Penulis: Sabitha Ayu Nuryani
Dewan Redaksi Forma
Hai, namaku Rana. Aku tidak tahu aku bisa disebut indigo atau tidak, namun aku meyakini bahwa aku adalah salah satu bagian di antara sedikit dari mereka. Aku juga tidak tahu keistimewaan ini adalah suatu kelebihan atau kekurangan. Namun, sejauh yang kurasakan, memang lebih banyak kerugiannya daripada keuntungannya.
Sejak kecil, aku sudah memiliki kepekaan terhadap makhluk-makhluk tak kasat mata. Kadang-kadang bisa sampai di tahap merasakan kehadiran mereka, berkomunikasi dengan mereka, melihat penampakan mereka, mengalami lucid dream[1] hampir di setiap waktu tidur, pernah bisa melakukan astral projection[2], hingga berulang kali tertarik ke dimensi astral yang dengan kata lain adalah tempat mereka berada.
Aku juga sering mendapatkan gangguan dari makhluk-makhluk itu. Misalnya saja, yang paling sering, tindihan ketika tidur atau diikuti dari suatu tempat sampai nantinya masuk ke dalam rumah. Dan terkadang, terus mengikutiku hingga berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun.
Selama aku dibayang-bayangi kemampuan ini, aku tidak pernah takut kepada mereka karena sudah terbiasa melihat sosok-sosok yang seram itu. Hanya saja, aku malas jika harus dikagetkan oleh kedatangan mereka yang tiba-tiba dan sialnya mereka justru suka sekali mengagetkan manusia sepertiku. Kalau aku sudah tidak tahan dan merasa kesal, aku tidak segan-segan untuk membentak mereka agar berhenti menggangguku.
Seperti yang sudah kukatakan di awal, aku merasa bahwa kerugian yang kudapatkan dari ‘keistimewaan’ indera keenam ini lebih sering kudapatkan daripada keuntungannya. Salah satunya adalah kisah yang akan kuceritakan di bawah ini.
Aku pernah mengalami sebuah kejadian aneh yang hingga dewasa kelak akan terus menjadi tanda tanya di dalam kepala. Hal misterius ini terjadi ketika aku berumur 13 tahun, tepatnya ketika sedang menduduki bangku kelas 1 SMP. Dan ini adalah kisah nyata.
***
“Rana, sudah malam. Taruh HP-nya. Tidur.” perintah ibu. Aku menurut.
Hari itu, aku tidur bersama ibuku di kamarnya. Ayah dan adik sedang menginap di rumah nenek, ibu dari ayah, yang berada di sebuah desa di Lamongan. Aku belum bisa ikut karena beberapa hal sehingga harus tetap tinggal di rumah dan membuat ibu akhirnya tak bisa ikut juga karena harus menjagaku.
Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam lebih. Aku yang sudah mulai mengantuk akhirnya pergi ke atas kasur dan bersiap untuk memejamkan mata.
Malam itu, ibu masih asyik dengan handphone-nya sembari mengisi daya dan berbaring santai di atas sofa–yang terletak persis tegak lurus dengan posisi kasur yang aku tempati untuk tidur. Sebuah meja kecil yang bagian atasnya dilapisi kaca bening dan berhiaskan kerang-kerang pantai pada bagian tengahnya ditempatkan di ujung bagian sofa yang salah satu sisinya menempel rapat ke dinding kamar.
Pintu kamar kami yang dipahat dari kayu kami buat terbuka agar udara di dalam kamar tidak menjadi pengap. Hal itu dikarenakan kami masih memakai kipas angin untuk menghilangkan gerah. Belum punya cukup uang untuk membeli pendingin ruangan. Masih menabung untuk membelinya suatu hari nanti. Dan, ngomong-ngomong, kasur orangtuaku cukup lebar sehingga cukup nyaman untuk ditempati dua sampai tiga orang sekaligus.
Kumatikan lampu kamar sehingga menyisakan lampu di luar pintu yang kini menyorot sebagian kegelapan di dalam kamar, remang-remang. Aku menoleh kepada ibu sebelum benar-benar larut ke dalam mimpi, “Ibu, tidur di kasur aja, yuk. Temenin aku.”
“Iya, Sayang. Sebentar, ya, kamu tidur aja duluan. Ibu masih ada kerjaan ini.”
“Oh, ya udah.”
Di tengah-tengah lelapku, tiba-tiba aku terbangun dengan suasana yang terasa aneh. Ini terasa seperti berada di antara dunia nyata dan dunia mimpi. Seperti biasa, aku merasakan tindihan untuk beberapa menit. Setelah lepas dari tindihan itu, aku yang tadinya berbaring terlentang kini berubah menghadapkan tubuh ke arah kiri, dan betapa terkejutnya aku. Di bawah meja kecil yang berlapiskan kaca bening itu, aku melihat sebuah tengkorak yang menghadap ke sembarang arah. Benar-benar tengkorak, sangat jelas di mataku!
Tengkorak itu mengerikan. Belum pernah aku melihat penampakan makhluk semacam ini. Refleks, aku membalikkan tubuhku dengan panik agar menghadap ke arah kanan, dan aku semakin terkejut. Kepalaku yang sedikit pening ditambah pencahayaan di dalam kamar yang gelap remang membuatku memproses penglihatan ini sedikit lama hingga akhirnya tersadarkan sesuatu. Kini yang ada di depan mataku justru seonggok tubuh tanpa kepala dengan jubah hijau gelap yang dikenakan di sekujur tubuhnya. Lengkap dengan kulitnya yang pucat seperti sudah kehabisan banyak darah dan lama membeku. Makhluk apa ini?! Ia benar-benar tergeletak di sampingku begitu saja. Dia memang tidak melakukan apa-apa, tapi napasku sudah lebih dulu tercekat.
Karena tubuh tanpa kepala ini lebih menyeramkan daripada sekadar tengkorak yang tergeletak sembarangan di bawah meja tadi, sontak aku memutar tubuh kembali agar menghadap ke arah kiri saja untuk menghindari tubuh tanpa kepala itu. Namun, semakin seram saja yang kulihat. Tengkorak itu kini sudah menghadap ke arahku dengan mulut yang terbuka lebar.
Seketika, aku kembali merasakan tindihan yang membuatku kesulitan bernapas, bersuara, dan bergerak. Benar-benar seperti dijeda untuk menjelma jadi patung. Tengkorak itu bergerak-gerak dan mengeluarkan suara yang berat.
“Besok akan ada kepalaku, tanganku, dan beberapa rumput di sekitarmu. Karena aku akan mencelakaimu!”
Singkat saja pesan yang ia ucapkan itu, tapi sanggup memporak-porandakan kecemasanku. Celaka seperti apa yang ia maksud? Apakah sampai merenggut nyawaku, atau menghilangkan sebagian yang kumiliki dalam hidup? Apakah sampai membuatku kehilangan seseorang ataupun sesuatu? Aku benar-benar di ambang kecemasan.
Gangguan kali ini tidak biasanya aku dapatkan dan menjadi gangguan gaib yang paling menyeramkan pertama kali. Ditambah, aku tak pernah melihat makhluk seperti itu sebelumnya. Kejadian malam ini berhasil membuatku gemetar ketakutan tentang apa yang akan terjadi esok hari. Aku tahu makhluk itu tidak mengucapkannya untuk sekadar bermain-main. Dia terlihat sungguh-sungguh akan mencelakaiku entah kapan dan di mana nanti.
Aku ingin berteriak dan membangunkan ibu yang terlihat sudah lelap di atas sofa—tidak sengaja tertidur ketika tengah memainkan ponsel—namun tindihan ini menghalangiku untuk bersuara dan menggerakkan sekujur tubuh. Dahiku bercucuran keringat dingin karena tengkorak itu kini tertawa kencang dan menggema hingga menembus daun telingaku. Mendengarnya, kepalaku jadi sakit sekali. Aku mulai merapal doa-doa untuk memohon pertolongan Allah agar dijauhkan dari gangguan makhluk itu.
Beberapa menit kemudian, aku berhasil melepaskan diri dari tindihan tersebut. Makhluk aneh itu sudah hilang dari pandangan. Aku segera mendudukkan diri, mengatur napas yang tersengal, dan tertatih-tatih meraih tangan ibu untuk membangunkannya.
“Ibu… Ibu…”
“Hmm?”
“Barusan aku mimpi buruk.”
Ibu mengelus kepalaku. “Halah, Sayang, cuma mimpi aja kok. Tidur lagi, gih, baca doa. Mungkin tadi kamu lupa baca doa sebelum tidur.”
“Ih, aku udah baca… Mimpinya serem… Kerasa nyata.”
“Udah, gapapa… Ayo tidur lagi. Ditemenin Ibu, deh.” Ia beranjak dari sofa dan mencabut charger handphone karena baterainya sudah penuh, lalu berbaring di atas kasur persis di tempat makhluk tanpa kepala itu berbaring dalam mimpiku tadi. Aku menelan ludah.
“Peluk,” rengekku ketakutan.
“Iya. Udah, ayo baca doa dulu.”
Menurut, aku pun merapal doa dengan lebih serius untuk meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan makhluk-makhluk yang tak kasat mata.
***
“Izah! Ayo nunggu di depan bareng, aku udah selesai.”
Gadis bertubuh mungil yang kupanggil itu menoleh. Sahabat masa kecilku. Di usia yang memasuki remaja ini, kami bersekolah di SMP yang sama dan kerap menunggu kepulangan bersama setiap sore.
Langit mulai merona merah muda tanpa gumpalan awan. Sekarang sudah pukul 5, baru saja aku selesai dengan ekstrakulikuler bela diri yang rutin kuikuti. Izah memang biasa menemaniku sampai kegiatan ini berakhir setiap Selasa dan Kamis. Namun, hari ini aku tidak memakai busana bela diri seperti biasa. Entah kenapa aku merasa tidak enak badan sejak pagi, mungkin saja pengaruh dari kualitas tidurku yang buruk dan penuh cemas semalam. Tidurku jadi tidak tenang. Sehingga, sore ini aku mengajukan izin dan hanya menyimak ajaran dari pembimbing, tidak ikut praktik seperti biasanya.
Karena aku tidak ikut pemanasan dan praktiknya, aku tetap mengenakan seragam sekolahku yang mana bawahannya berupa rok, lalu menonton saja kawan-kawanku yang mulai dibanjiri keringat. Sama seperti Izah yang duduk di sebelahku sambil mengobrol ringan.
Seisi sekolah sudah sangat sepi, menyisakan anak-anak basket dan bela diri yang hari ini ada jam tambahan. Kami berdua berkemas-kemas, kemudian Izah menuntun sepeda kayuhnya ke arah gerbang sekolah, beriringan aku yang berjalan dengan postur sedikit pincang.
“Kenapa sih?”
Aku yang tadinya sempat berpikiran kosong tersentak. “Hah? Apanya?”
“Ya, kamu. Jalanmu agak pincang.”
Sunyi sejenak. Angin sepoi-sepoi meniup abstrak sekujur seragam kami. Kukembalikan pandanganku ke arah depan diikuti dengusan napas berat. “Aku juga nggak tahu sih, hari ini bener-bener ngerasa nggak enak badan aja. Aura di sekitarku kayak berat juga, terutama di kaki kananku. Agak nyeri.”
“Hmm… Pantesan seharian ini kamu aneh. Habis jatuhkah?”
“Enggak tuh.” Aku mengambil jeda lagi. “Tapi, sebenernya tadi malem aku mimpi serem sih.”
“Hah, apa hubungannya? Lagian mimpi gimana sih?”
“Udahlah, aku nggak mau inget-inget lagi. Kapan-kapan aja aku ceritain.”
Izah memutar bola matanya. “Oke…”
Tak lama setelah aku sampai di depan gerbang, ibuku datang menjemput. Tampak dari kejauhan ia menaiki sepeda motor kali ini karena sejak kemarin mobil kami dipakai ayah untuk dinas ke luar kota. Izah mencolek bahuku di tengah asyiknya candaan, “Eh, kamu udah dijemput tuh. Aku pulang duluan, ya.”
“Oh iya. Hati-hati di jalan!”
“Bye,” Izah berpamit sambil melambaikan satu tangan ke arahku.
“Bye.” sahutku.
Kini, ibu sudah berjarak setengah meter di depanku. “Yuk,” kata ibu. Aku segera menaiki motor dengan posisi duduk miring. Tergenggam di kedua tanganku novel yang belum selesai kubaca dan kuletakkan begitu saja di atas paha. Malas saja membuka tas dan memasukkannya ke dalam sana, ribet. Sepuluh detik kemudian, ibu memutar arah motor dengan kecepatan sedang untuk kembali ke arah rumah.
Namun, siapa sangka. Di tengah momen ibu memutar kemudi motor, tiba-tiba saja aku terjatuh dari motor dikarenakan suatu dorongan kuat di bagian punggungku, aneh dan mengejutkan. Jatuhku juga tak biasa. Rasanya seperti terbang sekian meter dari boncengan motor dan terbanting sangat keras ke arah aspal. Momen itu membuatku syok selama beberapa detik. Buku yang kugenggam terseok asal di dekatku, berselimut debu. Motor yang kami tumpangi jadi oleng ke arah berlawanan: aku ke arah kiri, sedangkan ia ke arah kanan.
“Aah!!” jerit ibu.
Kaki ibu jadi terjepit sisi kanan motor. Ia kesakitan dan susah berdiri. Warga di sekitar kami dan seorang temanku yang menunggu kakaknya di dekat gerbang terkejut lalu bergegas menolong. Kesadaranku yang perlahan sudah kembali membuatku teringat dengan mimpi semalam.
“Besok akan ada kepalaku, tanganku, dan beberapa rumput di sekitarmu... Karena aku akan mencelakaimu…”
Mataku membulat. Rumput! Mataku melirik waswas ke samping kiriku. Aku benar-benar celaka di dekat rumput. Tengkorak, tangan! Tubuhku yang gemetar takut mencoba berbalik menghadap ke arah ibu di belakangku.
Astaga…
Makhluk itu…
Berdiri diam di samping ibu…
Menatapku dingin.
Ibu menoleh kesal ke arahku. Lamunanku buyar. “Rana! Kamu kenapa, sih? Ngapain baca buku di atas motor!! Ayo, cepet bangun!”
Ini bukan kebetulan.
Aku tercengang mendengar omelan ibu yang beruntun itu. Selama beberapa detik aku dan makhluk tinggi besar itu saling bersitatap.
B-bu… Masalah yang sebenarnya bukan itu…
Bersambung
[1]Mimpi sadar (Inggris: Lucid dream) adalah sebuah mimpi ketika seseorang sadar bahwa ia sedang bermimpi. Istilah ini dicetuskan oleh psikiater dan penulis berkebangsaan Belanda, Frederik (Willem) van Eeden (1860–1932). Ketika mimpi sadar, si pemimpi mampu berpartisipasi secara aktif dan mengubah pengalaman imajinasi dalam dunia mimpinya. Mimpi sadar dapat terlihat nyata dan jelas.
[2]Proyeksi Astral (atau perjalanan astral) adalah istilah yang digunakan dalam esoterisme untuk menggambarkan pengalaman keluar dari tubuh atas keinginan sendiri, yang diduga sebagai suatu bentuk dari telepati, yang mengasumsikan adanya jiwa atau kesadaran yang disebut “tubuh astral” yang terpisah dari tubuh fisik dan mampu melakukan perjalanan ke luar ke seluruh penjuru alam semesta.