Penulis: M. Akbar Darojat Restu Putra
Editor: Adi Swandana E.P.
Marx pernah menulis:
“Sejarah manusia berulang dua kali: pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon goblok.”
The Eighteemth Brumaire of Louis Bonaparte
Kata-kata yang tertulis dalam buku The Eighteemth Brumaire of Louis Bonaparte itulah yang membayang ketika saya membaca tulisan Tidak Ada Yang Perlu Dijawab Dalam Pemilu. Tulisan yang dikarang oleh Lahunur Wahyu tersebut hendak menanggapi atau bahkan membantai tulisan saya yang beberapa hari kemarin terbit. Namun, sialnya, tanggapannya sama sekali tak menyentuh sedikitpun esensi dari tulisan saya. Dalam tulisan tersebut, perlu saya katakan sejujur-jujurnya, Lahunur hanya mengeksploitasi tragedi demi kepentingan leluconnya yang sebenarnya tak lucu. Berderet-deret kalimat ia tulis hanya untuk mengumbar kebanyolannya. Dan bagaimana argumen-argumen yang ia bangun sungguh tak merepresentasikan sosok pelajar filsafat.
Lahunur membuka tulisannya dengan mencomot lirik lagu Syair Mengapa:
Tetapi mengapa, oh mengapa
Setiap Pemilu masih ada yang percaya
Lagu yang diciptakan oleh Tanasaghara tersebut sebenarnya hendak mempertanyakan mengapa orang masih percaya pada adanya pemilu. Perayaan yang digelar untuk memilih pemimpin tersebut seringkali absen dalam mewadahi aspirasi rakyat. Namun, di sinilah letak ironinya. Kutipan lirik itu sama sekali tak mempresentasikan posisi Lahunur, sebab dirinya sendiri malah percaya pada Pemilu HMP (Himpunan Mahasiswa Prodi):
Sebelum memberikan pernyataan, saya tegaskan bahwa posisi saya hanyalah sebagai sebongkah bajingan yang percaya pada pemilu (apalagi pemilu dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang berpegang teguh pada agama Islam).
Tidak Ada yang Perlu Dijawab dari Pemilu
Ini dapat dibuktikan bahwasanya terdapat beberapa kemungkinan yang saya fikirkan, yakni terdapat mahasiswa yang tidak meng-like ataupun tidak mem-follow akun Instagram SEMA-FUF ataupun tidak melewati page mereka; atau lebih baiknya mereka tidak peduli dengan pemilihan ketua HMP (Himpunan Mahasiswa Prodi) itu sendiri.
Tidak Ada yang Perlu Dijawab dari Pemilu
Dan saya juga perlu membuat pengakuan bahwa saya memang kecewa dengan tanggal Pemilu HMP. Dalam konteks ini, Lahunur menjawab keberatan saya dengan mengatakan bahwa Pemilu HMP diadakan saat liburan karena tidak ada lagi beban mata kuliah. Saya pun bisa membantah di sini: Mengapa Pemilu HMP tidak diadakan jauh sebelum hari libur? Terkait dengan ini juga, ia mengaku tidak terlalu paham dengan prosedur oprec (open recruitment) calon Ketua HMP dan verivifikasi data yang terkesan begitu cepat. Namun, alih-alih mempertanyakan, ia justru mengamini prosedur itu sembari mengatakan bahwa dengan Pemilu diadakan sebelum lebaran orang bisa bermaaf-maafan saat lebaran. Argumen yang sekali lagi tak menunjukkan kesatiran, melainkan kenaifan.
Hal ini berlanjut ketika ia mendukung Pemilu HMP yang diselenggarakan online dengan alasan mahasiswa kelak bisa menjalankan salat Istikharah untuk menentukan pilihannya. Saya tak peduli apakah mahasiswa menjalankan salat Istikharah atau tidak. Lahunur tak serius membaca argumen saya dalam bagian ini. Yang ingin saya katakan adalah suatu pemilihan online pastinya memiliki prosedur-prosedur sendiri agar suatu suara dianggap sah. Bukan kemudian ke-sah-an suara dimonopoli hanya oleh Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum).
Saya tak akan menelusuri dan menanggapi curhatan Lahunur yang sekonyong-konyong dipilih menjadi calon Wakil Ketua HMP tanpa konsultasi dengan ia terlebih dahulu. Saya ingin mengatakan bahwa meski argumen Lahunur tampak tak konsisten dan rancu, namun agaknya benar apabila ia mengatakan:
Jumlah suara yang dihadirkan tidak transparan untuk mahasiswa umum seperti saya. Pada akhirnya, hijab-hijab dari pemilu ini menjadi kecurigaan terhadap bersihnya hasil yang ada.
Tidak Ada yang Perlu Dijawab dari Pemilu
Transaparansi inilah yang kurang terlihat dalam Pemilu HMP. Memang sejak dilanda bencana Covid-19, kita terkadang menggantungkan diri kepada pertemuan daring (dalam jaringan), ketimbang luring (luar jaringan). Pertemuan daring seolah tampak lebih efisien ketimbang luring. Orang tinggal membuka gadget dan selonjoran ketimbang harus penat-penat bergerak. Namun, sebagaimana aktivitas pembelajaran daring, apakah hal tersebut efektif? Tentu saja tidak. Orang akan menjadi malas dan terkungkung dalam zona nyaman. Orang juga sebenarnya kurang leluasa dalam bergerak apabila ada kendala jaringan.
***
Di akhir tulisan ini saya ingin mengingatkan Lahunur untuk lebih serius lagi dalam menulis satir. Menulis dalam genre seperti ini bukan pekerjaan gampang yang bisa dilalui satu dua hari. Orang mesti menempuh latihan yang cukup panjang.
Satir bukanlah suatu tulisan yang berisi lelucon konyol tanpa mengandung esensi. Ia adalah suatu tulisan yang bersisi ejekan dan sindiran halus yang bahkan terkadang yang disindir tidak merasakan itu. Barangkali Lahu bisa membaca karya Emha Ainun Nadjib, Ahmad Sobary, Geger Riyanto atau kalau mau tokoh yang terkenal expert dalam bidang ini, Voltaire; supaya bakatnya yang coba dikembangkan itu lebih lihai lagi.
Kalaupun ada frasa satir dalam tulisan Lahunur, saya melihatnya dalam paragraf terakhir ketika ia menganggap bahwa perang pemikiran tidak perlu karena namanya pemikiran sudah terbukur di pohon kamboja halaman gedung B2. Dalam kacamata saya, alih-alih ingin mengajak mahasiswa untuk tidak perlu berpikir dan berdebat, ia sebenarnya menonjok perilaku mahasiswa FUF yang tanpa disadari telah “mengubur pemikiran”. Saya memahami frasa ini sebagai sebuah aktivitas ilmiah yang sudah tak dihargai dan dilupakan. Ketika suatu pemikiran bukan lagi menjadi suluh, melainkan benteng yang harus dipertahankan. Dan ketika orang sudah terpancang dalam dogmatisme buta dan menganggap “anjing” kepada suatu pemikiran yang tak senafas dengan ideologinya. Hal yang patut diprihantikan dan dihindari oleh siapa pun.