sumber: google
“Buku, jembatan ilmu,” “membaca, membuka jendela dunia.” Itulah deretan motivasi yang tersemat dalam konteks kegiatan membaca buku. Tiada di pungkiri jika ternyata banyak negara yang mempercayainya, termasuk Indonesia. Indonesia yang kurang lebih 260 juta penduduk memiliki problematika dalam kegiatan gemar baca. Memprihatinkan memang, dengan embel-embel membaca membuka jendela dunia, minat baca di Indonesia bisa di bilang masih lemah.
(UNESCO) United Nation Education Society and Cultural Organization menelaah bahwa minat baca di Indonesia pada tahun 2012 jauh di bawah negara Asia lainnya. Contohnya Jepang. Atau dari data Perpustakaan Nasional pada tahun 2017 orang-orang di Indonesia (meski tidak keseluruhan) membaca buku hanya tiga sampai empat kali perminggu dengan rata-rata hanya membaca buku kurang dari se-jam perhari. Berdasar hal tersebut di atas Indonesia masih krisis dalam kegiatan “Gencar Membaca” pada sebagian kalangan.
Tiada di pungkiri bahwa krisis gencar membaca tersebut juga menyerang Mahasiswa yang notabenenya adalah seseorang yang belajar di perguruan tinggi negeri yang tentunya tidak bisa di pisahkan dari berbagai literatur, setingkat lebih jauh, atau para kader yang dipersiapkan untuk bangsa melalui akademi formal. Mengingat membaca adalah makanan pokok mahasiswa, tentunya hal itu tidak sesuai atau bahkan bisa fatal jadinya, seperti minimnya pengetahuan, merasa kurang percaya diri, kurang kritis dan cenderung pasif atau bisa di mungkinkan kemudian hari bahwa membaca menjadi momok yang menakutkan bagi mahasiswa.
Kurangnya minat baca Mahasiswa bisa di sebabkan oleh individu dari mahasiswa tersebut dan kurang di budayakannya membaca atau faktor lain seperti lingkungan dan motivasi diri mahasiswa dalam membaca. Biasanya mahasiswa gencar membaca apabila saat akan memenuhi tuntutan tugas dari dosen. Pasalnya saya mendapati hal tersebut ketika teman kelas dengan mudah melempar pertanyaan yang tidak bisa di jawabnya kepada dosen pengampu saat presentasi. Sangat mmeprihatinkakn mengingat pada abad ‘segalanya bisa terwujud’ ini segalanya dapat kita akses dengan cara mengelektronikkan berbagai buku seperti novel, buku penunjang perkuliahan atau literatur-literatur lain yang memudahkan mahasiswa untuk membaca sehingga bisa terbilang paperless.
Mahasiswa harusnya bisa lebih mudah dan bersemangat membaca buku di segala situasi pada periode ini. Mahasiswa setiap 6 bulan memiliki peningkatan level semester sehingga keperluan mahasiswa untuk membaca literatur-literatur lebih menekan dan berbobot, hal itu bisa sangat mudah dilakukan tidak lain dengan mahasiswa gemar membaca buku.
Jepang, mari kita tengok negara maju ini yang memiliki peradaban cepat karena minat baca masyarakatnya yang tinggi telah merealisasikan gagasan Tachiyomi atau membaca gratisan yang di lakukan sambil berdiri di toko buku. Tidak hanya negara maju di Asia, namun Europe sekelas Jerman, Prancis, Finlandia dengan pendidikan terbaik di dunia yang sampai sekarang masih belum tergeser posisinya juga memiliki peradaban cepat akibat minat baca masyarakatnya yang bahkan di tanamkan sejak dini. Maka dengan hal itu saya berhipotesa bahwa untuk menggerakkan gencar baca harus membudayakan membaca terlebih dahulu. Mahasiswa dimungkinkan perlu adanya dorongan dan paksaan sedikit dari berbagai pihak yang memaksanya untuk membaca dimanapun dan kapanpun. Atau ringannya sepuluh menit membaca buku setiap hari di kampus sebelum kegiatan belajar. Hal itu sangat bermanfaat di karenakan memudahkan mahasiswa memroses atau memaksimalkan kinerja otak agar tidak kaku sebelum melakukan peembelajaran. Atau bisa juga kita terapkan metode penumbuhkan minat baca warga negara Jepang dengan cara materi kurikulum yang digunakan di kampus di sajikan dalam bentuk manga (komik). Memang nampak kurang pas mengingat level institusi ini berada pada tingkat perkuliahan. Namun apa salahnya jika hal tersebut segera di realisasikan demi mewujudkan mahasiswa yang tanpa di sadari terbuka luas pengetahuannya dengan membaca. Atau bahkan tidak hanya selevel Univrsitas namun pada semua level sekolah di Indonesia.
Meski begitu, gencar baca di Indonesia masih memerlukan banyak saran dan masukan dari berbagai pihak agar segera di realisasikan. Namun, keseluruhan di kembalikan pada personal mahasiswa tersebut mau mendorong diri untuk membuka wawasan dengan membaca melalui budaya gencar baca mulai sekarang. Apabila hal tersebut terealisasi bisa di pastikan membaca menjadi hal yang menyenangkan.
(alfina)