yang berkewajiban berdiri atau berpijak pada Moral dan Intelektual yang seharusnya seimbang dalam segala tindakannya, justru mengalami cacat intelektual, walau tak keseluruhan namun dominan mengalami hal tersebut. Adanya ketidak seimbangan antara Moral dan Intelektual sehingga bisa kita dikatakan “mahasiswa yang pincang”.

Mahasiswa dikenal sebagai orang yang sedang menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi, dan yang paling umum adalah universitas. Jika menoleh pada sejarah, mahasiswa di berbagai negara mengambil peran penting dalam sejarah suatu negara. Sebagaimana yang telah kita ketahui di Indonesia pada 1965, ribuan mahasiswa berhasil mendesak Presiden Soekarno dengan demonstrasi, untuk mundur dari jabatannya. Dan pada Mei 1998, ratusan ribu mahasiswa berhasil mendesak Presiden Soeharto untuk melakukan hal yang sama. Sudah nampak jelas bahwa, mahasiswa pernah memiliki peran penting terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di sini, para mahsiswa berhasil menggapai tujuannya. yang kemungkinan besar adanya keseimbangan Moral dan Intelektual yang dijadikan pijakan dalam melaksankan Demontrasi.

Moral dan Intelektual menjadi kewajiban para mahasiswa, untuk dijadikan sebagai pijakan dalam melakukan tindakan maupun aktivitas sehari-hari. Secara moral demontrasi tersebut, jika ditinjau dari teori Kontrak Sosial Thomas Hobbes yang mengasumsikan bahwa pemerintahan yang ada di tangan satu orang akan memberikan kebijakan dalam satu pedoman dalam artian permanen dan tidak berubah-ubah. Sebaliknya jika ada perpindahan kekuasaan ke kelompok lain maka akan menimbulkan perpecahan. Teori Kontrak Sosial menurut Thomas hobbes adalah bahwa kekuasaan mutlak berada di tangan penguasa. Tapi jika terjadi suatu pelanggaran yang diakibatkan oleh pemerintah selaku penguasa kepada rakyatnya seperti menyakiti jasmaninya maka dibenarkan adanya penentangan.

Melihat kasus, adanya pelaksanaan demontrasi di Jakarta pada 21-22 Mei 2019 yang menewaskan dua korban, yakni Harun Rasid dan Abdul Aziz. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam Pasal 15 huruf D menyatakan setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari pelibatan dalam peristiwa yang mengandung kerusuhan. Dengan ini secara garis besar yang mengacu pada moral, dapat kita pahami adanya demontrasi yang dilakukan para mahsiswa se-aSurabaya pada minggu lalu, sudah sangat relevan dengan adanya polemik-polemik negara yang ditampakkan pada akhir-akhir ini.

Namun secara intelektual jika ditinjau pada pendapat Sir Francis Bacon, yang menyatakan knowledge is power (pengetahuan adalah kuasa). Yang dimaksud di sini bukanlah bahwa lewat pengetahuan indrawi kita bisa menguasai segalanya, melainkan bahwa pengetahuan indrawi itu bersifat fungsional, dapat dipergunakan untuk kemajuan kehidupan manusia. Pendapat ini bertolak belakang jika melihat demontrasi yang dilaksankan oleh para mahasiswa se-Surabaya mengalami yang namanya cacat intlektual, dari segi orasi, pengkoordinasian massa maupun poster yang ditampakkan secara umum tidak mencerminkan sebagai mahasiswa berpendidikan.

Sebagian orasi yang dilontarkan pada demontrasi tersebut, yang ditampakkan hannyalah ke unggulan universitas masing-masing yang sudah melenceng dengan mengatas namakan ALIANSI MAHASIWA JAWA TIMUR serta di sela-sela orasi sempat terdengar kata kator seperti kata “Jancok”. Sedangkan dari pengkoordinasian masa yang sempat menimbulkan konflik kecil antar mahasiwa, dan barisan yang begitu sembraut, ada yang mundur ada yang maju, dengan ini sudah sangat jelas para Korlap aksi Universitas kurang memberikan intruksi yang tertata satu sama lain di setiap universitas. Dan soal poster yang ditampakkan dominan berisi kata kepentingan pribadi seperti “Ayok melok demo ben gak cuma pasang insta story demo” padahal demontrasi di selenggarkan atas kepentingan rakyat bukan malah untuk updet status. Dan juga poster yang sempat viral berisi kata kotor seperti “Dari pada mikirin RUU mending kentu”.

Apakah itu mahasiswa yang mengaku paham tentang Negara berdasarkan Intelektual? penulis rasa tidak sama sekali, jika seperti itu apa bedanya dengan preman di jalanan yang tak berpendidikan. Dari sini bisa kita katakan sebagian mahasiswa yang mengikuti demontrasi tersebut mengalami yang namanya cacat Intelektual. Karna tidak bisa menyeimbangkan antara moral dan intelektual sebagai dua kaki yang seharusnya seimbang agar bisa berdiri atas kepentingan rakyat dalam melaksanakan demontrasi.

Penulis: Sidul
Nganggui nyamah samaran, yeh kak.