doc.google

 

Dalam tulisan ini tak memuat apapun, selain himpunan alam fikir saya yang saat ini sedang lumayan bergejolak, menelusuri apa yang sebenarnya ‘terjadi’ dalam kehidupan saya setelah diterima sebagai mahasiswa di sebuah PTN yang memiliki ambisi berkualitas tinggi, yakni mencapai World Class University (WCO), PTN tersebut ada di kota Surabaya, terletak tepat di depan kantor Kapolda, UINSA (Universitas, Namun Suram Aktivisme). Tujuan penulisan ini bukan hanya sebatas menjelaskan apa yang sedang terjadi dan saya gelisahkan, namun juga berkeinginan mengembalikan fitrahnya seorang mahasiswa sebagai pionir pembangunan bangsa. Selamat membaca, semoga sampai akhir kata.

 

Ketika awal-awal masuk kuliah, ada beberapa sebuah kejadian aksi penyampaian aspirasi, tentang UKT kampus yang bikin mampus. Tak banyak dari ribuan Universitas ini yang segan mengikuti aksi tersebut, mungkin lantaran khawatir mendapatkan intimidasi sebagai mahasiswa subversif, mahasiswa yang mencari sensasi, tukang ganggu stabilitas kenyamanan, dan perompak suasana kondusif. Inilah destinasi‘Universitas, Namun Suram Aktivisme’. Dihuni oleh mayoritas terpelajar yang subjektif, individualis, dan tidak praktis dalam berpikir-sejatinya adalah korban dari sistem yang memaksakan kegamangan berpikir dalam kepala mereka. Ketika kampus bukan lagi  menjelma sebagai gelanggang “kritisisme”, melainkan hanya sebuah pabrik yang bertugas memproduksi “budak-budak terpelajar”, maka tak mengherankan jika akan lebih banyak lagi orang-orang terpelajar yang pola pikirnya seperti manusia ortodoks, monoton-kampungan.

Namun dari kalangan pergerakan-entah itu pergerakan apa-justru banyak yang resah-gelisah, jika melihat kebuntuan gerakan mahasiswa hari ini yang konon semakin sepi dari “aktivisme”. Meskipun sebenarnya, keresahan seperti ini lahir akibat dari glorifikasi yang berlebihan terhadap peran mahasiswa yang ditesiskan sebagai agen perubahan — yang kemudian diromantisasi oleh gerakan ’98, ataupun oleh figur-figur yang dikultuskan seperti Soe Hok Gie. Mahasiswa diidentikkan sebagai spesies yang memiliki “posisi lebih” dari rakyat secara umum (seperti kaum buruh dan tani); sebuah kekeliruan yang terus-menerus diproduksi sejak Orde Baru melalui identitas-identitas ekslusif yang disematkan kepadanya seperti penjaga moral, resi rakyat, dan sebagainya.

Jika kita berkaca dari sejarah pada era kolonialisme, yang mempelopori perlawanan terhadap Belanda bukan “mahasiswa-mahasiswa” melainkan rakyat luas yang masih banyak tidak sekolah kala itu. Pada tahun 1888, petani Banten yang dipimpin ulama tarekat-lah yang melakukan pemberontakan; pada tahun 1901–1912, Sarekat Dagang Islam terbentuk, yang nantinya berubah jadi Sarekat Islam beranggotakan jutaan buruh dan tani yang berjuang untuk pembebasan; dan lebih banyak lagi kronik sejarah yang jika dituliskan hanya menunjukkan bahwa peran “mahasiswa” tidak seberlebihan yang seringkali diglorifikasikan. Sebaliknya, tak sedikit dari “mahasiswa-mahasiswa” di zaman Kolonial justru disibukkan oleh pesta dan cinta.

Maka, bukan hal yang sama sekali baru, jika hanya sedikit mahasiswa yang turut mengambil andil dalam gerakan. Meskipun begitu, bukan berarti peran pemuda-terpelajar tidak ada artinya sama sekali. Justru, peran pemuda-terpelajar tidak pernah berubah sejak kita dijajah hingga hari ini: menjadi pelayan atas massa, dan bukannya terjebak oleh sindrom messiah yang melihat diri sebagai juru selamat atas rakyat. Namun kita tidak perlu kaget, jika memang hanya sedikit darimahasiswayang terlibat dalam suatu pergerakan, karena mereka belum bisa move-on dari era imperialis-mental londo.

Minimnya keterlibatan kaum terpelajar dalam gerakan, tidak terlepas dari realitas objektif yang turut membuat kaum pelajar menjadi “anjing penjaga” kemapanan. Semenjak institusi pendidikan seperti perguruan tinggi mencetuskan visi menciptakan manusia yang kompetitif, lantaran sudah berada di pusaran pasar bebas yang dikomersialisasikan sebagai barang dagangan, peran kampus yang seharusnya tak hanya mendidik, namun juga menemani, menumbuhkan harapan, agar terciptanya masyarakat sejahtera-masyarakat yang kolaboratif bukan kompetitif, menjelma sebagai industri brutal yang hanya untuk mencetak tenaga kerja yang berfungsi untuk memutar modal-modal besar, akibat dari kebijakan neoliberal.

Padahal “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ‘1945 pada pasal 28 C (1) disebutkan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh menfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” dan (2) setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Kemiskinan kesadaran mahasiswa untuk bergerak, seperti yang terlihat dari keterjebakan mahasiswa dalam keadaan tak sadarkan diri yang sangat mistis (masturbasi intelektual berlebihan hingga mati dalam ruang kosong kenikmatan) bukanlah sesuatu yang terlepas dari realitas material yang konkret di sekitarnya.

Di satu sisi, posisi kelas mahasiswa sangatlah ambigu: mahasiswa adalah bagian dari borjuasi kecil, yang pada batas-batas tertentu diuntungkan oleh sistem yang menindas kelas di bawahnya, dan pada batas-batas yang lain juga ikut menindas mereka sebagaimana layaknya kelas-kelas buruh. Mahasiswa berada di persimpangan yang membingungkan: karena dirinya memiliki akses pada pendidikan yang menjadi syarat untuk panjat sosial, maka ada kesempatan bagi dirinya untuk mengamankan posisi kelasnya. Namun, di sisi yang lain, persaingan yang eksesif untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak dan popularitas personal yang turut mengkontruk pengasingan dirinya sebagai kelas terpelajar. Maka tak mengherankan, jika kemudian ada mahasiswa lulusan pertanian yang memilih untuk bekerja di perbankan, karena lapangan itu lebih menjanjikan daripada bekerja di sektor tani. Mereka terasing dari ilmu-ilmu yang dipelajarinya di perguruan tinggi, hingga kemudian mereka bukan lagi bekerja untuk hidup, melainkan hidup untuk bekerja.

Di sisi yang lain, kita bisa melihat bagaimana aparatus-aparatus perguruan tinggi memberi setiap mahasiswa sebuah peran spesifik — dengan mencekoki “wacana” — dalam sebuah kepasifan umum: memberi tugas banyak; tidak usah demo-demo panas yang tidak ada gunanya, katanya begitu; kalau kamu teriak di jalan/banyak nuntut hak kalian yang kami rampas, maka kami akan keluarkan kalian (DO) dari universitas, dan seterusnya, dan seterusnya.

Bagi para birokrat kampus, hal tersebut adalah pelatihan peran sementara, sebuah latihan bagi peran utama mahasiswa di kemudian hari sebagai sebuah elemen konservatif yang memfungsikan diri sebagai barang dagang dan siap laku di pasar kerja untuk menjadi “buruh kerah putih”.

Proses dominasi suatu perguruan tinggi terhadap mahasiswa ini — meminjam istilah Althusser — juga turut berlangsung melalui “aparatus-aparatus ideologis” mahasiswa itu sendiri dengan mengkontruksikan kesadaran palsu dalam kegiatan kemahasiswaan yang sebenarnya tidak relevan; membentengi mahasiswa dari pembentukan pengetahuan akan adanya eksploitasi dan penindasan (pungutan liar, pelayanan yang menyesakkan, serta rentetan kewajiban membayar UKT mahal dan di luar kegiatan kuliah yang menghamburkan biaya uang secara sia-sia), serta membentengi mahasiswa dari organisasi progresif-revolusioner melalui kampanye hitam yang dilakukannya.

Kesadaran palsu membuat mahasiswa secara tidak sadar mengamini segala bentuk pembodohan yang dilakukan oleh para birokrat (hingga mempostulatkannya kepada Yang Maha Ada), sekalipun tindakan birokrat tersebut sangat bertentangan dengan nurani dan keinginan mereka, seperti sistem partisipasi yang berbelit-belit; aturan jam malam di kampus; peraturan etis berpakaian, hingga berkomunikasi sesuai aturan kepada dosen, padahal ingin akrab dengan para dosen tanpa adanya kesenjangan; fasilitas yang tidak merata; dan pengelolaan kebijakan yang tidak sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabel, dan informatif sesuai perundang-undangan.

Proses inilah yang kemudian disebut proses hegemonisasi, yang membuat dominasi suatu kelas tertentu terhadap institusi pendidikan demi kepentingan eksploitasi agar tetap bertahan sesuai dengan tujuan mereka. Bukan hal yang sifatnya harus ditakuti ketika kita melihat kolaborasi antara “dua kolonial” itu (birokrat kampus dan “aparatus ideologis mahasiswanya”) secara beriringan mengingatkan kita pada masa penjajahan Belanda yang membutuhkan masyarakat pribumi sendiri untuk mengambil hati masyarakat Indonesia agar terpaksa tunduk. Sebab, proses dominasi tidak hanya dilakukan secara koersif (kekerasan fisik), namun juga secara halus melalui konsensus publik yang dibuat oleh kelas dominan dengan bantuan aparatus ideologisnya: “kuliah aja yang bener, dan tidak usah memperjuangkan hak melalui gerakan kekiri-kirian, tak perlu turun ke jalan sambil berorasi dan membacakan puisi-puisi perlawan yang diiringi lagu Buruh Tani” hingga akhirnya, mahasiswa yang sejatinya dibodohi oleh pihak birokrasi kampus, sepakat untuk dibodohi akibat dari konsensus publik yang direproduksi tersebut.

Realitas disitu memberitahukan bahwa; ketika insitusi pendidikan menjelma sebagai komoditas yang diperjualbelikan akan menimbulkan efek berupa erosi emosional, dimana para kaum terpelajar yang seharusnya berdiri tegak menantang tiran, malah menjadi bencong dengan otak kosong-tong kosong nyaring bunyinya.

Hakikat kita sebagai manusia yang berpredikat mahasiswa hanya dapat terwujud jika kita terus-menerus memperjuangkan pendidikan gratis atau minimal murah, ilmiah, dan demokratis. Bukan sebagai pelayan yang patuh terhadap kemapanan, tapi sebagai manusia yang memikul tugas sejarah untuk menghancurkan penindasan.

Sekian terima kasih, untuk menutup bacaan ini, saya cuplikkan puisi milik ayahandanya Fajar Merah, apa gunanya ilmu? kalau hanya untuk mengibuli, apa guna baca buku? kalau mulut kau bungkam melulu.”

 

Warkop Maridjan-Nganjuk

DarahKopi

Fauzi SAA 18