Penulis: Zamzam Qodri

Editor: Sabitha Ayu Nuryani

Sumber: https://tarbiyah.net/surat-al-ashr-terjemah-per-kata/?amp

Sejak kecil aku diajarkan untuk mengaji oleh orangtuaku. Belajar dari tempat satu ke tempat yang lainnya hingga aku benar-benar bisa membaca Al-Qur’an dengan tepat. Bukan hanya Ilmu Al-Qur’an, ilmu agama dan ilmu umum pun juga dituntut. Meskipun sering juga ditemani dengan yang namanya rasa malas. Dari setiap pembelajaran, mulai dari sekolah pada pagi hari sampai waktu mengaji pada sore hari, aku dikenalkan dengan dia, yaitu Surat Al-‘Ashr. Setelah pelajaran usai, aku selalu bertemu dengan dia hingga aku terbiasa dengannya.

Entah mengapa, seiring berjalannya waktu, seakan Al-‘Ashr ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Tapi aku tak bisa mendengarkannya. Namun aku tidak menghiraukannya. Dan ketika belajar pun ia selalu menungguku pulang. Hingga pada akhirnya ia mengatakan kepadaku, “Demi waktu. Sesungguhnya manusia dalam kerugian yang nyata. Kecuali dia yang beriman, beramal sholeh, saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran. Entah mengapa aku merasa ia memberikan lampu kuning sebagai peringatan agar aku tidak menjadi orang yang rugi. Tapi sayangnya hal itu hanya berjalan beberapa saat saja. Aku lebih memilih teman-temanku daripada dirinya. Aku kembali pada aktivitasku yang setiap hari melakukan kesalahan. Aku suka mencela, menghina, bahkan menyakiti orang lain. Setelah belajar di sekolah dan di madrasah, aku tak mengulang pembelajaran, bahkaa aku membuat mainan buku dan Al-Qur’an yang aku bawa. Namun lagi-lagi dia, Al-‘Ashr, datang untuk mengingatkanku. Tapi perlakuanku kepada sama, yaitu mengabaikannya. Hingga pada akhirnya, aku dimarahi orangtuaku karena tingkahku itu. Aku dipukul hingga aku menangis. Dan di sanalah aku mulai menerima Al-‘Ashr menjadi temanku. Ia selalu mengingatkanku saat aku mencela orang lain, saat aku merendahkan orang lain, saat aku dinasehati orang lain. Aku diingatkan untuk selalu menerima nasehat orang lain dan ia selalu mengingatkan aku untuk saling menegur bila orang lain khilaf. Hingga aku tahu bahwa sebenarnya dia adalah teman yang istimewa bagiku. Aku senang dengannya dan ia senang denganku.

Setelah lama aku berteman dengannya, entah mengapa aku bosan dengannya.  Bagaimana tidak bosan, aku disuruh menasehati orang lain ketika orang lain khilaf sedangkan orang itu akan marah padaku jika orang itu aku ingatkan? Bagaimana tak bosan jika setiap hari aku disuruh untuk menerima nasehat orang lain, sedangkan orang itu akan memanfaatkanku dengan nasehatnya? Dan jika aku memberontak, seakan dia mengatakan kepadaku bahwa aku menjadi orang yang tak beriman dan beramal sholeh, hingga termasuk orang yang rugi. Aku bosan dengan dia. Dan aku putuskan untuk merdeka dari tuntutannya, aku ingin hidup dengan pikiranku sendiri. Dan pada akhirnya pula, aku putuskan untuk mengusirnya pergi dari hidupku. Aku tak mau mengingatnya lagi.

Dan ia pun pergi dari hidupku. Entah mengapa aku sedikit merasa tenang sejak kepergian dirinya dari hidupku. Aku bebas, aku merdeka dan berdaulat. Aku merasa akan melakukan apa pun yang menurutku benar. Aku tetap menuntut ilmu, malah aku lebih maju dari sebelumnya. Padahal menuntut ilmu adalah isi dari perkataan Al-‘Ashr. Tapi pada saat itu aku merasa bahwa itu bukan karena dia, tetapi karena kesadaranku sendiri untuk belajar. Pada saat itu aku merasa lebih semangat untuk belajar. Tetapi aku jumawa, aku bangga terhadap diriku yang sangat senang menuntut ilmu ke sana ke mari. Banyak sekali yang aku lakukan termasuk mengajarkan ilmu kepada mereka yang membutuhkan. Semua aku lakukan dengan rasa jumawa. Sekali lagi, karena pada saat itu aku merasa hidup merdeka dengan pikiranku sendiri tanpa adanya intervensi dari mana pun dan tanpa aku sadari bahwa saat itu pikiranku sendirilah yang memperbudakku. Aku lengah terhadap hal itu.

Seperti yang ada dalam siroh nabawiyah, bahwa ada budak yang bernama Wahsyi yang menjadi budak Umayyah bertahun-tahun lamanya. Dan setelah ada kesempatan untuk bebas, yaitu pada saat Hindun yang juga sebagai tuannya menyuruhnya untuk membalaskan dendamnya kepada Hamzah R. A. dengan menombak dadanya. Selain kemerdekaan, Wahsyi akan diberikan semua perhiasan milik tuannya tersebut. Ia pun berhasil membunuh Hamzah dengan tombaknya. Maka, sesuai perjanjian diawal dengan tuannya, ia dibebaskan dari perbudakan dan menerima harta tuannya. Namun, ia tidak sepenuhnya bebas, karena ia sedang diperbudak lagi oleh tuan yang lain, yaitu harta. Tetapi berkat sikap baik Nabi Muhammad, Wahsyi bisa selamat dengan memeluk Islam walaupun ia sudah membunuh paman nabi, Sayyidina Hamzah. Sama seperti halnya aku, setelah lama merasa menjadi budak Al-‘Ashr, aku juga menjadi budak pikiran merdekaku sendiri, hingga aku tergelincir pada kehinaan yang terpoles oleh indahnya permainan pikiran. Sampai perbuatan tercelaku dengan merendahkan orang lain tidak tampak hina, bahkan sebaliknya, yang tampak adalah kelumrahan dan kebiasaan serta hampir mencapai tingkat kebenaran. Hal itu karena pikiran pandai memoles hal itu.

Tapi alangkah beruntungnya aku karena di saat lengah dari sikap terhinaku, ia, Al-‘Ashr kembali padaku. Ia kembali mengingatkanku. Namun kali ini dia menyampaikan lewat lisan seseorang yang sangat cerdas. Hingga polesan kalimat untuk perbuatan hinaku ia rasakan kehinaannya. Entah bagaimana ia bisa mengamalkan isi dari perkataan Al-‘Ashr kepadaku waktu dulu. Apakah dia juga berteman dengan Al-‘Ashr? Apakah Al-‘Ashr yang mendekatinya? Ataukah dia yang mendekati Al-‘Ashr? Apa pun jawabannya, baik Al-‘Ashr yang mendekatinya atau dia yang mendekati Al-‘Ashr, aku tak peduli. Aku hanya ingin berterima kasih kepadanya karena sudah mengingatkanku pada Al-‘Ashr.