Manusia adalah makhluk yang tercipta dari kesempurnaan yang pernah ada. Selain hasrat nafsu, manusia pula dianugerahi oleh kesadaran dan kecerdasan mumpuni. Dari sinilah manusia dianggap sebagai subjek sejarah seringkali diteliti perkembangannya. Asal-usul manusia merupakan topik awal pembahasan yang cukup sering mengundang perdebatan. Dari asal-usul tersebut, manusia diproyeksikan bagaimana keberlangsungan hidupnya selama dekade ke depan. Manusia menurut Charles Darwin, telah melalui sebuah fase evolusi di mana mereka melakukan penetrasi fisik. Dari sanalah paradigma tentang manusia yang akan tetap berevolusi terjadi. Lalu apa korelasinya dengan teori evolusi Homo Movens ?
Baiklah, manusia adalah produk dari evolusi. Meskipun kita akan bertanya-tanya, lantas apa yang berevolusi dari manusia sekarang? Kita terjebak pada evolusi yang melulu soal perubahan fisik. Evolusi bisa saja tidak merubah fisik manusia, namun bisa saja merubah kecerdasannya. Hal ini nampak pada wacana yang digagas oleh Yuval Noah Harari. Dalam karya-karyanya ia banyak berbicara tentang sejarah manusia dan proyeksi masa manusia ke depannya. Salah satu karyanya yang berjudul “Homo Deus” banyak mengulas evolusi manusia secara berlanjut. Manusia pada kondisi sekarang bergantung dengan teknologi-teknologi yang mereka ciptakan.
Menurut penulis, terlalu berlebihan jika menaruh diksi Deus (Tuhan) di samping kata Homo (Manusia). Oleh karena itu, penulis menaruh kata Movens (Penggerak). Hal ini untuk mengoreksi kembali bahwasannya yang dilakukan manusia hanya sebagai bentuk penemuan atas apa saja yang telah dikaruniakan Tuhan padanya.
Manusia yang berasal dari genus Homo Sapien, merupakan satu-satunya spesies yang bisa survive hingga saat ini. Hal ini lantaran Homo Sapiens bisa melakukan kerja sama yang baik dalam mengatur sebuah strategi untuk mencari makan pada saat itu. Homo-homo yang lain pun harus rela tereliminasi lantaran tidak bisa survive seperti halnya Homo Sapiens. Homo Sapiens pada era sekarang sudah berevolusi menjadi Homo Movens. Jika kata Sapiens berarti bijak, nampaknya kita harus cepat-cepat melakukan revisi atas kata tersebut. Manusia sekarang sudah jauh dari kata bijak. Jika pada masa lampau mitos-mitos digunakan untuk control terhadap manusia, nampaknya hal ini sudah tidak berlaku untuk masa sekarang. Manusia sudah menerobos ruang dan waktu. Mereka melihat siapa saja yang ada di depannya. Maka dari itu konteks Sapiens sudah tidak relevan lagi disandangkan pada manusia.
Permasalahan manusia pada dekade ini sudah tidak perihal liberalisme, komunisme, apalagi fasisme. Sejarah manusia pada dekade ini berisikan tentang kecemasan aliena si manusia oleh kecerdasan-kecerdasan yang mereka buat sendiri. Mungkin jika kita berbicara hal ekonomi pada abad ke-19, niscaya kita tak perlu repot-repot untuk memikirkan tentang surplus dan defisitnya. Ekonomi pada era-era yang lalu cukup pemenuhan kebutuhan atas kegiatan sehari-hari. Hal ini jauh berbeda dengan kerumitan yang tercipta pada ekonomi hari ini. Dominasi bank, peranan saham, hingga pengalihan uang secara material menjadi uang elektronik mewarnai sistem ekonomi kita. Kita seharusnya bertanya mengapa ini semua terjadi?
Kompleksitas permasalahaan abad ini mungkin tidak berhenti dalam rumitnya sistem ekonomi yang sedang membelenggu kita. Bahkan wacana-wacana regenerasi bentuk fisik kita pun tak luput dari pembahasannya. Kita mungkin tidak bisa membayangkan ketika kemampuaan bioteknologi kita telah maksimal akan algoritme tentang penataan ulang DNA dan pengawetan atas daya tahan tubuh kita. Mungkin manusia bisa hidup hingga 200 tahun ke depan. Apakah hal demikian ini terlalu berlebihan? Tidak juga. Dalam buku Homo Deus, Yuval memaparkan bahwa bisa saja manusia akan menjadi makhluk yang paling unggul untuk menambah masa umurnya. Hal ini bisa menjadi nyata bila ilmuwan kita bisa memaksimalkan penemuan-penemuan sains pada hari ini.
Kita tidak bisa membayangkan memang jika dua permasalahan di atas akan menjerat manusia dan sekaligus mendorong manusia pada sebuah jurang pemisah atas substansi manusia tersebut. Masih banyak lagi permasalahan pada bidang militer, kesehatan, teknologi yang mendorong manusia ke tahap efisiensi, dan sekaligus menggiring manusia pada jurang kehilangan jati diri. Yuval pula memproyeksikan akan adanya kehilangan peran besar-besaran yang akan dialami manusia. Kita bisa membayangkan bahwasannya beberapa dekade ke depan, pelayan toko dan pabrik akan digantikan oleh mesin, kendali lokomotif akan berganti pada sebuah sistem tunggal yang digerakkan oleh sebuah sistem. Bahkan yang lebih mengerikan kita mungkin tak perlu repot-repot untuk melakukan hubungan seksual, karena kita hanya perlu menaikkan jumlah dopamine yang ada di tubuh kita. Mengenaskan bukan?
Upaya manusia yang telah memanfaatkan algoritme menjadi sorotan pula pada dekade ini. Efisiensinya membuat sebuah inovasi-inovasi yang mungkin tidak terpikirkan selama ini. Mungkin orang-orang pada dekade 90-an sangat superior dalam bermain catur, namun tidak untuk sekarang. Robot catur yang notabene ciptaan manusia, bisa mengalahkan juara catur tingkat dunia sekalipun. Bila seperti ini maka benar yang dipikirkan oleh Yuval, saat kecerdasan menjadi prioritas manusia dan merekam reproduksinya sendiri secara massal maka saat itulah entitas nilai kemanusiaan akan hilang dengan sendirinya.
Agenda besar Homo Movens sendiri hanya dua, yakni membuat dan menghancurkan. Mereka menawarkan efisiensi sekaligus memukulkan kiamat. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya efisiensi yang diciptakan oleh umat manusia, justru menaruh kita pada jurang ketiadaan nilai manusia itu sendiri. Seharusnya, manusia memikirkan matang-matang tentang penemuan-penemuan yang akan ia lakukan. Label yang disandangkan pada dirinya sebagai seorang Sapiens seharusnya dimaknai betul, karena penulis cukup sanksi apakah ini perkembangan zaman ataukah bencana zaman.
(Akary)