
Doc. Google
Pembahasan tentang Khilafah menjadi sebuah yang sangat fundamental di kalangan pengikut Organisasi Hisbut Tahrir (HT). Keadaan yang demikian itu menjadikan Khilafah sebagai nilai dan tujuan yang diperjuangkan oleh pengikut HT. Khalayak Indonesia pernah gempar karena Dekrit Presiden tentang pencabutan izin Organisasi Hisbut Tahrir yang selama ini dinilai menjunjung tinggi sistem dogma khilafah. Hal yang melatarbelakangi pencabutan izin Organisasi Hisbut Tahrir dikarenakan Hisbut Tahrir dinilai menolak paham Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengingkari tentang ideologi negara yakni Pancasila. Akibat dekrit tersebut, terjadi kontroversi di khalayak umum, kubu pro dan kontra pun muncul dan menciptakan sebuah perang gagasan dan wacana tentang porsi Khilafah di dalam peraturan politik dunia.
Model pemerintahan Khilafah sendiri sangat subur pembahasannya pada beberapa golongan yakni Hisbut Tahrir, Syiah, dan ISIS. Masing-masing mereka ingin merealisasikan sebuah proyek besar politik yakni Khilafah. Berbekal dengan idiom-idom agama, golongan mereka mencari legetimasi umat Islam untuk memperoleh simpati dan mendukung gagasan mereka tentang Khilafah. Hal ini terlihat ketika Taqiyyudi An Nabani mendirikan Hisbut Tharir pada tahun 1953 di tanah Palestina. Beliau menggagas sebuah kepemimpinan Islam yang transnasional, hal ini dikarenakan runtuhnya Daulah Islamiyah Turki Usmani yang selama ini bertahan sebagai salah satu kekuatan Islam yang mewarnai wajah perpolitikan dunia. Dengan dalih seperti itu Taqiyyudin An Nabani ingin membangkitkan kembali kekuatan Islam berbasis Khilafah Ala Manhajin Nubuwwah..
Dengan menggunakan ayat “Inni jailun Fil Ardhi Khalifah” semangat Taqiyuddin menggelora untuk mendirikan sebuah kekuatan besar Islam yang tidak terbatas pada teritorial bangsa. Menurut ajaran Hisbut Tahrir pun sistem-sistem dunia seperti Demokrasi, Liberalisme hanya sebuah kedok untuk meruntuhkan marwah persatuan Islam. Hisbut Tahrir pun acapkali menolak paham bangsa-negara, yang menurutnya hanya memetakan kekuatan Islam pada batas-batas teritorial tertentu.
Semangat Khilafah yang dibawa oleh pengikut Hisbut Tahrir sampai di Indonesia oleh Ustadz Abdurahman Al Baghdadi yang mengenal HT di Libanon dibawa ajarannya ke Indonesia pada Tahun 1983. Lalu dalam perkembangannya, Hisbut Tahrir eksis dalam gerakan keislaman bisa dikatakan militan dan berusaha agar gagasannya bisa teralisasikan. Pergerakan yang militannya pun acap kali dianggap eksklusif oleh khalayak umum. Kontroversi yang muncul dari Hisbut Tahrir Indonesia pun mencapai puncak saat mereka ingin mengganti konsep kebangsaan Indonesia yang awalnya Negara Kesatuan berideologikan Pancasila, dengan sebuah konsep Khilafah yang berlandaskan Syariat Islamiyah.
Dengan menggunakan syariat islam sebagai modal awal bernegara dan menjadikan seluruh struktur kebangsaan sesuai dengan apa yang mereka katakan sebagai konsep struktur Khilafah. Hal ini mengingatkan kita saat kejadian Eropa yang memberikan sebuah sentuhan konsep negara teokrasi yang menjadikan agama sebagai landasan awal. Kita perlu mengaca atas masa kelam Eropa yang saat itu menajadikan negara dengan konsep teokrasi, yang akhirnya mendorong para pemangku agama pada lingkaran kotor perpolitikan bangsa.
Refleksi Nilai Nusantara
Sebelum Islam masuk di Nusantara agama-agama lain telah tumbuh subur di tanah Nusantara ini, mulai dari Hindu, Buddha, Kapittayan, Toisme, Animisme hingga Dinamisme. Sejarah bangsa ini yang panjang dengan segala bentuk problematiakanya berusah membangun sebuah peradaban yang baik dan memunyai nilai budi yang tinggi. Hal ini terbukti dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular yang ditemukan oleh ilmuwan belanda J.L.A Brandes tahun 1894. Di dalam kitab karangan Mpu Tantular yang ia persembahkan atas kejayaan Majapahit, membicarakan tentang sebuah gagasan yang cukup besar. Saat itu Mpu Tantular membuat gagasan besar tentang keharusan harmoni sosial antara para pemeluk agama Buddha dan Hindu Syiwa.
Gagasan besar tersebut menjadi idiom bangsa yakni “Bhineka Tunggal Ika tan Hawa Dharma Mangraw” (Berbeda apapun, tetapi tetap satu jua. Tidak ada kerancuan dan kebenaran). Dalam gagasan besar tersebut tersurat makna bahwasannya Nusantara telah mencapai peradaban tinggi dimana agama dijadikan sebagai jalan dan tujuan. Sedangkan budi pekerti dijadikan sebagai asas-asas dalam berbangsa dan bernegara.
Disinilah peradaban besar Majapahit justru hadir saat agama dijadikan jalan dan tujuan daripada dijadikan azaznya. Setelah kejayaan Majapahit kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam hadir mengantikan sebuah Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak yenag berakar dari anak kandung dari selir Raja Brawijaya V yang memeluk agama Islam dan menjadi raja di kerajaan pertama Islam yakni di Demak.
Kejayaan Demak berhasil mewarnai perpolitikan tanah jawa, meski Samudra Pasai telah mencapai zaman ke emasannya di tanah sumatra. Demak yang digawangi oleh para wali songo berhasil menyebarkan Islam yang menonjolkan budi pekerti Islam, daripada atribut-atribut Islam dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa ini. keberhasilan Demak yang tidak terlepas dari sepak terjang wali songo yang selalu melakukan asimilasi hingga akulturasi antara Islam dan tradisi-budaya tanah jawa.
Di dalam sejarah wali songo para penyebar islam tanah jawa ini, cukup cakap dalam membaca kemapanan peradaban tanah jawa, dan lebih memilih untuk tidak mengenalkan Islam dengan formalisasi agamanya. Cara yang demikian ini ternyata justru berhasil menyebarkan Islam yang dulunya beragama Hindu-Budha menjadi mayoritas para pemeluk Islam.
Keberhasilan-keberhasilan di masa lalu inilah, yang telah menorehkan tinta emas sejarah Nusantara. Hal ini lah yang mengilhami para faundhing father negeri ini untuk berkaca, dan mengimplementasikan dalam kontes berbangsa dan bernegara dalam konteks masa kini.
Khilafah Nusantara dalam Konteks masa Kini
Ketimpangan pemahaman yang acapkali menjadi dikotomi antara wacana berbangsa dan beragama lahir, saat sebuah konsep dianggap tidak selaras. Kebekuan dalam memaknai tafsir pun manjadi salah satu pengikut Hisbut Tahrir untuk terpaku dalam perangkap konsepsi Khulafah Transnasioal. Sudah seharusnya bagi umat Islam masa kini tidak terpaku pada konteks tersebut, karena kita harus berkaca pada kesuskesan nenek moyang kita dalam menata sebuah peradaban Nusantara.
Memang paham Khilafah yang marak pada gagasan Hisbut Tahrir yang saat ini menjamur di kalangan para pengikut Hisbut Tahrir memaksa penulis untuk melakukan refleksi dan membuah gagasan kontra narasi untuk menghilangkan dikotomi yang selama ini terjadi. Menurut penulis, semangat Islam yang dibawa oleh pengikut Hisbut Tahrir bisa diapresiasi, lantaran mereka juga ingin menciptakan sebuah posisi dimana di sana ada sebuah harmonisasi sosial dimana syariat Islam dijadikan sebagai pijakannya.
Namun hal ini sudah tidak bisa diterapkan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia, lantaran Indonesia sudah menetapkan sebuah falsafah negara yakni Pancasila sebagai pijakannya dalam berbangsa dan bernegara. Tidak hanya itu dalam segi hukum pun Indonesia mengadopsi hukum Belanda yang menjadikan sebagai hukum negara ini dan sudah menjadi ketetepan yakni Undang-undang Dasar 1945. Dari sinilah hal-hal yang bersifat prinsipil sudah dianggap final dan tidak bisa diganggu gugat.
Kesepakatan inipun sudah berdasakan para founding father yang beranggotakan para pemuka agama Islam. Kesepakatan ini acapkali digugat oleh para penganut Hisbut Tahrir Indonesia karena dinilai sebagai pembuatan hukum yang mengingkari hukum Tuhan. Dalam jargon besarnya “La Hukma Illallah” (tidak ada hukum kecuali hukum Allah ), para pengikut HTI mempertanyakan konsepsi NKRI ini. Jika penulis tarik dengan insiden Piagam Madinah akan kita dapati sebuah refleksi bahwasannya dalam membentuk sebuah negara, perlu kiranya memberikan sebuah konsepsi yang dapat diterima secara kolektif oleh masyarakat Yastrib saat itu. Melalui Piagam Madinah pun Nabi Muhammad tidak menuliskan gelarnya sebagai seorang rasul melainkan hanya nama beliau saja. Hal ini lanataran untuk menghormati umat agama lain yang belum mengakui Muhammad sebagai seorang utusan.
Dari sinilah ternyata ada sebuah suri tauladan yang ditunjukan oleh Nabi untuk memberikan nilai ketimbang memperlihatkan formalitas Islam sebagai agama. Tidak berhenti pada hal tersebut, ternyata bangsa Indonesia pernah melalui sejarah panjang dalam mentapkan konsepsi bangsa ini. Dahulu kala saat penetapan landasan kebangsaan banyak yang menginginkan bangsa Indonesia berdasarkan dengan syariat islam. Hal ini terbukti oleh aksi-aksi pemberontakan DI/TII pada awal lahirnya negara indonesia. Namun hal ini tidak mengurungkan niat bangsa ini untuk tetap menyepakati Pancasila sebagai nilai final bangsa ini.
Sistem Khilafah yang diusung oleh pengikut Hisbut Tahir Indonesia mengalami alinieasi, lantaran Khilafah yang dijunjung oleh HTI ingin merombak sistem dan struktur bangsa Indonesia. Menurutnya sistem sekarang ini gagal untuk menciptakan harmoni sosial. Mereka lupa bahwa Khilafah adalah sebuah yang belum final hal ini lantaran sistem yang dianut oleh mereka berasal dari peristiwa-peristiwa di masa lampau.
Khilafah yang dianggap sebagai doktrin agama untuk direalisasikan, sangat tidak relevan, hal ini lantaran tidak ada satupun nash ataupun hadis yang menjelaskan tentang hal ini. Seperti dalam pemilihan Khilafah dalam buku Sistem Baku Khilafah Islamiyah yang ditulis Irfan Abu Navved dan Yuana Ryan Tresna, dalam melakukan sebuah pemilihan Khilafah maka perlu adanya orang yang ditunjuk untuk melakukan pemilihan terhadap Khalifah. Hal inipun berdasarkan atas peralihan masa kepemimpinan Imar nin Khattab ke Usman bin Affan yang saat itu Khalifah Umar mengutus lima orang untuk menentukan pilihan yang bisa dijadikan sebagai seorang Khalifah berikutnya. Hal ini sudah menjadi nota jelas bahwasannya Sistem Khilafah yang didasarkan pada pengalaman terdahulu.
Inilah ketidakbakuan Lhilafah dalam prespektif mereka, yang menjadikan bahwasannya Khilafah adalah sebuah bentuk ijtihad yang sama saja seperti konsep kebangsaan Indonesia. karena itu konsep negara Indonesia ini bisa dikatakan sebagai Khilafah Nusantara. Hal ini juga untuk memoderatkan konsep Khilafah yang selalu menerima stigma lantaran kaku dan merupakan produk syariat islam.
Sudah barang tentu Khilafah seharusnya tidak dimaknai secara sepihak apalagi terminologinya diakusisi secara sepihak oleh golongan-golongan tertentu. Ada sebuah kejadian unik, saat kejadian batsul masail yang dilakukan oleh ulama Nahdhlatul Ulama’, yang memperdebatkan apakah ideologi dan konstitusi Negara Indonesia ini selaras dengan agama Islam. Saat itu perdebatan panas pun terjadi diantara para kyai yang hadir pada acara batsul masail, namun pemimpin batsul masail KH. Ahmad Shiddiq keluar dari kemelut pembahasan dengan pemikirannya yang sangat cemerlang “Jika Islam dijadikan sebagai asas maka masih terlalu rendah maka lebih baik Islam dijadikan sebagai tujuan dari kehidupan ini” (dikutip dari NU online Mengapa NU menerima pancasila).
Maka oleh itu perlu adanya pelebaran pemaknaan atas sistem Khilafah yang tidak melulu soal tekstualisasi agama. Karena sistem Khilafah pun adalah sebuah marwah semangat Islam yang harus kita upayakan untuk mengilhami segala pemikiran manusia seperti Demokrasi, Liberalisme hingga paham-paham lainya. Agar kita tidak perlu repot-repot untuk bertengkar secara gagasan untuk menyamaratakan konsepsi tentang Khilafah yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi masa kini. Karena ada sebuah pepatah yang mengatakan “Untuk membasmi tikus tidak usah repot-repot untuk membakar sarangnya” (Akbar)
Penyunting: Siti Fatimah