Ada seorang mahasiswi, yang berasal dari kota Angin. Namanya Siti, ia berasal dari keluarga besar Tidak Miskin Kurang Kaya Tapi Sederhana dan Sahaja, ayahnya sebagai pekerja asongan yang menjajakan cita-cita, ibunya sebagai penjaga rumah Bahagia. Ia anak tunggal hasil dari kisah cinta antara ibu dan ayahnya yang kekal. Siti seorang mahasiswi cantik yang memiliki watak sama persis dengan nama kotanya, Angin, berhembus tulus mengelus tubuh yang lepuh penuh luh hingga luluh. Ia kuliah sambil bekerja, tak seperti kebanyakan teman-temannya sebaya setelah selesai ngampus pulang ke kos atau mengikuti serentetan kegiatan ekstra kampus, atau nongkrong di warung kopi. Ia belum memiliki waktu untuk itu semua, sebab baginya bisa kuliah tanpa menunggak SPP saja sudah berkah agung dari Yang Maha Kuasa.

 

Ia ingin menjual makanan atau brand pakaian, namun tak memiliki modal, jatah uang sakunya selama sebulan hanya cukup untuk biaya makannya sehari-hari, belum lagi jika ada tambahan tugas dari dosen yang mendadak dan membuatnya harus merogoh kocek dalam-dalam. Kadang  juga ia berpuasa senin kamis, selain dengan niat menjalankan sunah yang dianjurkan oleh agamanya, tujuan lainnya dia adalah berhemat. Diam-diam ia meniru pekerjaan ayahnya sebagai penjual asongan, bedanya ia menawarkan kesunyian. Hanya dengan kesunyian yang tiap detik demi detik ia olah dengan keluasan jiwa, ia kembali memiliki harapan untuk bangkit dari putus asa. Hatinya telah matang walau hanya sesekali menjadi pemenang dan telah berkali-kali tumbang dihadapan kisah kasih romantika yang biasa ditulis oleh pujangga.

Siti, artinya tanah, simbol tabah dan pasrah. Ia tabah menawarkan kesunyiannya dari kantin ke kantin antar fakultas, dari gang ke gang dalam satu wilayah, dari pintu rumah ke pintu rumah lainnya. “sunyi sunyi, satu bungkus seharga keikhlasan hati…. mas, sunyi mas… untuk bekal menulis puisi…. mbak sunyi mbak, konsumsilah sunyi mbak, agar duka dan bahagia dirasa sama…”

 

Ketika menawarkan barang dagangannya tersebut, Siti tak jarang menjadi bahan pokok dari ajang gosip yang di selenggarakan oleh temannya, “sunyi kok di jual”, “sunyi kan kata lain dari sepi? Hiiih apa-apaan sih ni orang”, atau “dasar orang miskin, gak punya modal bikin usaha malah jualan sunyi, sampah!!”. Namun Siti tetap pasrah, ia tahu bahwa ia dengan temannya memang dari nasab sunyi yang berbeda. Ia juga tak marah, bahkan ia kasihan, betapapun bersikeras menolak sunyi, toh pada akhirnya suatu saat nanti satu-satu dari mereka semua juga akan dipeluk dan memeluk sunyi. Jauh-jauh hari sebelum ia memulai berdagang, ia sudah menerka-nerka lika-liku yang akan ia dapatkan di jalan bisnisnya tersebut, ia mempersiapkan semua alat-alatnya sepuisi mungkin dan telah siap menanggung segala bentuk ancaman duka nestapa.

 

Hari-hari ia lewati dengan santai seperti di pantai. Siti, dengan keluasan jiwa yang membentang melebihi cakrawala tak kenal putus asa menjajakan bungkusan sunyi miliknya. Setiap pagi buta dengan embun yang bening, Siti membuka lapak kecil di halaman fakultas tempatnya kuliah, dengan hanya cukup beralas koran, dagangannya telah dipamerkan untuk dijual kepada seluruh mahasiswa/i yang sedang berlalu-lalang disekitar situ sambil berteriak “mas mbak monggo menikmati sunyi…”. Namun, tiba-tiba dari arah gerbang kampus, ada seorang wanita membalas terikannya Siti. “Mbaaaakk!! Mbak Siti… saya beli kesunyiannya. Hmm. Ini penting buat kehidupan saya.” Kata wanita tersebut dengan gelang emas melingkar di lengannya dan kalung melingkar di leher jenjangnya, dengan tas jinjing yang harganya lebih mahal dari ginjal si perempuan penjual kesunyian itu dan dengan memakai sepatu jinjit yang harganya lebih mahal ketimbang ratusan sendal jepit yang dipakai oleh Siti. Wanita itu barangkali seorang dosen yang sudah terlampau lama merasakan hampa. Siti senang sekali, bola matanya memancarkan sinar kemenangan, senyumnya yang menggelincir dari bibirnya yang merah nampak menyiratkan rasa syukur kepada Sang Pemberi Kehidupan. Lebih-lebih kalau kesunyiannya yang ia jual itu diborong semua.

”Syukurlah, kesunyianku laku semua.” Gumamnya sambil mendongak ke langit. Ke arah di mana tak ada rasa sakit. Kalau sudah seperti itu, ia tidak peduli lagi kalau menjual kesunyiaan haruslah menengadahkan tangan terus menerus sambil memelas. Ia tidak peduli itu. Yang penting dapat uang dan esok hari ia bisa makan.

 

Suatu hari yang telah ditentukan oleh Tuhan, Siti tidak lagi punya kesunyian. Ia tidak tahu kenapa kesunyian tidak mengunjunginya. Apakah kesuciannya sunyi merasa dilecehkan karena telah diperjualbelikan? Apakah kesunyian sudah bosan sebab terlalu lama mendatanginya? Tetapi, Siti tidak terlalu menghiraukan hal itu. Sebab, kehidupannya serta biaya kuliahnya sudah tercukupi meskipun sekarang menjadi mahasiswi ‘pasif’. Tidak lagi menjual kesunyian demi kesunyian. Intinya, ia sudah tidak lagi punya beban.

”Ya Tuhan, terima kasih. Aku sudah gembira hari ini.” Gumamnya dalam hati.

Di samping itu, Siti mengingat kehidupannya hari-hari terakhir ini. Ya, ia begitu bahagia. Makan tidak lagi kebingungan harus mencari uangnya dari mana. Uang telah menanggung kehidupannya.

Ketika ia berjalan ke kampus hendak kuliah, teman-temannya yang biasa membeli kesunyiaannya dan teman-temannya yang mencibir pada bertanya kenapa ia tidak bakul sunyi lagi? Siti menjawab sambil tersenyum, aku sudah bergembira.

 

Lama-lama, uang yang disimpan Siti itu habis. Ia kembali bersedih sebab esok tak lagi bisa membeli makanan, tagihan uang kos juga uang SPP. Ia lalu masuk ke ruang raung untuk mengumpulkan lagi kesunyiannya. Sedikit demi sedikit. Sakit demi sakit. Ketika kesunyiaan itu terkumpul, ia bisa berdagang lagi.

”Sunyi sunyi sunyiiii…. murah sekali” Ucap Siti lirih. Kakinya mengitari sudut-sudut kampus. Kemudian menyusuri jalan kecil. Kemudian menyusuri jalan besar. Kemudian di perempatan jalan, tepat di sekitar lampu merah yang berada di utara kampusnya. Tetapi, sebelum ada yang membeli dagangannya, tiba-tiba orang-orang berseragam menangkapnya dan membawanya ke dalam mobil. Di mobil itu, sebelum benar-benar mengerti apa masalahnya, ia tahu, tidak hanya dirinya saja ternyata yang menjual perkara sunyi. Ada anak-anak kumal, nenek yang kakinya hilang satu, bapak-bapak tidak punya tangan, banci kaleng, ibu-ibu membawa anaknya, semuanya menjual sunyi namun dengan nasib yang berbeda dan mereka berkumpul di mobil ini. Mobil yang entah akan menuju ke mana?

Moksa…

 

 

UIN, 7/11/2018

DarahKopi