Penulis: Zamzam Qodri
Editor: Titik Damayanti & Sabitha Ayu Nuryani
Kamis malam Jumat adalah malam kesukaan Laila. Ia selalu datang dengan membawa hal yang istimewa kepadaku di malam Jumat. Desiran angin yang sangat sejuk. Beriringan dengan syahdu yang menusuk hingga ke rusuk-rusuk hati. Telah aku sadari ia datang dengan senyum menyeringai. Dia siap menemaniku sampai fajar tiba. Laila… Ohh Laila… Malamku, kekasihku.
Terkadang aku bingung dengannya. Mengapa ia tetap peduli denganku. Padahal jika diakal akulah yang selalu nakal. Aku yang selalu melanggar. Bukankah itu memalukan? Aku pernah bilang kepadanya.
“Hei, Laila! Kumohon jangan datang kepadaku terlalu lama. Aku tak pernah membuatmu bahagia. Aku selalu menyakitimu dengan segala kebodohanku. Aku tahu bahwa setiap kamu datang aku selalu bermaksiat kepada Tuhanmu. Itu ‘kan yang membuatmu sakit? Mengapa kau tahan? Mengapa kau tetap datang?”
Ia hanya tersenyum setelah sesenggukan menahan air matanya jatuh. Lalu ia berkata dengan lirih dan penuh perhatian, “Aku tahu jika aku akan kausakiti. Aku tahu jika aku akan terluka. Tuhanku selalu kaucampakkan dengan kemaksiatan yang kau lakukan. Tapi aku masih berharap kepadamu, Zam. Kau masih bisa berubah. Kau bisa mengikis maksiatmu dan giat beribadah. Kau tahu apa yang membuatku yakin hingga aku tak peduli jika aku harus terusmenerus kausakiti? Jawablah, Zam.”
Mendengar ucapan sekaligus pertanyaan Laila, aku sangat sesak juga kebingungan. Hatiku terasa sakit dengan rasa bersalah yang besar. Pikiranku juga panas karena mencari jawaban dari pertanyaannya yang sukar.
Lama sekali diriku bergulat dengan jiwaku di dalam ragaku. Dalam kegelapan antara pikiran, hati, dan nafsu semua bergulat. Ketiganya berkompetisi untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan Laila.
Si pikiran memaksa dirinya dengan mengeraskan tubuhnya. Ia tak peduli bahwa urat kepalaku sangat rentan sakit saat ia sedang melakukan pengerasan pada tubuhnya. Begitu pula dengan nafsu. Ia tak mau kalah dengan pikiran. Ia berusaha dengan meminta bantuan kepada sifat angkuh, sombong, congkak, dan sifat jahat lainnya. Ambisinya lebih kuat dari pikiran sampai ia tergopoh-gopoh dan akhirnya tak sengaja terbentur dengan hati.
Ia melihat hati terlalu lemah. Beban sakit yang membuat dirinya lemah. Ia tak bisa bergerak secepat nafsu dan pikiran. Melihat hati yang sakit, nafsu semakin jengkel. Ia merasa jika kejadian dirinya yang terbentur dengan hati adalah salah satu sebab terlambatnya ia mencari jawaban. Ia pun akhirnya memukul hati dan membuat hati sekarat. Ia hampir membuat hati mati.
Tapi, untunglah pikiran segera menghentikan perbuatan nafsu. Ia menjelaskan pada nafsu bahwa dirinya harus sportif. Boleh progresif, tapi tidak boleh agresif apalagi diskriminatif. Mendengar ocehan si pikiran, si nafsu mengendus jengkel terhadap si pikiran.
Mereka pun kembali bersaing dengan sengit. Mereka sangat gigih mencari jawaban. Hingga pada akhirnya, ada sifat yang muncul dari ketiga elemen di atas (pikiran, hati, dan nafsu) yaitu sifat sadar diri yang menjadi mediasi atas pergulatan ketiga elemen tadi. Sifat sadar dirilah yang menyadarkan kepada ketiga elemen yang ada pada diriku bahwa kau tak mampu mencari jawaban atas pertanyaan Laila.
Hingga pada akhirnya, ketiga elemen tersebut berdamai dan meminta bantuan kepada lisanku untuk mengucapkannya sebagai jawaban pengakuan. Dari dorongan inilah kemudian aku dengan bantuan lisan mengaku seraya berkata pada Laila. “Aku tidak tahu, La. Apa yang membuatku yakin? Jawablah?”
“Karena aku tahu, Zam, jika Tuhanku punya keluasan ampunan yang tak terhingga. Karena itulah aku berpikir untuk terus mengunjungimu, menemanimu, memelukmu meski apa pun yang selama ini kaulakukan padaku. Aku tidak perlu merasa terlukai. Aku memaafkanmu, Zam. Aku memaklumimu. Dan aku… Sangat menyayangimu.”
Kali ini, ia membuatku sangat terharu. Ia membuat dada ini semakin sesak. Hingga aku tak bisa mengucapkan sesuatu selain air mata kebahagiaan. Ini sudah menunjukkan kejujuran daripada ucapan yang keluar dari lisan.
Melihat air mata menggenangi mataku, ia langsung mengusapnya dengan angin malamnya. Seakan ia mau menunjukkan bahwa ia tak mau selebay para bucinners. Aku pun segera mengusap air mataku dan berterima kasih kepadanya karena tetap setia menemaniku. Ia pun mengangguk tanda mengiakan. Lalu ia memelukku sangat erat.
“Apa yang kau inginkan saat ini dariku? Aku akan menuruti keinginanmu!” katanya.
“Aku ingin menulis kisah ini dan aku ingin kautemani aku! Setujukah engkau?”
“Apa yang tidak aku berikan untukmu selama aku bisa? Menulislah! Aku akan menemanimu.”
Dan aku pun menuliskan kisah ini hingga akhir.