sumber: Google

 

Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat baca berdasarkan riset yang dilakukan oleh Studi Most Littered Nation in the World 2016. Angka ini menunjukkan betapa sangat rendahnya minat baca masyarakat Indonesia dibandingkn negara-negara lain. Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ini diamini oleh Perpustakaan Nasional, dari data yang mereka peroleh pada tahun 2017, frekuensi baca orang Indonesia hanya tiga sampai empat kali dalam seminggu dengan rata-rata durasi waktu membaca 30-59 menit perhari. Dan jumlah buku yang mereka baca hanya lima hingga Sembilan buku dalam satu tahun.

Dalam beberapa tahun terkahir sudah sangat banyak upaya pemerintah bersama Perpustakaan Nasional maupun daerah untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia. Mulai dari hal kecil seperti program wajib baca 15 menit sebelum kegiatan belajar mengajar hingga dihadirkannya Ibasis digital melalui aplikasi e-Pusnas dengan multy operating system dengan multy device tablet atau smartphone yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional.

Namun, banyak sekali program dari pemerintah yang berjalan kurang efektif dan hanya bertahan beberapa bulan saja. Hal ini disebabkan kurangnya riset mendalam yang dilakukan pemerintah tentang apa saja penyebab rendahnya minat baca masyarakat Indonesia hingga banyak program pemerintah yang tidak tepat sasaran untuk menanggulangi permasalahan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia.

Rendahnya minat baca di Indonesia ini mencakup seluruh lapisan tidak terkecuali setingkat mahasiswa, yang seharusnya pada masa ini lah minat baca seseorang sedang dalam keadaan maksimal. “saya mulai suka membaca saat sudah semester tiga” ujar Muhammad Fauzi, seorang mahasiswa UINSA (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel) Surabaya dari fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

Seperti yang biasa kita lihat saat ini, gazebo didepan fakultas Uhuluddin dan Filsafat, selalu padat oleh mahasiswa yang sedang berdiskusi atau hanya membicarakan hal yang kurang penting seperti kemungkinan munculnya perang dunia ketiga. Meskipun terkadang satu dua mahasiswa membaca buku atau mengerjakan tugas yang tidak pernah libur, namun lebih banyak mahasiswa yang hanya saling bertukar informasi tanpa dasar. Dan jarang sekali satu dua mahasiswa membaca satu dua lembar buku, meskipun tangan mereka sudah sangat akrab dengan buku-buku yang hanya tertutup saja.

Lain halnya dengan Gazebo, nasib berbeda dialami oleh perpustakaan, terutama perpustakaan fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Tidak hanya sepi pengunjung, bahkan terkadang perpustakaan tersebut terlihat seperti tidak berpenghuni. Lebih parahnya lagi, masih ada beberapa mahasiswa baru yang belum mengetahui letak perpustakaan fakultas Ushuluddin tersebut.

Rendahnya minat baca dikalangan mahasiswa ini juga menyebabkan sering munculnya tafsir pendek akan sebuah peristiwa yang pada akhirnya menimbulkan kesalahpahaman dengan kemungkinan terburuk adalah kericuhan yang ditimbulkan penafsiran tersebut, dan bahkan dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat di luar Universitas terutama apabila peristiwa tersebut menyinggung SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan).

Hal ini seharusnya menjadi perhatian tersendiri untuk petinggi fakultas maupun petinggi universitas atau bahkan pemerintah. Karena meskipun jumlah mahasiswa kurang dari 20% populasi, tetapi menurut penulis hampir 100% masa depan Indonesia ditentukan oleh mahasiswa.

Memang bukan hal yang mudah untuk menumbuhkan minat baca seseorang, belum lagi masalah ketersediaan buku bacaan yang jauh dari kata ideal. Idealnya satu orang dua buku, tetapi yang terjadi saat ini adalah 15 ribu orang hanya satu buku. Namun, dengan adanya masalah ini bukan berarti tidak ada hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ini, terutama mahasiswa.

Seperti yang telah dipaparkan diatas, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencari akar permasalahan dari rendahnya minat baca ini. Pemerintah dapat membentuk badan khusus untuk melakukan riset secara mendalam dan dengan skala meluas kesuluruh penjuru Indonesia. Karena permasalahan di suatu daerah tentunya berbeda dengan daerah lainnya.

Masalah kurangnya fasilitas membaca di pelosok negeri tentu berbeda dengan masalah kurangnya minat baca akibat ketergantungan gadget di kota-kota besar. Serta masalah yang dialami mahasiswa akibat terlalu bosan dengan buku bacaan yang selalu berbau akademik tentu berbeda dengan masalah siswa yang terlalu sibuk dengan banyaknya mata pelajaran yang harus mereka pahami sehingga kurangnya waktu membaca. Dan seharusnya setiap permasalahan yang berbeda perlu mendapatkan perlakuan yang berbeda pula.

Memang bukan sesuatu yang instan dan akan membutuhkan tenaga serta pendanaan ekstra untuk merealisasikan program seperti ini, namun cara ini akan lebih efektif daripada harus memberikan satu solusi untuk masalah yang berbeda-beda.

Sepuluh pemuda indonesia dengan minat baca yang tinggi memang dapat mengguncangkan dunia. Tetapi, satu pemuda Indonesia yang kurang memiliki minat baca dapat menghentikan sepuluh pemuda pertama.

 

LUKMAN