Doc: Google

Oleh: Irfan Fadilah

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits (1895-1963) mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

Indonesia amat kaya akan kebudayaannya yang membanggakan. Namun, ada beberapa Track Record kebudayaan sosial politik dalam menjalankan pemeritahannya yang kurang baik. Pepatah mengatakan tidak ada gading yang tak retak, penulis berusaha menyajikan salah satu permasalahan yang tengah terjadi, mungkin sampai sekarang belum menemukan titik terang akan solusi yaitu terkait korupsi yang sedang membudaya di negeri ini.

Korupsi merupakan prilaku yang tidak terpuji, memiliki banyak macamnya mulai dari tindakan penyalahgunaan jabatan, gratifikasi, suap-menyuap dan masih ada banyak lagi. Namun, penulis menyimpulkan dari tindakan-tindakan tersebut selalu berujung merugikan negara dan rakyatnya. Motifnya selalu didasarkan kepada harta dan kekuasaan.

Korupsi yang akan dibahas oleh penulis adalah suatu tindakan praktik-praktik perampokan harta suatu negara, yang akibatnya merugikan seluruh rakyatnya dan menciptakan kesengsaraan ekonomi. Di Indonesia korupsi sudah sangat mendarah daging. Bahkan, sudah menjadi kearifan lokal bangsa di ranah kepemerintahan. Jangankan pemerintahannya bahkan penegak hukumnya pun tidak sedikit yang ikut serta dalam praktik koruptif.

Budaya korupsi di indonesia berangkat dari kegagalan suatu negara dalam mengitervensi terhadap ekonomi. Khususnya pasar untuk menyelamatkan umat manusia, paling tidak rakyat dari suatu negara.  Ada beberapa instrumen yang bisa dipakai untuk melakukan intervensi seperti pengeluaran pemerintah dan kebijakan pajak, yang lebih dikenal dengan kebijakan fiskal. Pada tataran ini, Pemerintah yang menjadi pelaksana dari intervensi negara sebagai pejabat negara atau birokrat.

Pada hakikatnya aktor individual atau kelompok yang memiliki kepentingan masing-masing dalam pembentukan kebijakan, akan menguntungkan dirinya maupun kelompoknya. Sebab, aktor individual atau kelompok bukanlah malaikat yang steril dari keinginan, kemauan, kehendak, dan kepentingan dalam diri mereka. Persoalan muncul dari ketidaksterilan dalam diri yang mengatasnamakan pemerintah. Sehingga, mereka dapat saja tidak berlaku adil, curang, menipu, koruptif, dan sifat negatif lainnya dalam regulasi atau kebijakan yang dikonstruksikan, karena menyisipkan kepentingan masing-masing. Oleh karena itu, intervensi yang dilakukan atas nama negara yang  bukan bertujuan untuk kesejahteraan, keamanan, dan kebaikan umat manusia dalam arti keseluruhan, paling tidak lakukanlah atas nama rakyat yang berada di bawah naungan kedaulatan suatu negara.

Kalau benar suatu negara merupakan pelaku yang bertindak demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Jelas akan sukar bagi kita untuk mengharapkan jika negara bisa diberi tanggung jawab. Karena, negara sudah dianggap hanya sekedar mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya daripada meningkatkan kesadaran warga negaranya tentang tujuan-tujuan yang lebih luhur. Kondisi seperti ini memunculkan pemikiran tentang kegagalan negara (state failure). Yaitu, ketidakmampuan negara dalam menggunakan otonominya melalui instrumen regulasi dan kebijakan untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan, dan kebaikan rakyatnya dalam arti keseluruhan.