
Doc: Forma
Oleh: lux
Skeptis secara sederhana berarti meragukan atau menyangsikan. Sedangkan dalam KBBI, lebih jauh, skeptis memiliki arti kurang percaya, ragu terhadap ajaran, yang bisa saja disebabkan oleh penderitaan atau pengalaman. Secara lengkap skeptis memiliki pengertian sikap mempertanyakan segala sesuatu, meragukan segala bentuk informasi yang diterima, serta mewaspadai segala hal, baik yang sudah pasti maupun yang belum pasti kebenarannya.
Skeptis sebagai sebuah sikap tidak diketahui secara pasti kelahirannya. Namun, yang jelas sikap skeptis sudah digunakan oleh filsuf Thales ketika mempertanyakan keabsahan dari mitos-mitos yang diyakini bangsa Yunani saat itu. Sedangkan skeptis digunakan sebagai sikap mencari kebenaran secara metodis pertama kali dilakukan oleh filsuf modern, Rene Descartes, pada abad ke-17 M. Sebelum pada akhirnya Descartes menjatuhkan pemikirannya kepada Rasionalisme dengan teori Cogito ergo sum-nya.
Skeptis yang awalnya digunakan sebagai metode keilmuan atau metode berfilsafat, diubah secara drastis oleh David Hume pada abad 18, Hume merubah skeptis dari hanya sekadar metode menjadi sebuah pemahaman. Berangkat dari empirismenya yang radikal, ia justru melahirkan aliran filsafat baru dengan nama skeptisisme. Sebagai sebuah pemahaman, secara sederhana ajaran dari skeptisisme adalah “Tidak ada yang pasti” atau “Tidak ada yang bisa diketahui”. Dalam skeptisime Hume, sikap skeptis tidak tidak hanya ditujukan terhadap satu objek, melainkan sagala hal yang ada di dunia ini, mulai dari metafisika, Tuhan, hingga skeptis terhadap adanya dirinya sendiri.
Skeptis Terhadap Tuhan dan Agama
Skeptis yang ditujukan kepada Tuhan dan agama memiliki banyak ragamnya, mulai dari keberadaannya, keabsahan atau kebenaran ajarannya, hingga sejarah-sejarahnya. Hume adalah salah satu filsuf yang berani secara eksplisit mengkritik agama dan segala ajarannya.
Hal pertama yang dikritik oleh David Hume ialah kemahasempurnaan Tuhan, dengan bukti adanya baik dan buruk di dunia, maka bisa disangkal bahwa Tuhan Maha Sempurna. Lebih jauh lagi, Hume juga meragukan terhadap keberadaan Tuhan itu sendiri. Bagi Hume, Tuhan tidak bisa diyakini ada atau tidak, karena tidak ada pengetahuan apapun tentang-Nya. Dengan kata lain, Hume mengatakan “Saya tidak mengatakan ‘Tuhan itu ada’, tetapi saya juga tidak mengatakan ‘Tuhan itu tidak ada’”.
Jika dari awal tidak meyakini keberadaan Tuhan, maka secara langsung atau tidak langsung ajaran agama juga diragukan. Hal yang paling diragukan adalah keabadian akhirat yang menurut kaum skeptis menjadi dasar ajaran dalam agama, seperti perintah ‘menyembah agar disayang Tuhan di akhirat’ atau ajaran ‘berbuat baik agar mendapat balasan yang baik pula di kehidupan akhirat yang kekal’. Ajaran yang didasarkan kepada hal yang belum bisa diketahui kebenarannya, Tuhan dan akhirat, adalah ajaran yang tidak bisa diyakini sama sekali keabsahannya.
Skeptis Terhadap Diri Sendiri
Keraguan kepada diri sendiri di sini bukanlah keraguan terhadap kemampuan atau kualitas diri, namun keraguan akan adanya substansi ‘Aku’ yang seringkali disebut kesadaran diri. Menurut Hume ‘Aku’ hanya persepsi, ide, dan kesan sampai terdapat suatu kesatuan ciri yang senantiasa ada dan melekat, singkatnya ‘Aku’ hanyalah “a boundle of perceptions”.
Persepsi ini seperti ‘tubuhku’, ‘tanganku’, ‘hatiku’, dan banyak lainnya. Persepsi ini sama dengan persepsi ‘sepedaku’, sepeda sebagai objek dimiliki oleh sebuah subjek, apabila sepeda disingkirkan maka ‘Aku’ tidak memiliki sepeda. Sama halnya dengan tiga persepsi di awal paragraf, apabila seluruh objek yang melekat dalam ‘Aku’ dihilangkan maka satu-satunya yang dimiliki oleh ‘Aku’ hanyalah ‘kesadaran’, kesadaran inilah yang masih diyakini ada oleh Descartes dan Berkeley. Namun bagaimana jika ‘kesadaran’ ini juga dihilangkan? Maka ‘Aku’ benar-benar hilang dan membuatnya menjadi non-entitas.
Paradoks dan Kejahatan Skeptisime
Telah disinggung dalam paragraf kedua bahwa hal yang diyakini ketika skeptis menjadi sebuah isme adalah “Tidak ada yang pasti” atau “Tidak ada yang bisa diketahui”, hal ini menimbulkan pertanyaan “Bagaimana bisa diketahui bahwa tidak ada yang pasti?” atau “Bagaimana bisa diketahui bahwa tidak ada yang bisa diketahui?”. Meyakini terdapat hal yang tidak pasti atau meyakini bahwa ada hal yang tidak bisa diketahui telah mengkhianati skeptisime itu sendiri yang mengharuskan terus bersikap ragu. Pertanyaan inilah yang akhirnya menjadi paradoks bagi skeptisisme dan kaumnya, di lain sisi paradoks ini menjadi argumen terakhir yang digunakan oleh orang yang ingin mengkritik skeptisime.
Ketika semua diragukan maka tidak ada satu hal pun yang bisa dijadikan pedoman dan tujuan bagi umat manusia. Umat agama Samawi memiliki tujuan Tuhan dan surga, serta kitab suci masing-masing sebagai pedoman. Umat Budha dan Hindu memiliki tujuan yang mirip yaitu bersatu dengan Tuhan dan meninggalkan rantai kesengsaraan (kehidupan), begitpun umat agama lainnya. Bahkan orang ateis masih memiliki pedoman ilmu pengetahuan dan meyakini adanya sisi spiritualitas manusia, sekurang-kurangnya ia menjadi Tuhan bagi dirinya sendiri. Namun orang yang menjadikan skeptis sebagai ideologi, meragukan keberadaan Tuhan, tentunya tidak dapat menjadikan Tuhan sebagai tuan bagi dirinya. Bahkan yang meragukan keberadaan dirinya, tidak dapat menjadi tuan bagi dirinya sendiri, membuat dirinya tidak memiliki tujuan hidup dan pedoman hidup. Menjadikan manusia merasa tidak memiliki apa-apa bahkan kepemilikian atas dirinya dan kesadarannya, sama halnya menghilangkan kenyataan akan keberadaan manusia itu sendiri. Dengan ini, dapat dikatakan skeptisisme telah berhasil menciptakan dan menjalankan kejahatan terkejam yang tidak bisa dilakukan oleh apapun dan siapapun di dunia ini, menghilangkan makhluk sampai titik ke-ada-annya.