Oleh : Zamzam Qodri
Editor: Habib Muzaki
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh,” begitulah sapa Lailatul Qodriyah saat bertemu denganku. Pada tulisanku yang dulu, aku sempat mengatakan bahwa Lailatul Qodriyah tidak hanya datang pada malam ganjil di 10 malam terakhir bulan Ramadhan, tetapi di semua Ramadhan bahkan juga bisa datang di luar bulan Ramadhan.
Ya, meskipun pandanganku ini bertentangan dengan apa yang sudah menjadi pandangan masyarakat terhadap Lailatul Qodriyah. Tetapi aku benar-benar merasakan kehadirannya setiap malam. Aku sudah terbiasa diselimuti kesejukannya saat aku sedang dalam keadaan panas. Terkadang ia juga menyuguhkan pemandangan yang indah dengan menghadirkan bintang dan bulan yang gemerlap. Setiap malam aku merasakan itu.
Entah mengapa akhir-akhir ini aku dihadapkan dengan segelintir orang yang menganggap diri mereka mendapatkan perhatian penuh Lailatul Qodriyah. Memang sih, dia orang yang taat beribadah, terutama pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan.
Aku kagum dengannya. Tetapi kekagumanku padanya hanya sebentar, karena sahabatku, Lailatul Qodriyah membisikkan kepadaku, “Orang itu hanya mengaku mendapatkan perhatianku, tapi sebenarnya aku tak memperhatikannya. Kamu jangan sama seperti dia ya! Aku percaya padamu.”
Kata-katanya semakin membuatku jatuh cinta padanya. Mataku setiap malam selalu menampakkan sinar kecilnya sebagai tanda tidak mengantuk, meskipun terkadang pada siang harinya mataku kupaksakan untuk terbuka karena banyak kepentingan dan kewajiban yang harus diselesaikan.
Namun, pada momen tertentu, yang biasanya sahabatku (Lailatul Qodriyah) itu menemaniku dengan kesejukannya, tapi entah mengapa dua hari belakangan ini, aku tak dijenguk dan ditemani. Aku bertanya-tanya dalam pikiranku. Apa yang membuatnya tak menemaniku? Apa dia sakit? Ah dia tak pernah sakit. Apa dia merajuk? Ah sepertinya benar, dia merajuk.
Perasaanku semakin tidak karuan, ia tak datang selama dua hari. Aku pun sangat mengecewakan hal ini. Aku dirundung rasa bersalah yang amat besar. Tapi aku tak tahu apa salahku padanya.
Tetapi yang aku tahu, aku tak pernah menuntut sedikitpun kepadanya untuk memberikan perhatiannya hanya untuk diriku. Karena aku tahu, ia diharapkan oleh orang banyak. Bagi diriku, ia hadir menemani kebingunganku yang diberikan oleh pagi, siang dan sang sore dan menggantikan kebingungan itu menjadi ketenangan dengan nada kesunyiannya.
Hal itu cukup bagiku. Tak ada yang kuharapkan lebih dari dirinya. Aku takkan cemburu bila ia juga dimiliki orang lain. Karena aku tahu, bagiku ia hanya sebatas sahabat… Hahaha… Bukan.. Bukan.. Aku takkan menembaknya seperti sinetron FTV di Chanel Sctv yang setiap hari tayang dan bisa ditebak alurnya.
Aku dan Lailatul Qodriyah tak hanya sebatas sahabat, ia juga saudaraku. Jika ada yang mengamati namanya, maka disitu akan tersebut namaku. Ia dan aku satu marga, yaitu marga Qodri. Aku Zamzam Qodri, dia Lailatul Qodriyah. Mirip bukan?
Baik aku takkan memaparkan lebih panjang terkait hubungan genku atau nasabku dengan dirinya. Tapi aku dan dia sudah menjadi sesuatu yang hampir menyatu. Namun, setiap hubungan pasti punya permasalahan.
Listrik yang saling berhubungan satu sama lain, terkadang harus rela mengalami konslet karena tegangan yang sama-sama kuat. Begitu pula hubunganku dengan Lailatul Qodriyah. Seperti kalimat di awal, aku merasa dia merajuk.
Akupun mencari tahu kepada dia merajuk dan tak menemuiku selama dua hari. Aku menunggu kedatangannya dengan raut muka yang mencerminkan rasa bersalah. Dan seperti dugaanku, ia pasti akan datang.
Dan, ternyata hal tersebut kenyataan. Setelah aku teraweh, aku mendiamkan diriku sendiri di tempat biasanya aku menunggu kedatangannya. Dan benar, ia menemuiku. Setelah itu, aku menanyakan kepadanya terkait kepergiannya dua hari belakangan.
“Aku kan sudah bilang, jangan seperti orang yang mengaku-ngaku mendapat perhatianku tempo hari,” jawabnya.
“Iya, aku paham, apakah aku melakukan hal itu?”
“Tanyakan saja pada dirimu sendiri. Kamu jahat,” jawabnya dengan nada malas.
Mendengarkan jawabannya itu, aku berpikir keras. Hingga aku tak berkata sedikitpun selama satu jam. Tapi, meskipun aku sudah berpikir dengan sangat keras, aku tak kunjung menemukan kesalahanku padanya.
Menunggu perenunganku yang lama itu, ia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia pun pamit pergi, namun aku menahannya. Aku meminta maafnya dan meminta dia menjelaskan apa kesalahanku padanya. Ia pun semakin naik darah.
Aku tak bisa berkata apapun kepadanya, selain menunduk dengan rasa bersalah yang bergelimang. Dan, aku berharap ia masih memberikan aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku dan juga memaafkan atasnya. Ternyata harapan itu ia kabulkan. Ia pun memberikan alasan kenapa ia pergi meninggalkan aku selama dua hari.
“Kau tau apa yang kau perbuat pada malam yang pertama aku pergi. Sebenarnya aku ingin menemuimu, tapi ketika aku melihatmu maksiat, aku malas menemuimu. Aku merasa kau mengkhianatiku. Selama aku bersamamu, aku memberikan apa yang kamu butuhkan. Tapi kau tak pernah memberikan apa yang aku butuhkan. Aku memang tak memintanya, tapi tolong jangan kecewakan aku dengan perbuatanmu.”
“Maksiat seperti apa yang aku lakukan?”
“Kamu memang sudah membuat aku sangat kecewa. Kau sudah lama bercengkerama denganku, tapi soal introspeksi saja kau tak lulus. Apa gunanya aku menemanimu selama ini? Apa gunanya setiap malam aku memberikan nada kesunyian agar kamu tenang? Kau tau? Itu semua percuma.”
“Maafkan aku La. Aku khilaf, aku sangat bodoh, aku sangat dungu. Hal itu diluar kekuasaanku.”
“Apakah kau akan menyalahkan Tuhanku, Zam?”
“Bukan begitu, La. Tuhanmu juga tuhanku. Tapi apakah kau tidak mau memaafkan kesalahanku? Apakah sudah benci kepadaku? Apakah tuhanmu mengajarkan hal itu?”
Mendengar ucapanku, matanya berkaca-kaca. Namun ia tak menangis. Karena ia tahu, bahwa banyak orang yang akan terganggu aktivitas mereka ketika ia menangis. Ia pun memaafkanku diiringi rasa haru.
“Aku ingin bertanya sesuatu padamu!”
“Katakanlah, Hai Laila!”
“Jika seandainya dua hari kemarin aku mengantarkan keutamaan seribu bulan seperti yang orang-orang harapkan dan aku tidak memberikan kepadamu. Justru aku melipatkan maksiatmu, apakah kau tak besedih dengan hal itu? ”
“Lakukan apa yang menurutmu benar. Aku bukanlah orang yang mengalkulasi dirimu dengan segala keutamaanmu. Bagiku, kau tetap istimewa meskipun di luar bulan ramadan. Yang aku takutkan darimu hanya satu, La. Yaitu jika kamu tak mau lagi menemaniku dan bercengkerama denganku.”
“Aku akan tetap menemanimu, selama kau hadirkan aku dalam hatimu. Sudahlah, jangan bucin, terlalu berlebihan tak baik, Zam.”
“Hmm… Bener juga. Sekarang aku akan memberimu hadiah sebagai permintaan maafku.”
“Apa itu?”
“Aku akan abadikan kisah ini menjadi sebuah tulisan sederhana yang kau bisa membaca setiap malam. ”
“Bagaimana tidak, aku sendiri adalah malam itu, Zam. Segera tulislah! Berikan hadiah itu padaku. Aku akan menemanimu.”
“Terimakasih, La.”