Penulis: Zamzam Qodri
Editor: Sabitha Ayu Nuryani
Di negeri Agung Kota Gedhe, terdapat kampung yang sangat terkenal di seluruh negeri Agung. Namanya Kampung Julet. Kampung ini terkenal karena banyak mitologis, filosofis yang melatarbelakangi munculnya kampung ini. Bahkan tak jarang banyak orang di negeri Agung merespons dengan logis.
Mitologis yang berkembang di masyarakat terkait kampung ini adalah diawali cerita penjual cacing. Ia adalah orang paling miskin di kampungnya. Namun ia mempunyai prinsip untuk tidak meminta kepada orang lain. Awalnya ia hanya memancing di pinggir sungai bersama orang-orang untuk kebutuhannya. Namun, banyak yang mendiskriminasinya. Banyak yang cemburu karena hasil tangkapannya lebih gemilang dari yang lain.
Selain itu, hasil tangkapannya dirampas oleh preman suruhan orang terkaya di kota itu dulu. Si orang kaya itu ingin melihat si paling miskin itu mati dengan menikmati kesengsaraan. Dan keinginannya benar-benar terjadi. Ia menikmati kesengsaraan dengan berusaha sekeras mungkin. Orang termiskin itu tidak diam saja. Ia rela menjadi seorang penjual cacing. Dan di sinilah kemudian ia dipercayai karena kepiawaiannya dalam mencari cacing yang berkualitas sehingga membuahkan hasil tangkapan yang gemilang. Akhirnya dari sanalah ia menjadi kaya. Masyarakat memanggilnya Juragan Ulet (Juragan Cacing). Yang kemudian disingkat menjadi Julet.
Selain nama kampung itu berasal dari kisah singkat si juragan ulet, masyarakat ada yang menambahkan bahwa kampung itu juga karena ibrah (pelajaran) dari si Juragan Ulet tersebut. Yaitu, ulet yang berarti rajin atau tekun.
Dari legenda dan mitologi yang ada, tak sedikit orang di negeri Agung yang melogiskannya. Hingga pada seorang penjual nasi goreng pun ikut serta dalam hal ini. Sebut saja namanya Pak Jumali. Meskipun ia penjual nasi goreng, tapi pikirannya tak bisa dibilang mentah. Nasi dan pikirannya ia goreng sampai matang.
Kisah si Juragan Ulet di atas juga diketahui Pak Jumali. Ya, maklum saja, kisah tersebut sudah menjadi kisah yang wajib bagi penduduk Kota Gedhe. Kisah itu juga ia ceritakan pada keluarga terutama anaknya. Banyak yang ia ceritakan bahkan sampai berepisode. Tapi, tentu ia sedikit menambahkan pemanis dari kisah itu. Kadang disisipi romance, humor, bahkan horor. Hal itu ia lakukan, selain agar tidak bosan, juga agar anaknya merasa terhibur dan tergugah jiwa dramatisnya. Namun, yang penting bagi Pak Jumali adalah nilainya.
Ia selalu memberikan pelajaran kepada keluarga terutama anaknya untuk mengambil nilai baik dari apa pun. Dan tak lupa, ia selalu mengingatkan bahwa nilai yang baik akan semakin baik jika kita melihat nilai itu dengan kebenaran yang terjadi. Meskipun nilai itu didapat dari sebuah mitos.
Ketika menceritakan kisah tersebut, ia selalu menghubungkan dengan fakta yang terjadi. Seperti ketika Fani, anaknya curhat kepadanya soal teman-temannya yang tidak pernah menggubrisnya saat ia hendak bertanya ataupun mengajak mereka berbicara. Ada yang menggubris, tapi hanya sebagai rasa kasihan saja alias tidak benar-benar menggubrisnya.
Mendengar itu, Pak Jumali ingin menasihatinya tentang sombong yang bijak. Pak Jumali bukanlah tipe orang yang menasihati dengan to the point. Ia perlu bercerita untuk menasihati.
“Nak, dulu setelah si Juragan Ulet itu kaya, ia pernah dicurhati oleh salah seorang dari orang miskin di kampung itu. Si miskin mengabarkan bahwa ada orang kaya yang sombong lagi pelit. Si miskin pun bertanya, ‘Apa pendapat Anda soal orang kaya tersebut? Ia sombong dan pelit! Kita usir saja dari kampung ini!’ Lalu si Juragan Ulet itu menjawab, ‘Jangan! Kita biarkan dia tetap di sini. Biar tidak sakit hati, jangan anggap dia masalah. Anggap saja dia angin lalu. Dan yang paling penting, kita harus melihatnya bukan sebagai orang pelit tapi anggap saja ia orang yang tak mampu (miskin).’ Jadi, kau paham maksud Bapak? Anggap saja mereka miskin akan pengetahuan, sehingga tak mampu menjawab pertanyaan borjuismu. Jangan pernah kau anggap mereka tak mau menggubrismu karena mereka benci padamu. Ya memang segitu kemampuan mereka.” (NB: Nasihat Pak Jumali ini bisa juga untuk kita yang membalas chat orang lain dengan sesingkat-singkatnya dan dalam tempo yang lama, hehehe).
Mendengar cerita utuh dari bapaknya, ia menganggukkan kepala dan mengembangkan bibirnya. Selain itu, Pak Jumali pernah berkeinginan untuk menjelaskan kepada anaknya tentang kemaslahatan. Ia berkata, “Nak, si Juragan Ulet itu orang bijak dan baik. Makanya kampung ini berangkat dari nama dan jasanya. Karena setelah ia kaya, banyak orang miskin dibantu olehnya. Dibuatkan pekerjaan. Dan tak jarang ia membiayai pendidikan, kesehatan, kesejahteraan orang miskin di sekitarnya. Pokoknya orang miskin di sana dibuat sadar bahwa meskipun ada kelas antara borjuis dan proletar, keduanya tetap sama di hadapan Tuhan. Saling membantu adalah kewajiban.
“Hal ini terbukti sampai sekarang kan? Budhe Vina, tetangga sebelah kita adalah orang kaya. Meskipun kita miskin, apakah kita pernah merasa miskin? Tidak kan? Ya… Karena dia juga tau kisah si Juragan Ulet sehingga ia rela memberikan salah satu stand lamanya untuk Bapak bukakan lapak nasi goreng.”
Pak Jumali melihat bagaimana Julet adalah kampung yang sangat rukun. Kaya-miskin semua ikut urun. Mindset yang dibangun adalah yang kaya membantu yang miskin, yang miskin juga membantu yang kaya. Semuanya saling membantu, bukan si kaya penguasa dan si miskin babu. Semua dilakukan hanya demi kemaslahatan bersama. Kemaslahatan yang berangkat dari kebenaran.