Penulis: Farah Salma Nuraida

Editor: Habib Muzaki

 

Seperti kasus pergantian semester yang sudah-sudah. Pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) selalu menjadi permasalahan yang pelik bagi sebagian besar mahasiswa. Kesulitan ekonomi pada masa pandemi sudah menjadi kendala yang tak asing lagi. Namun hal tersebut sama sekali tidak menyurutkan semangat para orang tua untuk mencari rezeki agar kebutuhan anak-anaknya tercukupi.

Meski terkadang harus beradu argumen dengan para aparat negara tentang beberapa kebijakan yang mereka anggap penindasan hingga berakhir pertengkaran, mereka tak kehabisan akal untuk mencari jalan lain agar pendidikan sang anak tetap tercukupi.

Sebagai seorang anak, siapa sih yang tega melihat orang tuanya banting tulang demi mencukupi kebutuhannya? Apalagi adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang entahlah sudah level kesekian kalinya tambah mempersulit para orang tua mencari pundi-pundi rupiah. Sedangkan biaya kuliah harus dibayar penuh. Lalu hak mahasiswa tak kunjung didapatkan juga sebab selalu berjuang di balik layar kaca.

Puncaknya ketika waktu pembayaran UKT diumumkan dan berbagai poster pengaduan keberatan bermunculan. Ditambah juga dengan seruan meramaikan di ­Twitter menggunakan hastag #UINSARESAH #UINSABERGERAK. Juga berbagai aliansi mulai melakukan pergerakan. Beberapa dari mereka merasa menjadi mahasiswa paling menderita dan tidak mendapatkan hak apa-apa.

Parahnya lagi, tak jarang mereka melakukan hujatan dengan perkataan yang sangat tidak pantas apabila dilakukan oleh mereka yang tersemat jiwa berpendidikan. Seperti tuduhan kepada dewan pengajar bahwa mereka yang memakan gaji buta, bersenang-senang di atas kesulitan mahasiswa, bahkan menggunakan uang tersebut untuk kegiatan pribadi.

Di sini saya tak habis pikir bisa-bisanya dengan tanpa rasa bersalah tuduhan-tuduhan tersebut diberikan kepada beliau-beliau yang telah memberikannya ilmu yang sangat berharga. Meski yang dilakukan tak seberapa maksimal namun, setidaknya ada pengalaman-pengalaman menakjubkan yang dibagikan.

Hal semacam itu sempat saya temukan pada sebuah cuitan di Twitter, “Jan gitu pak buk. Saya sih bayar UKT, Cuma buat apa? Ngasih makan anak cucu bapak ibu?” Mirisnya pemikiran tersebut membuat ilmu yang mereka terima dengan sukarela hanya terbuang sia-sia karena kurangnya tata krama.

Padahal ketika saya mendapat beberapa rincian penggunaan keuangan mahasiswa, ternyata dosen (negeri) sama sekali tidak dibayar menggunakan UKT tersebut.

Saya mencoba lebih berpikir positif saja lah. Mungkin kedua orang tua mereka yang gemar berkoar-koar perihal keadilan mengalami kerugian akibat kebijakan pemerintahan. Mungkin dari hal tersebut dapat dimaklumi apabila terjadi aksi demonstrasi.

Tapi sebentar, bagaimana bisa mereka berteriak di barisan paling depan seolah tidak mendapatkan keadilan namun lalai dalam melakukan kewajiban? Iya, melakukan kewajiban sebagai seorang pelajar. Tugas saja keteteran giliran aksi demonstrasi paling terdepan. Kasus tersebut beberapa kali sering saya temui. Dimana selalu molor ketika waktu presentasi atau sering molor ketika kelas intensif. Giliran kegiatan aksi tak usah diragukan lagi.

Tapi yang perlu diingat adalah, jangan sampai berteriak di barisan paling depan seolah tidak mendapatkan keadilan namun lalai dalam melakukan kewajiban. Iya, melakukan kewajiban sebagai seorang pelajar. Tugas saja keteteran giliran aksi demonstrasi paling terdepan.

Ya saya mencoba berfikir positif lagi sajalah terhadap Tindakan tidak berasaskan tersebut. Mungkin saja mereka masih keberatan dengan adanya pengurangan UKT yang bisa dibilang terlalu kecil.

Tapi tunggu dulu, bagaimana kalau ada? Sebentar-sebentar saya berpikir sejenak terlebih dahulu mencoba mencari celah positif terhadap tindakan tidak berasaskan ini. Mungkin saja mereka masih keberatan dengan adanya pengurangan UKT yang bisa dibilang terlalu kecil.

Setelah saya berpikir lebih keras lagi saya teringat akan sesuatu. Di awal penentuan UKT pada mahasiswa baru dahulu, pasti ada data yang valid tentang kesanggupan dalam menentukan golongan pembayaran.

Jadi sangat tidak mungkin apabila hal itu di luar batas kesanggupan. Kalaupun hal tersebut terjadi, maka dengan adanya keringanan yang diberikan pihak kampus mungkin dapat menjadi sebuah toleransi terhadap kesulitan ekonomi.

Mungkin ada beberapa yang orang tuanya pengusaha dan terdampak pandemi hingga menyebabkan kerugian yang cukup besar. Bahkan hanya sekadar untuk membayar biaya makan saja kesulitan apalagi mencukupi biaya pendidikan.

Tetapi, setelah mencari data-data dan pengamatan kecil, lagi-lagi kejanggalan kembali terjadi. Ya, di tengah kesulitan ini, masih ada dari mereka yang ngopa-ngopi, check out Shopee dan lagi-lagi, nongki-nongki hepi sambil ketawa-ketiwi. Sedangkan para orang tua sibuk mencari rezeki berangkat pagi dan pulang kembali pagi lagi.

Sudah-sudah, pemikiran positif ini sudah kehabisan stok. Saya mulai muak melihat mereka yang berkoar-koar minta keringanan tapi tidak kritis melihat dirinya sendiri.

Bukankah salah satu syarat mencari ilmu harus ada finansial? Bahkan syarat tersebut saya temukan di salah satu kitab akhlak berjudul Tanbihul Muta’alim yang mempelajari tentang adab seseorang mencari ilmu ketika saya masih mengenyam pendidikan di pesantren. Hmm, itu hanya salah satu yang saya ketahui. Belum kitab-kitab atau dasar-dasar lainnya. Lalu mengapa masih dipermasalahkan?

Baiklah persoalan ini mungkin dapat sanggahan dengan, “Kami sudah bayar tapi tidak mendapatkan apa-apa.” Tapi tunggu, tidak dapat apa-apa? Dari pengalaman saya berkuliah di salah satu kampus negeri islam, tersedia kelas Intensif Bahasa dan Ma’had bagi mahasiswa baru. Di mana kelulusan tersebut sangat dibutuhkan untuk kedepannya kelak. Itu salah satu hak yang telah saya dapatkan.

Namun, lagi-lagi ada beberapa mahasiswa yang menyiakan-nyiakan kesempatan tersebut. Tidak mengikuti kedua kelas tersebut, kemudian dengan lantang berteriak, “Tidak mendapatkan apapun dari kampus”. Bagaimana ini konsepnya?.

Lalu ada lagi alasan di mana saya benar-benar tidak habis pikir.  Kalau tau orang tua kesulitan mencari uang untuk pendidikan ya harusnya membantu meringankan. “Sama orang tua disuruh fokus belajar. Bukan cari uang dan tidak boleh memikirkan perekonomian” justru dari sini, harusnya menjadi mahasiswa yang baik dan belajar bersungguh-sungguh agar dapat dibanggakan dan tidak menjadi beban.

Pendapat manusia memang berbeda-beda. Namun ingatlah, jika kamu merasa menjadi mahasiswa paling menderita. Lihatlah banyak orang yang tidak dapat merasakan berada di posisi mulia ini karena kendala biaya.