Oleh: El Rey
Aku terus memandanginya dari bangku belangkang kelasku, dia terlihat aneh dan berbeda dari yang lain. Dia selalu memakai pakaian seperti jubah. Ah, aku tidak tahu pasti apa namanya, dengan warna gelap. Aku pernah melihatnya sekali dengan pakaian berwarna biru muda. Aku penasaran ingin menyapanya. Tapi, bagaimana aku harus memulainya? Hm, aku mengingat sesuatu, tanpa berpikir panjang langsung aku search di google.
“Assalamualaikum.”
Tulisku di secarik kertas, lalu beranjak dari kursi dan berjalan untuk memberikan kertas ini padanya.
Dia tampak terkejut dengan kehadiranku, diambil kertasnya lalu membacanya. Dia mendongak memperlihatkan wajahnya yang selama ini nampak selalu menunduk. Aku tertegun seketika melihatnya. wajahnya terlihat sangat cantik. Ah tidak, wajahnya khas seperti wanita Timur Tengah. Bola matanya yang biru, bulu mata yang sangat lentik dan hidung yang mancung. Bibir dan pipinya sewarna, merah muda. Kontras dengan warna kulitnya yg putih. Batinku.
“Waalaikum.”
Hanya itu saja? Bukannya waalaikumsalam? Apa dia lupa untuk menulis kelanjutannya? Tapi kelihatannya tidak.
Aku masih memikirkan sesuatu, dan tetap berdiri di sebelahnya. Aku merasakan dia tidak nyaman dengan kehadiranku di sini, aku memikirkan bagaimana mulai menyapanya lagi. Aku bahkan berkuliah di Jepang hanya bisa berbahasa Inggris saja.
“Astaghfirullah, aku lupa.” Kata wanita yang sedang duduk di sebelahku. Dan kemudian, dia bangkit untuk berjalan meninggalkanku.
Apa yang dia ucapkan barusan? Apa dia bisa berbahasa Indonesia? Apa dia dari Indonesia?
“Hei tunggu, tunggu sebentar.” teriakku memanggilnya.
Dia berhenti tanpa memandangku, matanya tetap menunduk ke bawah seperti mencari sesuatu.
“Hei, aku di sini bukan di bawah sana. Lihatlah aku, aku hanya ingin berkenalan denganmu. Apa kamu berasal dari Indonesia?” tanyaku.
“Iya. Kenapa?” jawabnya ketus.
“Ah tidak, kenalkan namaku Kazuo Zen Naoki, teman-temanku biasa panggil aku Ken. Aku blasteran Jepang Indonesia, dan siapa namamu?” jawabku sambil mengulurkan tangan.
“Aku Aish.” jawabnya singkat sambil menangkupkan tangannya di dada. Lalu dia pergi meninggalkanku.
Hei, dia tidak membalas jabatan tanganku. Apakah tanganku ini tampak seperti banyak kuman? Sehingga dia tidak ingin menjabatnya. Ada apa dengannya menunduk terus, apa aku ini kelihatan sangat buruk sampai-sampai dia tidak melihatku.
“Hei, tunggu sebentar, kenapa kau selalu meninggalkanku di sini?” Aku terus mengejarnya, banyak mata melihatku aneh, aku hanya penasaran dengannya. Jarang sekali melihat perempuan berpakaian seperti itu, apalagi di Jepang.
Tak terasa satu tahun aku mengenalnya, walaupun tingkahnya tetap sama seperti awal kita bertemu. Dia terus menunduk, dia bilang di dalam agamanya perempuan dan laki-laki tidak boleh saling menatap. Zina mata. Ah, sampai seperti itu agamanya mengatur, sangat rinci dan detail. Mungkin dengan begitu dia tidak sembarangan menatap laki-laki.
“Humaira, sebentar lagi perpisahan. Kita gak bisa ketemu lagi. Jadi gak bisa gangguin kamu lagi. hahahaha” tawaku menggema di kelas, bagaimana tidak? Dia tampak menggemaskan jika diganggu, pipinya menampakkan warna merah jika dia tersenyum dan kesal. Menggemaskan bukan?
“Alhamdulillah, aku tidak lagi bertemu seseorang sepertimu.” dia berbicara sambil menatap buku dihadapannya.
Aku memanggilnya Humairah, nama yang cocok untuknya. Aisyah Humairah Ar-Rasyid. Nama yang indah. Ya, walaupun awalnya dia memaksaku memanggilnya Aish, aku tetap bersikeras memanggilnya Humairah. Pada akhirnya dia lelah terus berdebat denganku hanya demi sebuah nama.
Dia juga jarang sekali berbicara dengan orang lain, bahkan tidak. Sibuk dengan dunianya. Hanya aku yang mau berbicara dengannya, entah ada apa dengan diriku ini.
“Apa kamu akan kembali ke Indonesia setelah perpisahan nanti?” tanyaku memecah keheningan diantara kita. Dia memang tidak pernah bertanya kepadaku, sehingga aku harus selalu bertanya kepadanya. Ini sungguh tidak membosankan bagiku.
“Hmm, iya.” jawabnya ragu.
“Kenapa kau tidak menikah saja? Atau kau menungguku menikahimu ya?” tanyaku menggodanya.
“Ah a-apa, ti-dak. Aku tidak ingin saja.” Dia menjawabnya dengan gugup.
Hmm, ada apa dengannya. Padahal jika mau aku bisa saja menikahinya, toh di Jepang sendiri sudah biasa pernikahan dengan perbedaan keyakinan. Dan, aku sendiri sudah memiliki pekerjaan, jadi apa yang aku tunggu. Oke, aku akan secepatnya menikahimu Humairah.
Sehari setelah perpisahan, aku tidak lagi melihat Humairahku. Kemana dia, apa dia sudah pulang ke Indonesia. aku tampak gusar, bagaimana jika itu benar terjadi padahal aku belum menanyakan alamatnya yang berada di Indonesia.
“Oh Tuhan, aku kehilangannya. Bantu aku Tuhan.” Batinku,
Aku melihat sekeliling mencari sesuatu, siapa tahu dia berada di sini, tapi itu tidak mungkin. “Bodoh.” Aku membiarkannya pergi.
—
Lima bulan berlalu, aku seperti manusia hidup tanpa nyawa. Hari-hariku seperti membosankan. “Aku merindukannya. Sangat.” Gumamku lirih.
Hari ini aku pergi ke Indonesia, temanku memberitahuku bahwa dia telah bertemu dengan Humairah di suatu tempat. Dia menjalin kerja sama bisnis dengannya. Angin segar untukku.
“Oh Tuhan, Dewi Fortuna berpihak padaku kali ini.” Ucapku penuh kegirangan.
Aku sedang berada di Cafe yang temanku bilang, apa Humairah sering datang kesini? Aku berjalan mengelilingi Cafe untuk mencari keberadaan Humairah, dan benar aku menemukannya di sudut Cafe. Dengan siapa dia? Laki-laki. Apa itu pacarnya? Ah, tidah mungkin.
Aku berjalan mendekatinya untuk mendengarkan percakapan antara Humairah dan lelaki itu, tampak serius kelihatannya. Aku sengaja menutupi wajahku dengan masker dan berpura-pura membaca majalah di sebelahnya.
“Aish, aku mencintaimu. Kita bisa saling mengenal dulu dan kemudian kita menikah.” Lelaki itu tampak memohon di hadapan Humairah. Apa-apaan ini berani-beraninya dia mendekati Humairahku. Aku berusaha bersikap tenang dan terus mendengarkan obrolan dari mereka.
“Maaf Adnan, aku tidak ingin bermain-main dengan cinta.”
Oh, namanya Adnan. Berani-beraninya mengajak Humairah berpacaran, awas saja.
“Apa kita langsung menikah? Aku siap, kapan? Sekarang? Aku siap, Aish.” Jawabnya memelas.
“Maaf Adnan, aku menunggu seseorang. Aku tidak bisa menerimamu, sekali lagi maaf.”
Humairah langsung pergi meninggalkan lelaki itu. “Dia menunggu seseorang? Siapa?” Aku merasa sedikit nyeri dihati mendengarnya.
Sekarang, aku berada di rumah besar, entah rumah siapa ini. aku berusaha untuk melihat dari balik pintu apa yang terjadi di dalam.
“Tenang Aish istighfar, jodoh itu Allah yang atur. Doakan saja dia mendapatkan hidayah dari Allah, jangan sampai kau gadaikan imanmu hanya untuk cinta.” Ucap lembut wanita itu, dengan tangannya mengusap lembut kepala Humairah yang tertutupi kerudung.
Apa maksudnya? Iman? Aku tidak mengerti. Akan aku cari tahu, Untukmu, Humairah. Aku tidak ingin kehilangan dua kali lagi.
—
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Aku mengetuk pintu rumah ini dengan gugup.
“Bismillah, ente pasti bisa.” Ucap pria disebelahku
“Waalaikumsalam, sebentar.” Jawab seseorang dari dalam rumah ini.
Sambil membukakan pintu merapikan kerudungnya, dia tampak kaget melihatku.
“Ke-ken? Kamu Ken kan?” dia tampak bingung dengan kehadiranku disini.
“Iya, bolehkah aku masuk berbicara dengan Abimu?” aku tersenyum melihatnya, Ya Allah. Dia tampah lebih cantik dari terakhir aku bertemu dengannya.
“Silahkan masuk Ken, sebentar aku panggilkan Abi dulu ya.” Dia kelihan senang dengan kehadiranku disini, dan berlari kecil untuk memanggilkan Abinya.
Di depanku sudah ada Abi dan Uminya Humairah, aku tampak gugup lagi untuk memulai pembicaraan. “Insya Allah, Bismillah.” Ucap seseorang di sebelahku dengan berbisik.
“Bismillah, Abi Umi perkenalkan nama saya Ahmad Ken Kazuo dan ini teman saya Ustadz Ali Al-Ayyubi.” Gugup sekali aku memperkenalkan diri. Mereka tampak bahagia mendengarkan namaku, iya namaku. Terlihat senyum yang merekah di bibir Abi dan Umi.
“Kedatangan saya ke sini untuk meminang Anak Abi, Aisyah Humairah Ar-Rasyid, apakah Abi dan Umi bersedia menerima pinangan saya?”
“Allahu Akbar.” Terdengar suara seseorang dari balik tembok