Tulisan ini adalah buah dari rasan-rasan sekelompok ibu kampung. Waktu itu, sehabis magrib aku beli makan di belakang kampus. Saat mengantre di belakang, ibu-ibu kampung menatapku satu persatu sekadarnya, akupun meringis mengangguk-angguk sopan. Sejurus tiba-tiba mereka mendapat koneksi, lalu berkeluh kesah tentang perlakuan mahasiswa kiwari yang cuek. Ya, seperti hendak dikambinghitamkan seorang diri, mbok ya nanti saja rasan-rasannya.
Akhirnya terjadi dialog yang ngeri-ngeri sedap,
“Mahasiswa sekarang itu nggak seperti dulu ya, kalau dulu sering menyapa dengan tetangga, kenal akrab. Kalau sekarang kok cuek gitu ya” kata ibu yang bertetangga dengan kos-kosan mahasiswa.
Ibu si penjual lalu menyahuti, “Layo buk, wong dulu warung-warung itu rame kok, sekarang sepi karena ada hp, jadi mahasiswa jarang ke warung”, sambil bungkus pesanan cepat-cepat.
Seorang ibu kos, ikut terpancing pula, “Dulu kalau mau pulang, mereka itu pamitan, tapi sekarang kok langsung jablas gitu ya, nggak pernah pamit sama sekali” bilangnya dengan nada kesal.
Sontak aku merasa benar-benar disudutkan dan berhasil membuat nyaliku menciut, yang tak mampu bicara barang sepatah kata. Teringatlah sebuah pepatah yang mengatakan “Diam adalah emas”, dan ini mungkin keputusan yang terbaik, biar sekalian menjadi pengikut Salafus Shalih.
Cobalah diangan-angan
Faktor kecuekan mahasiswa mungkin bisa beragam. Berhubung penulis bukan seorang sosiolog, antropolog, ataupun psikolog. Hanya saja ingin mengetengahkan soal ini dengan santai tapi elegan. Biar kalian nggak mikir dalam-dalam dan membaca bolak balik, sambil ngabisin berbatang-batang rokok.
Ini merupakan satu dari dampak sebuah pergeseran sosial sehari-hari, yang kemudian menjadi aktivitas dalam ruang-ruang gadget, terutama media sosial, yang sudah menjadi sebuah kewajiban selain sholat lima waktu.
Pertama, seolah-olah memberi rasa eksistensi yang lebih daripada ngurusin tetangga kos-kosan.
Kedua, bicara tentang medsos ini juga masih relasional dengan sepinya warteg, karena dirasa kurang instagramable. Mahasiswa mungkin saja lebih tertarik datang ke McD dan KFC, atau sering menggunakan jasa Go-Food. Lumayankan masih layak dijadiin story. Tapi ini mestinya golongan anak sultan, yang bisa menikmati hidup sak karepe udele, dan ada ketimpangan selera dengan mahasiswa kebanyakan yang pas-pasan, ada juga yang cenderung dipas-paskan, mengakali hidup untuk bertahan hidup. Sebagaimana petikan sebuah ayat “afala ta’qilun”, yang menyerukan untuk memberdayakan akal. Mulai dari menanak nasi sendiri lalu lauknya beli, masak mie instan dengan telur, hanya mie instan saja. Hingga pola makannya yang diakal, dua kali sehari, cukup satu kali saja, ataupun dengan pola puasa senin kamis.
Ketiga, soal rasan-rasan selanjutnya adalah mahasiwa yang tidak pernah pamit ibu kos saat pulang kampung. Di sini ada dua kisah teman kos. Temanku yang pertama ini sering kecipratan makanan dari ibu kos. Di samping bayar bulanannya yang selalu tepat waktu, dia pasti pamitan saat mau pulang kampung. Jadilah hubungan yang mesra antara keduanya seperti ibu dan anaknya. Sedang temanku satunya indekos di tempat yang berbeda, sebenarnya ibu kos juga baik hati, hanya saja Anak ibu kosnya yang galak seperti renternir. Nahasnya, temanku sering telat bayar bulanan, jadi seringkali menjadi buronan si galak dari gua hantu itu. Alhasil, temanku yang ini kalau pulang kampung tidak pernah pamitan, karena sama saja memasuki kandang macan.
Jadi persoalannya lebih dari soal perilaku, tapi juga berkelindan dengan faktor sosial ekonomi.
Ingatkah kos-kosan dulu?
Kalau zaman kebangkitan nasional, kos-kosan justru menjadi tempat diskusi. Seperti rumahnya HOS Tjokroaminoto di kawasan Peneleh Surabaya, yang dihuni oleh Soekarno, Musso, Semaun, Darsono, Kartosoewirjo dan Alimin. Sesekali tokoh yang lain juga berkunjung ke sana, seperti Kiai Wahab, Agus Salim, Ki Hajar, Sneevlit, dan Tan Malaka. Hingga dikenal dengan kos-kosan yang revolusioner, karena menelurkan banyak pemimpin di harakah organisasi, seperti Serikat Islam, Muhammadiyah, NU, Darul Islam, ISDV, PKI dan MURBA.
Lantas dewasa ini sudah menjadi arus balik. Kos-kosan hanyalah sekedar menjadi tempat mendengkur, termasuk penulis ketika numpang ke kos Gang Salafiyah. Begitupun dengan kontrakan yang dipakai sekretariat organ mahasiswa, aktivismenya lebih pada menyibukkan diri dalam rapat dan kajian internal, namun cenderung eksklusif dengan kegiatan warga sekitarnya.
Segenap hal ini sejalan pula dengan biaya kampus yang mahal, mengejar mahasiswa agar cepat-cepat lulus. Padahal kampus yang UIN-UIN gitu, harusnya menjadi kampus negeri alternatif buat kalangan bawah, anak-anak petani dan buruh yang ingin mengenyam pendidikan tinggi.
Walaupun belakangan ada kompensasi kepada beberapa mahasiswa yang tidak mampu menjangkau UKT yang melangit-langit, inipun berkat desakan berkali-kali massa aksi. Yang sebenarnya, pendidikan murah sudah menjadi kewajiban Negara untuk mencerdaskan penerus bangsa.
Ingatlah, Kita Mahasiswa
Mbok ya ingat waktu OSPEK (baca: PBAK, sekarang), mahasiswa baru bersama seniornya, semangat-semangatnya menyanyikan Buruh Tani, Darah Juang, dan Totalitas Perjuangan. Pun tak lupa mengikrarkan Sumpah Mahasiswa dan pepatah petitih Agent of Change, Agent of Control itu.
Maka hari ini, penulis anggap semuanya itu menjemukan, kalau tidak mau dikatakan memuakkan. Karena kita kerapkali -bahkan sama sekali- absen ketika ada penindasan terhadap masyarakat, penggusuran, maupun perampasan ruang hidup.
Pun dalam perampasan Waduk Sepat Surabaya yang mau dialihfungsikan menjadi perumahan Citraland, almamater kampus tidak pernah hadir di sana. Akhirnya tanpa disadari, kita cukuplah nyenyak dengan romantisme sejarah Kota Pahlawan.
(Ruri, Pegiat Gang Dosen)
Penyunting: Fadlilatul Laili Riza Rahmawati