Oleh: Friedrich Z. Fazi*)

Doc. Google

Tanpa terasa hari demi hari telah terlewat begitu saja. Duduk meresapi dan berusaha menangkap materi dari pertama hingga terakhir yang dijelaskan oleh teacher di Kresna English Course semakin jelas melintas di depan mata. Hanya persoalan hitungan jari, program Kresna akan selesai sempurna. Sedari awal hingga menjelang akhir program terasa ada yang menjanggal. Kejanggalan itu disebabkan banyaknya member terjebak di kubangan nilai. Pada akhirnya, tak sedikit dari mereka sampai mengkultuskan nilai hingga pada tingkatan berlebihan. Seakan-akan nilai adalah cermin utama kepintaran seseorang.

Fetisisme terhadap nilai tidak cukup berhenti sampai di sana. Melangkah pada penghujung perjalanan pemujaan terhadap nilai, seringkali keberhasilan dan kesuksesan seseorang didentikkan dengan angka nilai yang mereka capai. Semakin tinggi nilai, muncul sebuah kepercayaan bahwa kesuksesan seseorang lebih besar bagi mereka yang mendapatkan nilai tinggi dibanding mereka yang mendapatkan nilai rendah. Memang tidak bisa dipungkiri dalam beberapa konteks nilai berguna mengukur tingkat kemampuan dan pemahaman seseorang terhadap suatu kasus. Namun, bila nilai kemudian diletakkan sebagai berhala ideologis yang harus dipuja dan dijunjung tinggi sampai melupakan beberapa aktivitas lain yang juga tak kalah penting, di sinilah tulisan ini melesatkan kritiknya.

Pemujaan terhadap nilai sampai mengorbankan aktivitas lain yang tak kalah penting mengantar kepada sebuah tilikan perspektif, bahwa sebenarnya tak masalah pemahaman grammar yang tak seberapa jika dibanding dengan mereka. Bukan berarti penguasaan grammar tidak penting. Tapi, pengalaman pribadi ini mengantar kepada sebuah simpulan, bahwa koin ternyata tak sekedar terdiri dari buah kepingan. Ia juga memiliki dua pasang mata. Seringkali seseorang terlalu fokus dengan kepingan koin sehingga melupakan dua pasang matanya. Ada pula yang terlalu fokus terhadap satu pasang matanya hingga tak menyadari adanya mata koin yang lain.

Menjelang detik-detik perpisahan, program planet sengaja selayang tulisan yang tak sepenuhnya berharga ini saya haturkan sebagai bahan introspeksi. Ketahuilah penguasaan grammar saya memang tak sekomprehensif itu. Tapi setelah saya melakukan meditasi diri lebih dalam lagi, saya menemukan hal yang sangat penting dan berarti. Di tengah perjalanan cukup melelahkan memahami grammar itulah tiba-tiba pemahaman yang tak tergolong biasa bermunculan. Seakan-akan grammar yang diterangkan oleh teacher menunjukkan sebuah jalan lain yang tak pernah dilintasi oleh kawan semember saya.

Bila banyak teman berusaha mengejar dan menangkap transferensi pemahaman grammar yang disampaikan persis sama dengan apa yang dipahami oleh teacher, pada diri saya entah kenapa grammar itu menyikap menjadi sebuah pesan agar menemukan suatu hal yang baru. Grammar itu kemudian mendecode dirinya lalu menjadi sebuah sandi yang hanya saya seorang memahaminya. Tak berselang lama, tanpa disangka sandi itu tampil menjelma menjadi penuntun berupa cara menulis yang baik, benar dan menarik. Saya dapat merasakan kemampuan menulis saya yang lebih terlatih, terasah, tajam, dan lihai dari sebelumnya. Tulisan sayapun terasa lebih hidup dan mengalir.

Mungkin demikian saya rasakan, tak lain adalah efek sastra terhadap tulisan. Rasa-rasanya tak rugi membayar mahal, pendapat lebih besar dari pengeluaran modal. Sekalipun tak sepenuhnya paham secara maksimal terkait materi grammar yang sudah diajarkan selama dua bulan, saya tak merasa sepenuhnya tertimpa kegagalan. Malahan, saya menemukan jalan kesuksesan lain. Sebab menulis adalah suatu hobi dan menjadi seorang penulis adalah cita-cita yang saya dambakan, perasaan mendapatkan hal melebihi ekspektasi pun datang bergiliran.

Kepada kalian yang tak sepenuhnya menguasai grammar, tak usah pesimis, tak usah berkecil hati. Kita sama, sama-sama tak semengerti itu. Carilah sisi-sisi koin yang belum ditemukan oleh kebanyakan orang. Dengan begitu kita tak sepenuhnya tertimpa kegagalan. Karena kesuksesan memiliki banyak jalan. Terkadang lurus, berliku, bercabang, bahkan ada yang mengharuskan memutar balik hingga lawan arah. Semua harus kita hadapi dengan keteguhan dan kesabaran.

*(Mahasiswa Program Studi Akidah Filsafat Islam

 

Penyunting: Fadlilatul Laili Riza Rahmawati