Oleh: Zamzam Qodri

Editor: Habib Muzaki

 

Bidang jurnalis banyak dikaitkan dengan pers dan wartawan. Biasanya bidang ini digeluti oleh mereka yang suka meliput, menulis, dan lain sebagainya.

Hal ini terjadi pada Muzadi, pria muda kelahiran Gresik, Jawa Timur. Pria muda berambut gondrong ini lahir pada 25 Desember 1997. Di usianya yang ke-20 tahun, ia berada di jurusan Studi Agama-Agama Universitas Islam Sunan Bungkul Surabaya dan aktif dalam Lembaga Pers Mahasiswa di kampusnya.

Setiap kasus di kampus ia liput. Banyak berita yang ia tulis dan terbit. Selain itu, tak sedikit karya tulis baik ilmiah maupun fiksi yang sudah ia buat.

Dari banyak tulisan yang terbit dari hasil tulisannya, tentu tak lazim bagi seorang penulis aktif tidak membaca buku. Dan ia adalah pembaca yang andal. Dari buku tebal sampai tipis, dari buku filsafat sampai komik anime pun ia khatam. Maka tak salah jika ia disebut sebagai mahasiswa kutu buku di kampusnya.

Ia lebih memilih warung kopi sebagai tempat membaca dan menulis, kecuali berita. Baginya, warung kopi adalah tempat yang mudah menemukan inspirasi untuk tulisannya dan memetik ibroh untuk buku yang dibacanya.

Pada suatu ketika, saat ia datang ke warung kopi di awal malam hari. Ia jalan menuju kasir pembayaran untuk memesan secangkir kopi hitam. Sembari menunggu kopi ia pun menyulut kreteknya. Asap mengepul di di kelopak matanya. Ia menikmati musik pop yang sudah disuguhkan oleh pihak warung. Dengan perlahan ia mengeluarkan buku dari tasnya. Kemudian membuka dan membacanya.

Kali ini ia membaca bukunya Nietzsche. Halaman demi halaman ia jelajahi. Walaupun dengan sering menggaruk kecil kepalanya, ia tetap asyik membaca. Bahkan ia sampai tak sadar jika kopinya sudah ada di depannya.

“Bang, kopiku mana?” sentak dia kepada penjaga warung.

“Lah, itu di depannya, Mas!” jawabnya.

“Oh, iya Mas. Kok gak bilang kalo udah jadi kopinya?” , balas Muzadi.

“Gimana mau bilang, di panggil aja gak denger.”

“Masak sih, Bang?” tanyanya lagi.

“Tanya aja sama yang lain.”

Setelah itu, ia pun menyeruput kopi hitam dan mulai membacanya lagi. Sibuk sekali ia membaca disambi ngopi, sampai tak terasa jika warung kopi mau tutup. Ya.. Walaupun hanya seperempat buku yang baca. Ia pun diusir halus oleh penjaga warung tersebut. Ia pun pulang dengan membawa kesimpulan di kepalanya. Dari buku Nietzsche yang ia baca tadi, ia menyetujui apa yang dimaksud oleh Nietzsche bahwa kehendak bebas itu penting bagi eksistensi dan independensi manusia.

Ia bukan mahasiswa krecek yang gampang terdoktrin. Ia menyetujui buku itu bukan berarti ia tak independen. Justru karena independen dalam dirinyalah yang membuatnya sepakat dengan buku itu. Akhirnya pun ia berinisiatif untuk menulis sesuatu sesuai kehendaknya. Semalaman ia hampir tidak tidur untuk menyelesaikan sebuah tulisan.

Tulisan dengan judul “Bu Rektor Bertubuh Seksi” pun diterbitkan satu hari setelah tulisan sampai ke meja redaksi. Namun sayangnya redaksi menolak tulisannya. Tapi ia tidak diam begitu saja. Tulisannya itu ia cetak sebanyak-banyaknya dan ia tempelkan di setiap mading kampus.

Dalam tulisan itu ia mau mengkritik rektor sesuai keinginannya. Dalam tulisannya ia sempat menyebutkan bahwa bu rektor memang ambil uang mahasiswa. Selain itu, juga ada sebagian pernyataannya yang menjadi sorotan mahasiswa se-kampus tentang hubungan intimnya dengan Bu Rektor. Berikut salah satu paragraf yang menjadi sorotan.

“Bu rektor adalah wanita karir. Meskipun hanya sebagai rektor, ia tetap bisa kaya layaknya pengusaha. Dan kampus kita adalah ladang bisnisnya. Tapi temen-temen jangan mikir yang negatif tentang dia. Dia itu orang baik. Setiap hari aku disuguhi payudara putih berlapis kain flanel. Tubuhnya indah bagai putri salju. Jarang aku temukan wanita yang akan memberikan itu pada lekaki. Terlebih rektor pada mahasiswanya. Ingat teman-teman mahasiswa, ia akan memberikan kepada kalian apa yang sudah ia berikan padaku, asalkan kalian menuruti kata-katanya.”

Banyak mahasiswa yang memotrenya dan memviralkan di media sosial. Hingga kasus itu sampai di telinga Bu Rektor. Dan dengan segera pihak kampus memberikan hukuman pada Muzadi. Ia di PHK (Putus Hubungan Kuliah) alias di DO dari kampus. Menerima itu ia pun kecewa. Kampus yang menjadi idamannya sejak SMA kini telah hilang begitu saja.

Dengan tindakan ceroboh yang menghasilkan kecewa itu ia kembali menenangkan diri di warung kopi. Ia kembali membuka buku Nietzsche yang belum sempat ia baca seluruhnya.

Seperti biasa ia duduk di pojok dengan secangkir kopi hitam dan kretek kesukaannya. Ia mulai membaca. Dan alangkah kagetnya ia ketika membaca lanjutan buku Nietzsche yang belum sempat ia baca kemarin.

Ia sadar akan apa yang ia perbuat. Semuanya ngawur. Memang kehendak bebas boleh melakukan apa saja. Tetapi tanggung jawab dan sikap siap menerima konsekuensi juga perlu dipersiapkan. Dan itulah isi buku pada halaman yang belum ia baca.

Mengetahui itu, ia merasa bersalah. Bukan karena ia tulisan kontroversinya, tetapi karena kebodohannya yang tak sabar menunggu sampai buku Nietzsche itu terbaca seluruhnya. Ia tak tahu cara menebus dosanya pada Bu Rektor. Semua masyarakat kampus membencinya setelah tahu bahwa tulisannya itu fitnah belaka.

Kemudian ia pun memutuskan untuk meminta pada Tuhan agar dipertemukan dengan Bu Rektor dan meminta maaf padanya sebelum ia mati.

Akhirnya ia pun mencari guru untuk memberinya pengetahuan terkait bagaimana ia bisa bertaubat. Dan bertemulah ia dengan Kiai kharismatik di mata masyarakat Gresik. Banyak karomah yang Allah titipkan pada beliau. Namanya, Kiai Muzaki.

“Assalamu’alaikum, Yai ” salam Muzadi.

“Waalaikum salam, Nak. Ada yang bisa saya bantu?” jawab Kiai Muzaki.

“Apakah taubat saya bisa terampuni, Yai?” rintih Muzadi.

“Allah Maha Pengampun, ia akan mengampuni segala dosa selain syirik dan dosa pada manusia.”

Mendengar jawaban dari Kiai Muzaki itu pun, Muzadi pergi begitu saja dengan raut wajah kecewa. Selang beberapa detik Kiai Muzaki pun menghentikannya.

“Tunggu, Nak. Jika kau melakukan syirik, sholat taubat dan bacalah sayyidul istighfar sebanyak-banyaknya. Tapi jika kamu berdosa pada manusia, mintalah ampun pada manusia itu!” pungkas Kiai Muzaki.

“Lantas bagaimana terampuni, sedangkan sukar sekali bertemu dengan manusia itu!” tanggap Muzadi.

“Kau bisa ikut denganku sekarang, Nak!\” perintah Kiai Muzaki.

Kiai Muzaki mengajak Muzadi kedalam ndalemnya. Sesampainya disana Kiai Muzaki meminta untuk menceritakan kejadian sesungguhnya. Selain itu, di sana ia juga banyak belajar soal agama Islam. Dari ilmu akhlak, fikih sampai tasawwuf. Dengan kata lain ia telah resmi menjadi murid Kiai Muzaki.

Sudah bertahun-tahun ia nyantri pada Kiai Muzaki, ia teringat akan dosanya yang dulu. Dan, ia merasa ia telah dipermainkan oleh Kiai Muzaki. Ia telah dibuat lupa akan dosanya itu. Pada malam hari usai kajian kitab kuning, ia menemui Kiai Muzaki untuk protes.

“Maaf, Yai, saya tidak tahu maksud anda. Yang jelas anda sudah melalaikanku dari dosaku pada rektorku.” lugas Muzadi.

“Oh, tentu tidak muridku. Justru aku ingin kau menebusnya sekarang!” ujar Kiai Muzaki dengan tenang.

“Tapi bagaimana, Yai?”

Lalu Kiai Muzaki memberikan undangan ceramah di suatu universitas. Dan, universitas itu adalah Universitas Islam Sunan Bungkul, tempat belajarnya dulu.

“Mau nggak? Kalo gak mau saya cancel aja,” guyon Kiai Muzaki.

“Mau, Yai. Terimakasih banyak, Yai,” ucap Muzadi dengan semangat. ”

“Oke, persiapkan dirimu besok pagi!” perintah Kiai Muzaki.

“Baik, Yai.”

Setelah menyaksikan kejadian itu, Muzadi sangat gembira dan tak sabar untuk menanti hari esok. Ia mulai membayangkan bagaimana bahagianya ia saat meminta maaf pada rektornya dulu. Ia sangat berharap dimaafkan oleh Bu Rektor tersebut.

Setelah lama membayangkan, akhirnya ia pun tidur juga. Dan, sampailah hari yang ia tunggu. Ia bangun petang untuk sholat tahajud. Ia berdoa kepada Allah untuk mengabulkan permintaannya agar segera terbebas dari dosa pada manusia.

Setelah sholat tahajjud, ia tak beranjak pergi dari masjid untuk tidur lagi. Ia berdiam di masjid dengan mengisinya dengan berdzikir sampai tiba waktu sholat subuh.

Seusai sholat subuh berjamaah, ia pun memasang telinga, pikiran dan hati untuk mendengar, memikir dan merasakan apa yang disampaikan Kiai Muzaki pada kuliah subuhnya. Setelah itu ia bersiap-siap untuk menjemput taubatnya. Ia datang kepada Kiai Muzaki.

“Kapan kita berangkat, Yai?” ujarnya tak sabar.

“Habis ini, Di. Makanlah dulu sama santri yang lain. Habis itu kita berangkat.”

“Baik, Yai.”

Muzadi pun pamit kepada Kiai Muzaki untuk meninggalkannya. Kemudian ia bergabung dengan para santri lainnya untuk makan bersama. Seusai makan, ia pun bergegas untuk menemui Kiai Muzaki. Dan ternyata Kiai Muzaki telah menunggunya di mobil sejak dari tadi. Melihat itu, ia segera mendekat dan menaiki mobil itu. Dan berangkatlah ia ke mantan kampusnya dulu.

Sesampainya di kampus yang dituju, Muzadi teringat kenangan masa lalunya. Dimana ia sangat brutal walapun dulu ia menganggap itu idealis. Hingga tanpa sadar ia tercengang menyaksikan itu semua.

“Apa yang membuat tercengang? Ingat masa dulu?” goda Kiai Muzaki.

“Iya, Yai. Banyak yang berubah”

“Iyalah, kamu juga berubah kan? Hehehe… Udahlah, Yang dulu biarlah berlalu. Sekarang sudah siap menebus dosa yang lalu?”

“Siap, Yai.”

Mereka pun bergegas mendatangi tempat yang telah disediakan panitia. Lama sudah acara berjalan, tetapi Muzadi tidak kunjung bertemu dengan Bu Fatma, mantan rektor yang ia sakiti hatinya dulu. Bahkan sampai Kiai Muzaki dipersilahkan untuk mengisi ceramah agama yang menjadi acara inti pada saat itu.

Melihat muridnya yang bingung, Kiai Muzaki pun memutuskan untuk memanggil nama Prof. Fatma, SAg,MAg. Kemudian wanita bertubuh langsing berdiri sebagai pengakuan bahwa dirinyalah yang bernama Fatma.

Melihat itu, kemudian Kiai Muzaki memanggil Muzadi keatas panggung agar menyampaikan maksud kedatangannya di acara itu. Lalu Muzadi pun berpidato,

“Saya Habib Muzadi. Berdirinya saya disini adalah untuk meminta maaf kepada Bu Fatma atas kesalahan saya. Mungkin Bu Fatma masih ingat siapa yang telah memfitnah Bu Fatma? Itulah saya. Mungkin Bu Fatma ingat kebodohanku saat itu? Maafkan saya, Bu. Waktu itu saya merasa sombong karena tulisan saya ditolak mentah-mentah oleh redaksi Lembaga Pers Mahasiswa pada zaman itu.”

“Padahal setiap saya menulis, apapun itu pasti diterima. Namun saat itu saya sangat kecewa. Dan, tanpa berpikir untuk menanyakan kenapa tulisan saya ditolak, saya nekat menempelkan kertas buruk saya itu di setiap mading yang ada. Yang dengan ulah bodoh saya itu, saya harus diusir dari kampus ini. Saya tidak menyalahkan Bu Fatma atas pengusiran saya dari kampus. Saya hanya kecewa mengapa saya sebodoh itu? Dan, sekarang saya mau minta maaf kepada Bu Fatma. Jika tak Bu Fatma tak sudi, biarlah kertas buruk yang sudah saya tulis dulu akan tercetak kembali sebagai amal burukku di akhirat kelak.”

“Bu Fatma memaafkanmu, Nak,” ujar mantan rektor yang sekarang menjadi Bu Nyai alias pembina Pondok Pesantren At-Taubah.

Mendengar itu, Muzadi mengucurkan air mata bahagia sambil sesenggukan hingga terdengar jelas suara senggukan Muzadi di sound system. Orang yang menyaksikannya pun ikut terharu, bahkan tak sedikit yang menangis.

Seusai pulang dari undangan, Muzadi memohon kepada Kiai Muzaki agar meninggalkan dirinya.

“Yai, Bolehkah saya boyong (tidak nyantri lagi) sekarang?” mulai Muzadi.

“Kenapa kamu minta boyong? ” tanya Kiai Muzaki.

” Saya tidak mau melakukan dosa yang kedua kalinya.”

“Lantas kau akan pergi kemana?”

“Entahlah, Yai. Saya ingin melatih jiwaku menjadi zuhud.”

“Mengapa harus meninggalkan saya?”

“Entahlah, Yai. Saya sudah banyak merepotkan Yai. Saya sudah membuat Yai susah. Saya… ” belum selesai Muzadi bicara, Kiai Muzaki pun memotongnya.

“Udahlah, Muzadi. Itu juga menjadi tugasku. Kalau kau memang kuat niat akan boyong, pergilah. Jadilah kau manusia yang zuhud akan dunia. Dan, jangan lupa, tetaplah jadi jurnalis yang memberitakan ilmu Allah kepada masyarakat dan sentuhlah mereka lewat karya-karya mu.”

Mendengar sedikit gelitikan dari Kiainya itu, Muzadi merasa tenang dan senang karena sudah diizinkan untuk boyong. Muzadi berkelana dari wilayah satu kepada wilayah yang lain untuk berdakwah, eh maksudnya memberitakan berita dari Allah kepada hambanya.

Namun yang unik dari Muzadi selain menjadi wartawan ilmu ilahi, ia juga bersumpah untuk tidak menikah seumur hidup alias menjomblo. Karena menurutnya perbuatan itu menduakan Allah alias syirik. Ia akan hidup sepeti Robiah Al-Adawiyah hingga akhir hayatnya.