Penulis: Zamzam Qodri
Editor: Mohammad Andi Pornomo, Sabitha Ayu Nuryani

Sumber: https://m.republika.co.id/amp/q71el0430
Dengan menyebut nama Allah. Segala puji bagi Allah dan semoga salawat serta salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Aku berlindung kepada Allah dari senangnya nafsuku juga dari kejelekan perilakuku. Ya, begitulah kira-kira mukadimah yang pas. Amma ba’du.
Kali ini, aku ingin menuliskan beberapa yang menurutku penting untuk disampaikan. Namun, jika ada yang menganggap tidak penting, ya, silakan. Tulisan ini hanya sebagai bahan bacaan. Tergantung bagaimana pembaca membacanya. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyakiti siapa pun. Baik itu dari golongan manusia, malaikat maupun jin sekalipun. Dan, aku yakin kalian (manusia, malaikat, dan jin) pasti akan memaklumi keadaanku. Aku terpaksa menuliskan ini. Ini kulakukan karena tuntutan dari program kerja (proker) organisasiku. Jadi, tolong pengertiannya. Aku yakin, kalian (manusia, malaikat, jin) akan membaca tulisanku ini. Dan, semoga saja kalian suka dengan tulisanku. Dan, yang paling kuharap secara khusus kepada malaikat Raqib untuk mencatat kembali apa yang aku tulis dengan bahasanya sendiri. Dan, kepada golongan jin, aku akan menuliskan pengalamanku dengan kalian.
Sebenarnya, aku dan segolongan jin pernah bahkan sering bermusyawarah. Memang aku tak bisa melihat mereka, tapi aku yakin mereka pasti melihatku. Tapi percayalah, aku bisa merasakan kehadiran mereka. Bahkan saat ini pun (saat menulis tulisan ini), mereka menemaniku bersama malaikat. Mereka melihat tulisanku. Tapi aku larang, karena jadinya kan nggak surprise. Tapi biarlah, ada yang sadar dan ada yang belum sadar. Lalu, jika ditanya, bagaimana caraku bermusyawarah dengan jin? Jika dijelaskan secara gamblang, pasti pembaca tidak gampang percaya. Apalagi akan menganggap penting tulisan ini. Jangankan tulisan ini, Al-Qur’an saja yang sudah diimani sebagai kitab suci mereka, banyak yang hanya membacanya sampai kerongkongan saja, kok. Kadang hanya dijadikan pajangan hingga berdebu. Untung tulisanku kali ini tidak aku cetak. Bagaimana jadinya kalo dicetak, mungkin sudah dijadikan bungkus makanan. Tapi tidak apa-apa, itu juga bermanfaat, kok. Cuma penempatan manfaatnya saja yang kurang tepat. Oke lanjut. Percaya ataupun tidak, aku akan tetap menuliskan. Karena tulisan itu abadi dan akan menjadi saksi sejarah. Baiklah, agar tulisan yang sudah lumayan ini tidak tambah panjang meskipun tak lebar, langsung saja aku tuliskan kisah permusyawarahanku dengan jin.
Dulu, aku pernah ditakut-takuti oleh segelintir manusia, salah satunya temanku. Ia berasal dari keluarga agamis. Terjaga salat 5 waktunya, puasanya tak pernah bolong, begitu pula seterusnya. Ia memberitahu sekaligus menakut-nakutiku dengan menerangkan sesuatu yang berkaitan tentang keadaan jin. Katanya, jin itu tak kasat mata. Dan, aku benarkan. Lalu katanya wujud jin sangat seram dan menakutkan. Hal ini 80% percaya. Ia tidak mau kalah, ia membuktikannya dengan memperlihatkan kepadaku film horor. Dan, saat itulah aku 99% percaya dan takut, bahkan sampai sekarang. Lalu, ia menambahkan bahwa jin selalu mengajak pada kemungkaran atau kejahatan. Dalam hal ini aku hanya percaya 50%. Ia mau meyakinkanku, tapi hanya sekilas. Ia menyuruhku untuk berkata kotor. Kataku, “Asu raimu.” Sebenarnya aku tak ingin berkata seperti itu. Karena hal itu bertentangan dengan kepribadianku yang lemah lembut, hahaha, aku hanya bercanda. Aku hanya ingat stiker yang ada di WhatsApp. Maaf. Hal itu ia lakukan karena ingin membuktikan kepadaku yang hanya 50% tidak percaya bahwa jin itu selalu mengajak kepada kejahatan. Setelah aku disuruh berkata kotor dan aku menuruti perkataannya, ia pun mengatakan bahwa yang aku lakukan tadi adalah bisikan dari jin. Aku semakin tidak percaya padanya. Wong dia yang nyuruh aku, kok malah jin yang disalahin. Akhirnya, aku menyuruhya untuk minta maaf pada jin atas perlakuannya, tapi ia tidak mau. Ia malah mengatakan bahwa ia tak patut meminta maaf pada jin, karena jin itu sudah terlaknat. Aku tanya alasannya, ia malah mendaliliku dengan surat Al-Qur’an. Katanya, “Ketika Allah memerintahkan kepada iblis untuk bersujud kepada Adam as. ia enggan dan sombong dan ia termasuk golongan yang kafir (pembangkang).” Setelah mendengarkan ayat ini, aku merasa bahwa Allah-lah yang salah. Bagaimana bisa ia menyuruh iblis untuk bersujud. Kan dia (iblis) tahu yang wajib disembah adalah Allah bukan Adam. Tapi setelah aku pikir kembali, yang dimaksud menyembah itu bukan hanya dengan tanda bersujud (saya tidak menyebut orang yang punya tanda sujud, lho, ya), tetapi secara maknawi atau esensinya adalah juga dengan menaati apa yang Ia perintahkan.
Mendengar ia membacakan ayat itu, aku hanya mengangguk. Tapi dengan melihat sikapnya yang tak mau minta maaf pada jin, aku kok malah berpikir dan bertanya-tanya, ‘Ini yang sombong siapa, sih, iblis atau dia?’ tapi itu hanya kusimpan, tidak aku lontarkan. Aku takut ia sakit hati dan meratapi kekecewaan seperti sinetron azab di televisi. Tapi aku tidak berhenti sampai di situ, aku berniat yang memintakan maaf pada jin atas perbuatannya. Berkat kekuasaan Allah, tiba-tiba perutku sakit dan aku mau buang air besar. Aku pamitlah kepadanya dan segera bergegas menuju kamar mandi. Sembari aku mengeluarkan air besar, di sanalah aku mulai sadar jika aku sendirian. Saat itulah pertama aku bisa merasakan kehadiran jin. Aku berkata, “Maafkan temanku ya, jin. Ia keterlaluan.” Aku tidak mendengar jawaban apa pun. Tapi ada tanda-tanda terjawabnya permintaan maafku, yaitu hembusan angin yang begitu kencang. Aku percaya itu jawaban dari jin berdasarkan pengalamanku saat melihat film horor. Aku rasa jin itu menjawab, “Iya, aku maafkan.” Bulu-buluku memang merinding, tapi hatiku merasa bahagia. Dan, saat itulah aku mulai suka ke kamar mandi. Tolong pembaca jangan mikir yang aneh-aneh, ya.
Bukan hanya itu, setelah aku mulai beranjak dewasa, jiwa keingintahuanku sangat besar. Aku mulai senang dengan kebiasaan berdiskusi dengan teman-teman di sekolah. Hingga hal itu terbawa sampai saat ini. Hal itu aku awali di kamar mandi bersama para jin. Memang sih, kamar mandi disebut tempat kotor karena hanya digunakan buang kotoran. Tapi sekotor apa pun tempat itu, kita harus tetap menghargai, bukan hanya tempatnya, tapi juga penghuninya. Di sanalah aku tahu bagaimana adab bertamu di rumah jin. Hal itu sudah diajarkan nabi kita. Yang pertama, bertamu ke rumah jin dengan berlindung kepada Allah dari setan laki-laki dan setan perempuan. Karena lingkungan jin juga heterogen dan macam-macam karakter. Biasanya ada juga yang suka mengganggu. Karena lingkungan yang seperti itu, kita juga diimbau untuk tidak mengaji dan berbicara, karena bisa jadi kita mengganggu mereka. Ya, mungkin karena mereka juga sedang berbicara dan bercanda ria. Apalagi ditambah dengan menyanyi, tambah sumpek mereka. Itu bukan tempat kita bernyanyi, bercakap, dan mengaji. Kita harus tahu tempat. Luangkan waktumu untuk mereka para jin. Jangan sampai kau mengganggu mereka dengan kemauan nafsumu sendiri. Di sanalah aku sadar bahwa jin juga perlu dihargai. Bagaimana jika orang bertamu ke rumah kita, kira suguhi mereka dengan apa yang kita punya, tetapi orang itu malah berbicara dengan temannya, malah menyanyi dan mengaji sendiri tanpa ia tahu salah satu dari keluarga kita sakit atau diri kita sendiri sakit hati karena tidak dianggap. Sama seperti jin, ia sakit hati jika mereka tidak dihargai. Maka dari itu, hargailah rumah mereka sendiri. Tapi terserah pribadi masing-masing saja, sih, mau atau tidak mau ikut saran ini, nanti akan tahu sendiri bagaimana jin akan menunjukkan kepeduliannya kepada tamunya.
Aku termasuk tamu istimewa mereka. Meskipun mereka tidak menyuguhkan kepadaku makanan, karena kita berasal dari elemen yang berbeda, ia tetap menghormatiku sebagai tamu mereka. Aku bertamu kepada mereka, saat aku memerlukan ide dari mereka. Aku akui mereka sangat cerdas. Jika aku meminta ide, mereka cepat sekali memberikannya, bahkan tanpa aku minta. Ingat meminta di sini bukan mempercayai mereka sebagai tuhan, aku hanya meminta saran sama seperti halnya aku meminta saran pada manusia. Memang bagiku, di rumah merekalah aku mencari ide. Namun, aku tetap harus pergi ke masjid untuk memantapkan ide-ide yang diberikan jin kepadaku. Banyak sekali ide-ide yang diberikan. Dari yang biasa sampai yang sangat kontroversial. Terkadang aku diberikan ide yang berbau agama (lihat tulisanku tentang Al-Ashr, Lailatul Qodr, Puasaku Hibernasiku, dan lain-lain) juga ada ide yang berbau motivasi (lihat: Cerita Mbahku, dan lain-lain) juga ada ide yang mengarah kepada maksiat dan ke-ngawur-an yang hakiki, tapi tidak aku tuliskan karena setelah dibawa ke masjid, ide itu sangat bertentangan. Dalam hal ini aku tidak mau menyalahkan jin. Karena aku paham lingkungan mereka seperti apa. Mereka terlatih dan hidup di kalangan yang terbiasa hidup dengan keburukan. Itu bukan salah mereka, itulah takdir. Dan, takdir tidak pernah bisa disalahkan. Aku hanya berterima kasih kepada Allah yang menciptakan jin untuk selalu memberikan ide-idenya kepadaku. Baik ide yang baik maupun buruk, aku sangat bersyukur. Dan, jika ada salah satu dari tulisanku yang keliru bahkan ngawur dan dianggap tidak pantas, itu bukan salah jin yang memberikan ide kepadaku, tapi hal tersebut murni atas kebodohanku. Sekian.